Hari itu, suasana kantor kembali terasa mencekik bagi Aruna. Sejak ia menjejakkan kaki di pintu masuk, bisikan-bisikan sudah terdengar. Bukan lagi desas-desus samar, tapi tuduhan yang terdengar semakin berani.
“Eh, itu dia… yang kemarin ketahuan sama bosnya.”
“Iya, ada yang foto, lho. Aku lihat di grup, jelas banget tangannya digenggam.”
“Pantas aja suaminya kelihatan murung.”
Aruna berhenti sejenak, napasnya memburu. Foto? Dari mana? Ia menunduk cepat, menutup wajah dengan tas kecilnya, lalu berjalan cepat menuju ruang kerja. Jemarinya gemetar saat membuka ponsel, mencoba mencari tahu.
Dan benar saja—di salah satu grup kantor, beredar foto buram dirinya sedang berdiri di lobi hotel bersama atasannya. Sudut pengambilan gambarnya membuat seolah mereka berdua sedang bergandengan tangan, padahal jarak mereka cukup jauh.
“Ya Allah…” bisiknya lirih, air matanya menetes tanpa bisa ditahan.
Sore itu, Raditya sudah menunggunya di rumah. Wajah suaminya keras, penuh kekecewaan. Aruna tahu, foto itu pasti sudah sampai ke tangannya.
“Apa ini, Run?” suara Raditya terdengar berat, penuh emosi tertahan. Ia menunjukkan layar ponselnya—foto yang sama.
Aruna menggeleng cepat. “Mas, itu fitnah. Aku tidak pernah seperti itu. Lihat baik-baik, itu cuma kebetulan sudut kamera—”
“Cukup!” potong Raditya dengan nada tinggi. “Aku sudah terlalu sering dengar kamu bilang fitnah. Sampai kapan? Sampai aku benar-benar jadi bahan tertawaan orang?”
Aruna menahan tangisnya. Ia mencoba mendekat, namun Raditya mundur selangkah. Jarak di antara mereka semakin terasa nyata.
Di balik pintu kamar, Karina mendengarkan percakapan itu dengan senyum puas. Ia lah dalang yang mengedarkan foto itu, hasil editan yang ia bayar dari tangan seorang kenalannya.
“Langkah berikutnya, biar gosip ini masuk ke telinga orang-orang yang lebih berpengaruh. Biar Aruna nggak punya celah lagi,” gumamnya pelan sambil merebah di ranjangnya sendiri.
Hari-hari berikutnya semakin kelam bagi Aruna. Di komplek rumah, para tetangga mulai berani membicarakannya terang-terangan. Ada yang sengaja menatap sinis saat ia lewat, ada pula yang pura-pura ramah tapi kemudian tertawa lirih di belakangnya.
Bahkan, ibunya Raditya mulai menunjukkan ketidakpercayaan. “Run, kalau gosip ini benar, lebih baik kamu jujur dari sekarang. Jangan bikin aib keluarga semakin besar.”
“Bu, saya bersumpah demi Allah, saya tidak bersalah. Semua ini fitnah,” suara Aruna bergetar.
Namun bukannya mendapat simpati, ia justru mendapat tatapan penuh keraguan.
Malam itu, Aruna duduk sendirian di kamar, menggenggam mushaf kecil yang selalu ia simpan di laci meja. Ia membaca ayat-ayat dengan suara pelan, mencoba menenangkan hatinya. Air matanya membasahi halaman kitab, membuat huruf-huruf seolah menari kabur di matanya.
Kenapa semua orang begitu mudah percaya pada kebohongan? Kenapa orang-orang yang seharusnya melindungiku justru ikut menghakimi?
Pikirannya semakin kacau ketika ia mendengar Raditya menerima telepon di ruang tamu. Suara suaminya terdengar tegang.
“Ya, saya tahu. Kami akan menyelesaikan ini. Kalau benar ada laporan… ya, kami akan hadapi.”
Jantung Aruna berdegup kencang. Laporan? Laporan apa?
Keesokan paginya, kabar mengejutkan datang. Seorang satpam komplek menyampaikan bahwa ada polisi yang mencari alamatnya. Aruna tertegun, tubuhnya kaku.
“Katanya ada laporan dugaan perselingkuhan. Mereka butuh keterangan.”
Aruna nyaris pingsan mendengar itu. Fitnah yang selama ini hanya berupa gosip, kini sudah berubah menjadi masalah hukum.
Ia menatap Raditya, berharap suaminya berdiri di sisinya. Namun Raditya hanya diam, menatap lantai dengan rahang mengeras.
“Mas… kamu percaya aku, kan?” suaranya lirih, nyaris tak terdengar.
Raditya tidak menjawab. Hanya keheningan yang menggantung, membuat Aruna merasa dunianya runtuh dalam sekejap.
