Edwin sedang mencari-cari alamat rumah Kanaya yang tertera di formulir pendaftaran lomba. Alamat itu berbunyi "Rawalumbu, Jembatan 12." Edwin, yang belum pernah ke Bekasi, membayangkan Jembatan 12 adalah nama jalan besar seperti Jembatan Lima di Jakarta Barat, jalan yang lebar dan penuh dengan ruko-ruko tempat usaha. Namun, ternyata Jembatan 12 di Rawalumbu Bekasi bukanlah jalan besar seperti yang ia bayangkan. Sebaliknya, Jembatan 12 merujuk pada serangkaian jembatan kecil yang melintasi sebuah got besar di tengah jalan, menghubungkan sisi kiri dan kanan jalan tersebut. Jembatan pertama adalah yang terdekat dari jalan Pramuka raya, dan untuk mencapai rumah Kanaya, mereka harus melewati 12 jembatan secara berurutan.
Untung saja, Edwin tidak perlu mengemudi sendiri; Pak Bambang, sopirnya, yang memegang kendali setir. Sambil duduk di dalam mobil, Edwin mengamati dengan cermat setiap jembatan yang mereka lewati, menghitung angka yang tertulis di dinding jembatan.
"Ini sudah jembatan 11, Pak Bambang," kata Edwin. "Berarti, setelah melewati jembatan ini, kita akan sampai di Jembatan 12. Kita harus lebih hati-hati," peringat Edwin kepada sopirnya.
" Iya Pak." Kata Bambang, sang supir.
Sesampainya di Jembatan 12, Edwin dan sopirnya, Pak Bambang, kebingungan. Sisi kiri dan kanan jalan penuh dengan rumah, tetapi tidak ada satu pun yang mencantumkan nomor rumah. Edwin mulai heran, apakah memang kebiasaan di sini tidak menuliskan nomor rumah?
"Tanya saja, Pak Edwin, ke tukang gorengan di pinggir got itu. Mungkin dia tahu rumah yang Pak Edwin cari," saran Pak Bambang.
"Baik, Pak Bambang, parkir dulu, biar saya tanyakan," kata Edwin sambil turun dari mobil Alphard hitamnya.
Edwin berjalan menuju tukang gorengan yang mangkal di tepi got besar. "Maaf, Pak, ini Rawalumbu, Jembatan 12, ya?" tanyanya.
"Iya, ini Jembatan 12. Bapak mau cari rumah siapa? RT berapa?" tanya penjual gorengan.]
"Aduh, nggak ada RT-nya, hanya tertulis Jembatan 12," jawab Edwin, sedikit putus asa.
"Kalau begitu, berarti rumah yang bapak cari itu ada di jalan besar ini, nggak masuk-masuk ke jalan kecil di atas sana," kata penjual gorengan sambil menunjuk jalan menanjak yang lebih kecil.
"Berarti, deretan kiri kanan jalan ini saja, ya, Pak?" tanya Edwin lagi.
"Iya, biasanya begitu. Ada tertulis apa lagi, Pak?" tanya penjual gorengan.
"Hanya ini saja," jawab Edwin, semakin merasa kedatangannya akan sia-sia. Rumah-rumah di Jembatan 12 ini bagaikan labirin.
Setelah berpikir sejenak, Edwin menepuk jidatnya. Kenapa nggak kepikiran menelepon Kanaya? pikirnya.
Edwin lalu menelepon Lala, sekretarisnya. "La, coba lihat form pendaftaran lomba, ada nomor telepon rumah atau handphone Kanaya nggak?"
"Baik, Pak Edwin, sebentar," jawab Lala.
Beberapa saat kemudian, Lala kembali dengan jawaban yang tidak menyenangkan. "Nggak ada nomor telepon yang tertera, Pak. Yang ada hanya alamat email: Kanaya@gmail.com."
Edwin kembali menepuk jidatnya. Kanaya kan tidak bisa bicara, mana mungkin dia meninggalkan nomor telepon. Pasti dia lebih nyaman meninggalkan alamat email, pikirnya.Tapi nggak mungkin aku email dia sekarang, belum tentu dia baca. Aduh, aku terlalu percaya diri, tidak menghubungi Kanaya dulu sebelum datang ke rumahnya, Edwin memarahi dirinya sendiri.
Melihat kegelisahan Edwin, tukang gorengan itu bertanya, "Bapak mau cari rumah siapa? Mana tahu saya kenal, saya sudah lama jualan gorengan di sini."
