PART 10 – SAMA GILANYA.
Setelah menutup pintu sekencang-kencangnya, Clarisa itu mendudukkan tubuhnya di atas ranjang. Tangannya mengepal erat, napasnya naik turun memburu.
Kembali otaknya mengurai kejadian di sungai tadi. Mencoba mengingat apa yang sudah terjadi.
Hingga kemudian, ia meraih bantal yang tergelatak di atas ranjang.
"Dasar abang kambing, sialannn!Brengsekk! Aaarrrggghhh!"
Clarisa menghajar bantal itu, memukul seolah bantal itu sosok lelaki yang telah kurang ajar terhadapnya.
Dan tak puas. Ia banting bantal itu ke lantai, dan menginjak-injak dengan emosi.
Lalu ia kelelahan dan terduduk kembali di ranjang. Bersandar dengan mata terpejam, mencoba mengatur udara yang masuk ke dalam hidungnya.
Mengapa aku tadi diam saja? Kenapa aku gak hajar itu lelaki brengsekk!
Sudah lebih dari setengah jam, Clarisa mengurung dirinya di dalam kamar. Ia sengaja mengunci pintunya.
Dan setelah puas menurunkan emosinya, ia membuka pintu kamar. Dilihatnya Anggita sedang asyik menonton tayangan hot gosip di salah satu tayangan stasiun televisi swasta.
Sebenarnya Anggita bosan sendirian begini. Walau terkadang Clarisa bermulut pedas dan berisiknya gak ketulungan, tapi itu lebih baik. Daripada dia sendirian di ruang depan begini, hanya bertemankan sebuah televisi. Beruntung televisi mengeluarkan suara, kalau tidak, ia berasa ada di tengah pemakaman.
Dan mau tidak mau Anggita menikmati tayangan hot gosip selebritis yang ada di depan matanya.
Menampilkan berita seorang artis yang belum lama dekat dengan sesama artis, kini putus dan kembali memiliki pasangan kembali.
Haruskah aku menjadi seorang selebritis, supaya bisa memiliki pasangan? Batinnya.
Lalu Anggita menengadahkan kepala ke atas. Sesaat matanya melirik dinding.
Ya ampun! Cicak aja bisa berpasangan.
Anggita menggeleng saat melihat dua ekor cicak berdekatan di dinding.
Jangankan gonta-ganti pasangan kaya mereka, satupun gak ada yang nempel. Padahal Anggita sudah cantik maximal, perawatan dari ujung rambut hingga jempol kaki, rutin ia lakukan bersama sahabatnya jika sudah gajian tentu saja.
Mereka bukan anak Sultan yang bisa seenaknya keluar masuk salon, harus itung-itung dulu supaya gak mempengaruhi keuangan mereka.
Clarisa mendudukkan tubuhnya tepat di samping Anggita.
Anggita yang merasa terusik, menoleh. Matanya membola melihat siapa yang kini di dekatnya. Setelah tadi hampir sejam sahabatnya ini mengurung diri di kamar. Bahkan ia sempat berpikir, Clarisa akan keluar dengan mata sembab, tapi ternyata tidak. Lalu apa yang ia lakukan di dalam kamar sejak tadi? Semedi?
"Ternyata sang bidadari sudah lelah mengasingkan diri?" godanya.
Anggita kembali fokus ke televisi. Sudah sejam ia di luar bolak-balik ganti chanel dari hot gosip hingga menikmati tayangan sinetron azab, tak berani walau sekedar mengetuk pintu kamar Clarisa.
Anggita hanya takut sahabatnya nekad setelah dapat ciuman dari si abang bisep. Semoga bantal dan guling di kamarnya masih bisa digunakan untuk tidur nanti malam.
"Kenapa ngurung diri? Takut Jaka Tarub ambil selendangnya ya, ampe kocar-kacir sendiri, lupa sama teman."
Clarisa menghela napas.
"Dia cium bibir gue, Gi."
"Hah! Bi-bibir?"