Di sudut rumah, Karina kembali menutup mulutnya menahan tawa. Rencananya berhasil melangkah ke tahap berikutnya. Fitnah itu bukan lagi sekadar gosip—tapi jerat yang siap menenggelamkan Aruna ke dalam lubang yang tak bisa ia lepaskan.
Dan untuk pertama kalinya, Aruna merasa tak lagi punya siapa pun yang bisa ia andalkan.
Aruna terduduk di sofa, wajahnya pucat pasi. Kata-kata satpam itu masih terngiang-ngiang di telinganya. Laporan. Polisi. Tuduhan. Semuanya seperti kabut pekat yang menyesakkan dadanya. Ia menatap Raditya, berharap ada sedikit pengertian, secercah keyakinan bahwa ia tidak bersalah.
“Mas… tolong katakan kalau kamu percaya aku,” suaranya parau, tangannya gemetar meraih lengan suaminya.
Raditya hanya menepis halus, seolah sentuhan itu terlalu berat untuk ditanggung. “Run, aku sudah terlalu banyak dipermalukan. Kalau laporan ini benar, aku tidak bisa apa-apa lagi.”
“Jadi, Mas lebih percaya orang lain daripada istrimu sendiri?” Aruna terisak, air matanya jatuh deras.
“Bukan soal percaya atau tidak. Ini soal bukti.” Raditya berdiri, meninggalkannya sendirian dengan kalimat yang lebih menusuk daripada seribu tuduhan.
Aruna terdiam, tubuhnya lunglai. Kata “bukti” bergema keras dalam kepalanya, seakan semua cinta, semua janji, semua pengorbanan yang pernah ia berikan tak lagi berarti tanpa selembar kebenaran yang bisa ia sodorkan.
Di kamar sebelah, Karina mendengar percakapan itu. Ia tersenyum puas, lalu mengambil ponsel. Dengan cepat ia menulis pesan ke seseorang:
Foto sudah menyebar, gosip sudah meluas, sekarang laporan pun berjalan. Pastikan semua terlihat meyakinkan.
Ia menutup ponsel dan berbaring santai di ranjang. “Sebentar lagi, Aruna. Kau akan benar-benar kehilangan semuanya. Dan saat itu tiba, aku akan berdiri di samping Mas Radit sebagai orang yang ia percayai.”
Aruna, di sisi lain, hanya bisa memeluk dirinya sendiri. Dalam hatinya, ia berdoa keras-keras, berharap Tuhan membuka mata suaminya sebelum semuanya terlambat. Namun di balik doa itu, ketakutan yang lebih besar mulai menyelimuti: apa jadinya jika keadilan tidak pernah memihak pada kebenaran?
Malam itu, rumah terasa sunyi mencekam. Aruna duduk di ruang tengah, lampu hanya menyala temaram. Raditya tidak kunjung kembali dari luar, dan Karina memilih mengurung diri di kamarnya. Kesepian itu membuat Aruna semakin larut dalam pikiran yang kelam.
Bagaimana kalau besok benar-benar ada panggilan resmi dari polisi? Bagaimana aku bisa membela diri jika semua orang sudah lebih dulu menghakimi?
Tangannya meraih sebuah album foto pernikahan yang tergeletak di rak. Ia membuka halaman demi halaman, menatap senyum Raditya yang dulu begitu hangat saat menggenggam tangannya di pelaminan. Air matanya jatuh membasahi foto itu. Mas… di mana janji yang dulu kau ucapkan? Bukankah kita berjanji akan saling percaya?
Pintu rumah terbuka tiba-tiba. Raditya masuk dengan wajah murung, tanpa menyapa ia langsung menuju kamar. Aruna berdiri, ingin menyusul, namun langkahnya terhenti ketika mendengar potongan kalimat dari mulut suaminya, lirih tapi jelas.
“Aku nggak tahu lagi harus percaya sama siapa…”
Kalimat itu menghantam jantung Aruna seperti palu berat. Ia ingin berteriak, ingin menjelaskan, namun suaranya terkunci.
Di balik pintu kamarnya, Karina kembali menyunggingkan senyum puas. Ia tahu, jurang di antara kakaknya dan Aruna semakin lebar. Sambil menatap cermin, ia berbisik pada bayangannya sendiri, “Besok… saat polisi benar-benar datang, semuanya akan runtuh. Dan itu akan jadi akhir untuk Aruna.”
Aruna, di sisi lain, sujud lama di sajadahnya malam itu. Tangisnya pecah, suaranya parau bergetar. “Ya Allah, jangan biarkan fitnah ini menang. Tunjukkan kebenaran sebelum aku hancur.”
Namun di lubuk hatinya, ia tahu: badai yang lebih besar akan segera mengetuk pintu rumahnya.