"Saya mau cari rumah Kanaya, Pak," jawab Edwin.
"Kanaya yang bisu itu? Yang anaknya Bu Karina, janda yang cantik itu?" tukang gorengan bertanya dengan nada genit.
Edwin sebenarnya tidak senang dengan kata-kata tukang gorengan yang terdengar melecehkan, tapi dia tahu tidak mungkin marah. Ia hanya mengangguk.
"Oh, kalau itu saya tahu, Pak. Rumahnya di paling ujung Jembatan 12 ini, sebelum melewati Jembatan 13. Ada plang putih kecil yang digambar sendiri oleh Kanaya, tulisannya 'Penjahit K2'," kata penjual gorengan
"K2?" gumam Edwin lirih. Tapi suara lirihnya terdengar oleh penjual gorengan, yang kemudian dengan nada bangga menjelaskan,
"K2 itu Karina dan Kanaya. Dua-duanya pintar jahit."
Edwin mengangguk, mengucapkan terima kasih, dan segera beranjak pergi, meninggalkan penjual gorengan yang sepertinya sangat mengenal Kanaya dan Karina. Dalam hati, Edwin berpikir, jangan-jangan tukang gorengan itu ada hati dengan Karina, karena menyebutnya dengan nada genit sebagai janda.
Edwin melangkah keluar dari mobilnya dan menatap rumah kecil yang berada di hadapannya. Plang sederhana dengan tulisan "K2" dan gambar bunga mawar di sudut-sudutnya seakan memanggilnya untuk masuk. Ia tahu bahwa plang itu pasti digambar oleh Kanaya sendiri, seperti yang dikatakan oleh penjual gorengan tadi. Edwin mengetuk pintu kayu putih yang tampak sudah berusia, dan mendengar suara lembut seorang wanita dari dalam.
"Sebentar," suara itu terdengar tenang, namun ada nada kehati-hatian di dalamnya.
Pintu itu terbuka perlahan, dan Edwin melihat wajah cantik Karina. Mata mereka bertemu, dan seketika itu juga Karina terlihat terkejut.
"Pak Edwin?" Karina berbisik, nyaris tak percaya dengan siapa yang berdiri di depan rumahnya.
"Siang, Bu," jawab Edwin dengan suara yang sedikit ragu. Ia tidak yakin apakah sebaiknya memanggil nama Karina langsung atau harus dengan tambahan Bu di depannya.
"Siang... Siang, Pak Edwin. Ada apa ya, Bapak datang ke rumah kami?" Karina bertanya dengan nada panik yang tak bisa disembunyikan. Dalam benaknya, muncul ketakutan besar. Apakah ada masalah dengan hasil juara Kanaya?
"Apa ada masalah dengan hadiah lomba? Apa uangnya harus kami kembalikan?" lanjut Karina dengan cepat, matanya mulai berkaca-kaca. "Para juri tidak percaya kalau baju itu hasil rancangan Kanaya? Kami bisa membuktikannya, Pak. Kami masih punya sisa kainnya, dan bisa tunjukkan bagaimana Kanaya gambar dan jahit baju itu sendiri."
Kepanikan Karina semakin terlihat jelas. Tangannya gemetar, dan ia tampak berusaha menahan air mata yang hampir tumpah. Karina sudah membayangkan skenario terburuk, jika uang hadiah sebesar 10 juta itu harus dikembalikan, entah bagaimana nasib mereka. Uang itu sudah dia gunakan untuk membayar biaya kontrakan rumah kecil mereka selama setahun ke depan. Rumah sederhana ini hanya terdiri dari tiga petak, satu petak untuk ruang tamu yang juga menjadi tempat usaha jahitnya, petak kedua adalah kamar tidur yang ia bagi dengan Kanaya, dan petak terakhir adalah dapur dan kamar mandi kecil. Dari 10 juta itu, 6 juta sudah digunakan untuk membayar sewa rumah, dan hanya tersisa 4 juta saja. Kalau uang itu harus dikembalikan, Karina tidak tahu bagaimana caranya mendapatkan uang sebesar itu lagi.
Edwin melihat kepanikan dan ketakutan di mata Karina, yang begitu jelas dan menyakitkan. Dia menyadari bahwa kedatangannya telah menimbulkan kecemasan yang mendalam bagi wanita ini, yang sudah terlalu sering disisihkan dan dipinggirkan oleh orang-orang karena kemiskinan dan kondisi Kanaya yang bisu. Edwin merasa bersalah. Ia datang dengan niat baik, namun kehadirannya justru membuat Karina merasa ketakutan.