Mendengar perkataan Clarisa, membuat Anggita tersentak. Ibarat apa yang dia dengar sesuatu yang teramat sangat langka. Clarisa, gadis yang sama sekali tak tersentuh, bisa kena cium. Bibir pula!
Martin aja cuma dapat pipi, itupun kena gaplok.
Jadi Jaka tarub beneran nyosor tanpa lebih dulu nyolong selendang? Belum nyolong selendang aja begitu, gimana beneran kecolong tuh selendang.
"Hah! Jadi beneran lo dici-mmpphh."
Clarisa terpaksa membungkam mulut Anggita. Wajahnya memandang horor ke arah Anggita yang main teriak.
"Bisa gak, gak pake teriak-teriak segala?" ancam Clarisa.
Setelah yakin Anggita mengangguk, Clarisa melepas bungkaman mulutnya.
"Pantes si Martin murka." Anggita mencibir.
Lalu ia melirik sahabatnya.
"Gue bingung sama lo, dimana lo taro otak lo itu. Bisa-bisanya lo kaya artis bollywood gitu. Lari-larian dan jatuh ke pelukan si abang bisep."
"Namanya Bima, Anggi. Bukan abang bisep," keluh Clarisa.
Anggita kembali mendelik.
"Bahkan lo udah kenalan sama dia, sampai tahu nama dia segala?"
"Ibu yang kenalin kemarin," ucap Clarisa berdalih.
"Terus apa perasaan lo setelah dapat cium dari dia?" Wajah Anggita menampilkan rasa ingin tahu yang teramat besar.
Anggita melihat sahabatnya seolah berpikir.
"Gak ada."
Hah? Ini seriusan Clarisa waras dan normal?
"Ris, lo dipeluk sedekat gitu, plus dapat kecupan, dan lo gak merasakan apa-apa? Minimal berdebar gitu? Deg-degan kaya jantung lo mau copot?"
Gelengan terlihat dari kepala Clarisa.
"Tapi lo taukan deg-degan kaya apa?" tanya Anggita penasaran, memastikan sahabatnya normal atau abnormal.
Dengan wajah merengut, Clarisa berujar.
"Ya tahulah, waktu kita berdua nyolong mangga tetangga lo, terus ketahuan. Itu gue deg-degan."
"Gak perlu kali, lo ingetin hal gituan!"
Keluh Anggit.
Tiba-tiba Anggita terkesiap teringat sesuatu.
"Trauma lo gak nongol, saat lo dipeluk si abang bisep?"
Clarisa mengerjap.
Itu yang sedari tadi ia pikirkan.
Kenapa ia bisa ada dipelukan Bima dan merasakan senyaman itu, minus kecupan yang lelaki ganjen itu lakukan. Tunggu! Kalau kecupan kan sebentar, yang tadi itu lumayan lama, namanya apa ya? Arggghhhhh.
Mengingat itu, wajah Clarisa menjadi merah.
Tapi, kenapa tangannya tidak refleks menampar lelaki itu, seperti yang biasa ia lakukan ketika Martin kurang ajar?
Mereka saling memandang.
"Lo udah sembuh Ris?" tanya Anggita memastikan.
Yang ditanya malah menunjukkan wajah bingung.
"Lo nanya gue, gue nanya siapa dong."
Dengan gemas, Anggita menoyor kening Clarisa.
"Lo beneran gila, asli!"
Clarisa menopang dagunya. Lalu memandang sekitar ruangan.
"Nyokap bokap gue mana? Kok sepi?"
Siang ini, ruang tengah hanya berisi Anggita seorang. Belum termasuk cicak di dinding yang sejak tadi bertengger, berduaan pula. Kalah kan Anggita sama cicak?
"Mereka lagi meredakan jantung mereka, gara-gara kelakuan anak gadisnya yang gila."
Kini Clarisa yang menoyor kepala Anggita.
"Sekali lagi bilang gue gila, gue suruh lo balik jalan kaki ke kota."
