Pagi itu, matahari baru saja menyelinap dari balik jeruji kecil di atas sel. Udara masih dingin, namun suara peluit sudah memaksa semua narapidana bangun. Aruna membuka mata dengan tubuh kaku, masih belum terbiasa dengan ranjang keras yang menusuk punggung. Ia bangkit perlahan, menata rambut seadanya dengan tangan, lalu ikut berbaris bersama penghuni sel lainnya. Bau anyir, sabun murahan, dan keringat bercampur jadi satu, membuat perutnya mual. Tapi ia menahan, berusaha terlihat tenang meski jantungnya berdegup kencang. Saat giliran sarapan, Aruna menerima piring logamnya. Nasi dingin dengan tempe gosong. Ia duduk di meja panjang, mencoba makan sedikit demi sedikit. Baru saja hendak menyuap, seorang narapidana bertubuh besar menghampirinya. “Eh, ini yang katanya nyolong suami orang ya?”

