Karina masih melambai ke arah Kanaya, meskipun sosok semampai anaknya sudah hilang dari pandangannya. Karina masih diam berdiri di depan area keberangkatan dengan tatapan nanar merasakan kerinduan yang mendalam meskipun Kanaya baru saja menghilang menuju area imigrasi, hatinya terasa hampa, seolah ada bagian dari dirinya yang ikut pergi. Kanaya adalah anak yang telah menjadi pusat hidupnya selama 15 tahun, yang selalu ada di sisinya dalam suka dan duka.
Kenangan masa lalu pun mulai memenuhi pikirannya, terutama saat mereka baru pindah ke Bekasi, di saat Kanaya baru kehilangan suaranya.
Karina teringat dengan jelas bagaimana dunia mereka berubah ketika Kanaya kehilangan suaranya akibat tindakan nekat Bayu, seorang lelaki pengecut yang seharusnya menjadi pelindung Kanaya, tapi malah menjadi malaikat pencabut nyawa bagi Kanaya. Bayu mati, tapi Kanaya harus kehilangan suaranya. Sejak saat itu, komunikasi yang dulunya begitu mudah, menjadi tantangan berat yang harus mereka hadapi setiap hari. Kanaya, yang tadinya adalah anak ceria dan penuh tawa, pintar bernyanyi, berubah menjadi pendiam . Setiap kali Kanaya ingin menyampaikan sesuatu, dan tidak ada yang mengerti, Karina bisa melihat kilatan keputus asaan di mata putrinya, dan itu membuat hatinya sakit.
Karina dan Kanaya tinggal di pusat terapi yang didirikan oleh Suster Theresia seorang terapis yang bersedia membantu mereka belajar bahasa isyarat. Proses belajar ini tidaklah mudah. Setiap sesi terapi adalah perjuangan, baik bagi Kanaya yang harus belajar kembali cara berkomunikasi, maupun bagi Karina yang harus belajar mendampingi putrinya dengan sabar.
Sesi-sesi terapi tersebut kadang terasa seperti ujian tanpa akhir. Karina ingat, pada hari-hari pertama, Kanaya sering kali terlihat kebingungan saat Suster Theresia mulai memperkenalkan simbol-simbol dasar bahasa isyarat. Jari-jari kecil Kanaya kaku dan gemetar saat mencoba meniru gerakan yang diperagakan oleh suster. Ada kalanya, ketika Kanaya gagal mengingat atau mengerti, air mata akan menggenang di sudut matanya.
'Mama, aku tidak bisa ' ujar Kanaya dalam bahasa isyarat yang masih terbata-bata, dan Karina harus menahan tangisnya sendiri agar tetap terlihat kuat di hadapan putrinya.
Karina sering kali merasa putus asa setiap kali melihat Kanaya menangis tersedu-sedu di sudut ruangan terapi, menolak untuk melanjutkan pelajaran. Ada momen-momen di mana Kanaya akan membanting tangannya ke atas meja, menolak untuk menggerakkan tangannya lagi. 'Sudah, Ma! Aku tidak mau lagi!'
Kanaya seakan-akan berteriak , meski tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Saat itu, Karina hanya bisa memeluknya erat, berusaha memberikan kenyamanan meski dalam hati ia merasa begitu hancur.
Namun, di balik semua keputusasaan itu, Karina juga melihat secercah kekuatan dalam diri Kanaya yang tidak pernah menyerah. Setiap kali mereka berhasil melewati satu sesi, meski penuh air mata dan frustrasi, ada sedikit kemajuan yang membuat hati Karina sedikit lebih tenang. Karina tahu, bahwa di balik semua rasa sakit ini, mereka sedang membangun kembali cara baru untuk berkomunikasi, untuk tetap terhubung sebagai ibu dan anak.
Dan meski jalan itu terasa panjang dan penuh rintangan, mereka terus maju bersama. Perlahan-lahan, Kanaya mulai menguasai bahasa isyarat, dan dengan itu, Karina merasakan secercah harapan. Kanaya tidak hanya belajar bahasa isyarat, tetapi juga belajar kembali percaya diri, bahwa meski tanpa suara, ia masih bisa menyampaikan isi hatinya dan menjadi anak yang berprestasi.
Kini, saat melihat Kanaya pergi ke Milan, berdiri di hadapan tantangan baru, Karina tidak bisa menahan air mata yang mengalir. Bukan hanya karena perpisahan ini, tetapi karena teringat semua perjuangan yang sudah mereka lalui bersama. Betapa dulu Kanaya pernah menangis putus asa, dan kini, ia melangkah dengan teguh menuju masa depannya. Karina hanya bisa berdoa, semoga Kanaya tetap sekuat dulu, menghadapi setiap tantangan dengan hati yang tabah.
" Karina.. Rin.." Suara Edwin yang lembut membuyarkan lamunan Karina, dia cepat-cepat menghapus air mata yang jatuh di pipinya.