Hening sesaat. Lalu tatapan Clarisa berubah sendu.
"Bibir gue udah gak perawan," keluh Clarisa sambil meraba bibirnya.
"Lo sendiri yang main sosor."
Tak terima perkataan Anggita, Clarisa menoleh.
"Gue cuma mau buat si Martin cemburu. Lalu dia pergi jauh-jauh dari gue."
Merasa kesal, Clarisa menjambak rambutnya sendiri.
"Ya ampun Gi, kenapa orang pertama yang nyetuh bibir gue, laki orang?" ratap Clarisa.
Anggita merengkuh bahu sahabatnya. Menepuk pelan bahu Clarisa.
"Gue cuma berdoa, lo gak jatuh cinta sama si abang bisep. Kasihan bininya, kalau lo jadi pelakor di rumah tangga mereka."
Kembali tak terima, Clarisa melepaskan rangkulan Anggita.
"Gue jatuh cinta ama dia? Ih amit-amit. Emang gak ada lagi apa cowok di Indonesia Raya ini yang single ampe gue harus jatuh cinta sama laki orang," kilah Clarisa.
"Hati-hati lho kalau bicara, jatuh cinta beneran. Repot," ucap Anggita santai.
"Lo jangan ngedoain yang aneh-aneh kenapa sih?"
Kerutan di kening Clarisa makin berlipat.
"Yang ngedoain lo siapa? Gue cuma kasih tahu aja kok. Jangan terlalu merendahkan orang, lagipula si abang bisep ganteng kok. Gak aneh sih kalau lo naksir, gue aja naksir kok."
Clarisa merotasi bola matanya.
"Lo aja kali, gue kaga."
Tak lama kekehan terdengar dari Anggita.
"Asli, gue kaya lihat Kajol ama Shah Rukh Khan tadi."
Wajah Clarisa yang kalem, tiba-tiba kembali merona. Bahkan rasa panas bukan hanya terasa di wajah, tapi sudah merambat ke sekujur tubuhnya. Mirip saat ia kena demam berdarah beberapa tahun lalu.
Siall!! Kenapa Anggita selalu ungkit kejadian tadi sih?
"Ya Tuhan, gue baru inget. Kita tadi di sungai, terus ada sawah. Jadi gak salah, kalau tiba-tiba lo berubah jadi Kajol. Sayang gue lupa stel lagu kuch-kuch-hota-hai."
"Anggiiiiiiiiii!"
Clarisa memukulkan bantal sofa ke tubuh Anggita, namun tak menghentikan gelak tawa Anggita. Dan Anggita serasa bahagia terus menggoda sahabatnya.
**
Malamnya Clarisa tak bisa tidur. Ia melirik ke arah Anggita. Sahabatnya itu bahkan sudah tertidur lelap dengan mulut terbuka. Andaikata ada cicak jatuh, Clarisa yakin langsung meluncur ke tenggorokan dan nyemplung ke lambung.
Belum lagi kalau tidur, Anggita tuh kakinya gak bisa diem. Nempel-nempel terus. Alasan karena kaki Clarisa dingin dan adem, jadi Anggita selalu menempelkan kakinya pada Clarisa. Besok-besok mendingan nih bocah tidur bareng balok es, dinginnya maximal kan.
Clarisa membolak balikkan tubuhnya. Sejak tadi ia memikirkan sesuatu.
Bagaimana bisa tubuhnya merasa nyaman dalam pelukan Bima? Ia tidak mungkin jatuh cinta sama suami orang bukan?
Astaga, masa iya lepas dari kang selingkuh Martin, ia jatuh ke pelukan suami orang.
Tapi apa benar traumanya sembuh? Apa ia harus mengetesnya kembali? Memastikan jika traumanya hilang karena tenggelam oleh waktu, atau karena sosok Bima?
Clarisa menggeleng.
Gak, gak mungkin karena si ganjen Bima itu. Bisa repot kalau trauma aku hilang karena sosok Bima saja. Aku ingin sembuh, tanpa harus konsultasi kemana-mana. Aku harus memastikan sekali lagi. Yah, aku harus.