Edwin berbicara dengan lembut, berusaha menenangkan Karina yang terlihat begitu cemas. "Mohon tenang, Bu. Saya datang bukan untuk meminta pengembalian hadiah atau mempertanyakan kemampuan Kanaya. Justru sebaliknya, saya di sini karena saya kagum dengan hasil karya Kanaya. Kami di perusahaan sangat menghargai kreativitas dan kerja keras yang Kanaya tunjukkan. Kedatangan saya ini untuk menyampaikan sesuatu yang positif, bukan untuk mengambil kembali hadiah yang memang merupakan hak Kanaya."
Karina masih merasa was-was, tetapi ada sedikit rasa lega yang mulai menyelinap di hatinya
"Jadi? Kenapa Bapak jauh-jauh datang ke rumah kami?" tanyanya dengan pandangan penuh kebingungan.
"Apakah saya boleh masuk dan duduk dulu?" Edwin meminta izin, menyadari bahwa ia masih berdiri di depan pintu.
"Oh, maaf... Maaf... Tapi rumah kami sangat sederhana. Pak Edwin tidak keberatan?" Karina berkata sambil menyamping dari pintu, mempersilahkan Edwin masuk setelah melihat Edwin menggeleng, tanda ia tidak keberatan.
Karina mengambil kursi bakso lusuh untuk Edwin dan mempersilahkannya duduk. Meskipun tempat duduk itu sederhana, Edwin menerimanya dengan anggun, menunjukkan bahwa ia tidak merasa terganggu oleh keadaan rumah tersebut.
"Kanaya di mana, Bu?"
"Panggil saja saya Karina, Pak Edwin. Nama saya Karina, tidak usah pakai Bu," kata Karina dengan senyum yang penuh ketulusan.
"Baiklah, Karina. Kanaya ke mana?" tanya Edwin, matanya melihat sekeliling rumah yang sederhana namun bersih itu.
"Kanaya sedang mandi. Sebentar, saya panggil dia," kata Karina, hendak beranjak. Namun sebelum Karina sempat bergerak, Kanaya muncul dari balik gorden yang membatasi bilik ruang tidur mereka dengan ruang tamu kecil ini.
Melihat kehadiran Edwin, mata Kanaya tampak menunjukkan sedikit keheranan. Namun dengan langkah tenang dan penuh percaya diri, dia berjalan ke arah Edwin dan memberikan salam. Wajahnya tenang, namun di balik ketenangan itu, hatinya sudah siap menghadapi apapun yang akan terjadi. Kanaya sudah terbiasa dengan ketidakpercayaan orang-orang terhadap bakatnya.
Jika Edwin datang untuk meminta pembuktian atas kemampuannya, Kanaya tidak gentar. Dia siap menunjukkan kemampuannya menggambar desain di depan mereka, atau bahkan menjahit pakaian yang rumit dengan tangan sendiri di depan Edwin, dia juga akan sangat siap. Kanaya sangat berbakat menggambar. Dia juga bisa menjahit, hasil dari latihan bertahun-tahun bersama ibunya. Kanaya juga sangat mahir memasang payet-payet yang rumit pada kain, sesuatu yang mungkin tak dimiliki oleh banyak orang seusianya. Jadi kalau Pak Edwin datang ke rumah mereka untuk mencari pembuktian, Kanaya sudah sangat siap membuktikannya.
Dalam hati, Kanaya tahu bahwa pada lomba kemarin, dia seharusnya menjadi juara pertama. Namun, ketika hasil diumumkan, dan namanya hanya disebut sebagai juara ketiga, dia langsung mengerti, bukan karena desainnya kurang baik, tetapi karena dia berbeda. Kondisi fisik dan latar belakang ekonominya lagi-lagi menjadi penghalang. Namun, hal itu tak membuatnya patah semangat. Sudah berkali-kali dia mengalami hal seperti ini, dan setiap kali, tekadnya justru semakin kuat. Jika Edwin atau siapapun datang dengan keraguan, Kanaya akan menjawabnya dengan aksi, menunjukkan kepada mereka bahwa bakat dan tekadnya jauh lebih besar dari apapun yang mungkin menghalanginya.