" Maaf Pak Edwin. Aku jadi teringat masa lalu, saat awal-awal Kanaya terapi di Bekasi. Melihatnya pergi menggapai mimpinya dengan tekad kuat, membuatku teringat bagaimana perjuangan Kanaya saat belajar bahasa isyarat, saat belajar baca tulis dan saat melewati pendidikan nya di SMP dan SMA umum yang tanpa teman. Hatiku sakit, sekaligus bangga, Pak." Kata Karina dengan air mata yang mengalir di pipiny.a
Mata Edwin juga berkaca-kaca mendengar penuturan emosional Karina " Kamu pantas bangga Rin.Kanaya bisa seperti ini, juga berkat dirimu yang begitu kuat."
Karina tersenyum " Saya permisi dulu Pak, uda malam , mau langsung pulang ke Bekasi."
"Saya antar aja Rin."
" Terimakasih Pak, nggak usah. Aku naik damri aja Pak sampai Bekasi, nanti baru naik taxi online ke rumah, biar lebih hemat. Nggak usah repot. Gampang kok Pak. tadi aku uda tanya sama petugas damri di depan sana." Kata Karina
" Aku antar Rin. Jangan menolak." Kata Edwin tegas
" Nggak usah Pak, Nanti Bapak capek, harus balik lagi ke Jakarta. Saya bisa pulang sendiri." Karina menolak .
" Saya pakai supir, Rin. Jadi nggak bakalan capek. Dan saya nggak mau ditolak. Ayo ikut aku." Kata Edwin langsung menggandeng tangan Karina yang akhirnya tak berdaya mengikuti langkah Edwin, menuju area parkir
Tapi saat menunggu supir Edwin di lobby pick up zone, ada Dian yang langsung menatap Karina dan Edwin dengan sinar mata sinis dan wanita culas itu langsung mengeluarkan pertanyaan menyelidiki
" Pak Edwin mengantar mamanya Kanaya?"
" Iya. Kenapa?" Jawab Edwin dingin
" Emang itu bukan nepotisme?" Tanyanya lagi dengan mulut culasnya
" Bu.. Lomba sudah berlalu, semua pemenang juga sudah berangkat ke Milan mempergunakan haknya. Sekarang hubungan saya dengan Mamanya Kanaya adalah hubugan yang tidak terkait dengan lomba lagi. Jadi harap jaga kata-kata ibu yang tendensius itu." Kata Edwin tanpa tedeng aling. lalu dia menyambung perkataannya " Seharusnya kata-kata nepotisme itu ditujukan pada diri Ibu, yang deketin kakak ipar saya dengan dalih anak kalian bersahabat." Tambah Edwin dengan sinis
Wajah Dian langsung memucat. Ia tidak menyangka Edwin yang biasanya kalem bisa mengeluarkan kata-kata setajam itu. Sebelum Dian sempat membalas, mobil Alphard hitam Edwin sudah tiba di area itu, pintu terbuka otomatis, dan Edwin segera mempersilakan Karina masuk.
" Lupakan saja kata-kata dia Rin. Mamanya Aliya memang berhati busuk."
"Nggak apa-apa, Pak Edwin," ujar Karina, suaranya terdengar tenang, meski matanya menyimpan luka yang dalam. "Tapi, kata-kata nepotisme baru pertama kali ini saya dengar ditujukan pada kami. Biasanya, kami dihina dengan cara lain. Orang-orang bilang Kanaya tidak pantas menang, hanya karena dia tidak bersuara. Kami selalu direndahkan, dianggap tidak punya tempat di dunia mereka. Jadi, sebenarnya lucu saja, pertama kalinya ada yang menuduh kami, dengan kata-kata nepotisme, orang kecil seperti kami yang hanya bisa bertahan hidup dari hari ke hari mana bisa ada jalur nepotisme?" Kata Karina, senyumnya tipis, namun menyimpan kepedihan yang tidak terlihat.
Edwin juga jadi terdiam mendengar kata-kata yang terasa menyakitkan itu.
Dalam perjalanan menuju Bekasi, Edwin dengan lembut bertanya pada Karina, "Maaf, Rin. Sekarang lomba sudah selesai, dan Kanaya juga sudah berangkat. Bolehkan sekarang jangan panggil saya Pak Edwin lagi, cukup Edwin saja?"
"Ah... saya malu, Pak," jawab Karina dengan suara ragu.
"Apakah kamu tidak mau berteman denganku?" tanya Edwin.
"Bukan begitu, Pak. Bukan saya tidak mau, tapi saya merasa tidak pantas berteman dengan Bapak. Level kita berbeda," ucap Karina pelan.
"Beda level maksudmu?"
"Pak Edwin itu seorang pimpinan perusahaan, sementara saya hanya penjahit kampung. Untuk mengumpulkan uang satu juta saja, saya harus menjahit sepuluh baju. Jadi, sangat tidak mungkin kita bisa berteman, Pak."
"Saya kalau berteman tidak pernah memandang level, Rin . Kita semua sama saja sebagai umat manusia. Jadi, tolong Rin, mulai sekarang panggil saya Edwin, Jangan Pak Edwin, Bisakah kamu?"