Tatapannya menoleh ke arah Anggita yang mendengkur.
Anggita benar, aku sudah gak waras.
**
Besoknya kembali Anggita merajuk.
"Ris, aku belum puas main air. Ayolah," rengeknya.
Clarisa meragu. Bagaimana kalau bertemu si abang kambing itu lagi? Panggilan Bima kebagusan, lebih baik ia tetap menyebutnya si abang kambing.
"Kenapa? Lo takut ketemu si bisep Bima ya?" goda Anggita.
"Enggak, siapa yang takut?" kilah Clarisa.
"Iya, lo takut naksir kan? Cie ... yang takut jatuh cinta ama si abang kambing."
Mendadak Clarisa bangkit.
"Ayo kita ke sungai."
Anggita melongo, namun tak lama senyumnya terbit. Ia terkikik dalam hati. Yess.
Ternyata mudah menghasut Clarisa.
Mereka melangkah sambil bersenda gurau.
"Semoga hari ini datang Jaka Tarub yang berniat mencuri selendang ku," bisik Anggita dengan senyum sumringah.
"Mimpi kali yee." Clarisa menjulurkan lidahnya.
"Iya-iya yang sudah dicolong selendangnya sama Jaka Tarub. Tapi di legenda, gak ada lho Jaka Tarub main sosor gitu hahahaha."
Anggita kembali tergelak. Mata Clarisa mendelik. Jika tidak ingat sahabat sejak Taman Kanak-kanak, ingin rasanya Clarisa melempar gadis ini ke atas pohon, plus ikat supaya gak jatuh-jatuh lagi ke bumi.
Mereka sudah hampir mencapai sungai. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat sesosok tubuh sedang asyik dengan kailnya. Bahkan tak menyadari kedatangan keduanya.
"Ya ampun Jaka Tarubnya udah nunggu sang bidadari," bisik Anggita di telinga Clarisa yang masih mematung. Bahkan bisikan Anggita serasa membangunkan bulu kuduknya.
Clarisa menimbang, perlukan ia melanjutkan ke sungai, atau kembali lagi ke rumah?
Dan apa yang harus ia katakan jika bertemu lelaki ganjen ini.
"Gi, kita balik aja yuk," ajaknya, dengan d**a berdebar.
"Lo takut jatuh cinta sama dia, iyakan," bisik Anggita kembali, dan semakin membuat sekujur bulu di tubuh Clarisa meremang. Jangan-jangan sungai ini ada penunggunya?
"Enak aja," sembur Clarisa tak terima.
"Kalau gitu buktikan, kita tetap ke sungai," tantang Anggita.
"Gu-gue takut dia yang jatuh cinta sama gue," sahut Clarisa masih dengan berbisik.
Anggita menoleh dan melongo.
"Kasihan istrinya nanti di rumah, Gi." Kembali Clarisa beralasan.
Alis Anggita terangkat satu.
"Gue jamin. Lo yang bakal jatuh cinta sama dia," tantangnya dengan senyum jahil.
Walau sudah mendapat tatapan tajam, Anggita justru tak peduli. Tatapannya semakin menantang Clarisa. Kali ini kedua alisnya turun naik.
"Baik! Gue akan buktikan jika dia yang bertekuk lutut di kaki gue, bukan terbalik." Clarisa mengangkat wajahnya dengan pongah.
"Okey, nona Clarisa yang merasa cantik se-Indonesia Raya, kita buktikan." Wajah Anggita tersenyum penuh kemenangan. Kapan lagi ia bisa menggoda habis sahabatnya ini.
Tanpa menunggu lagi, Anggita melangkah mendekati Bima yang sedang duduk menatap kailnya.
Clarisa merasa mereka berdua sama gilanya.
Jangan lupa TEKAN LOVE UNGU DAN FOLLOW AKUN.
Semoga suka ya.
Love Herni.
Jakarta 25 Juli 2021