Chapter 5

1424 Words
Aurora tidak mengerti. Bencana sebesar apa yang menerjang tubuhnya hingga bisa terdampar di ruang kamar yang Aurora sendiri sangat yakini bahwa tempat ini cukup asing untuk ditangkap oleh retina matanya. Seluruh interiornya terlihat mewah dan juga mahal. Kening Aurora kemudian mengernyit, beban berat yang menghatam kepalanya terasa begitu pening. Sebenarnya bukan itu yang menjadi objek pikiran Aurora saat ini. Melainkan pergerakan tubuhnya yang terbatas, rasa sesak di bagian mulutnya dan dingin menggigil yang menusuk kulit tubuhnya. Astaga! Dia sedang disekap seseorang dengan kedua tangan yang terikat di atas kepala ranjang, bersama mulut yang dibungkam oleh kain, dan— telanjang. "Hmmpmmm." Aurora mencoba berteriak namun itu hanya bisa menghasilkan geraman tertahan dari mulutnya, sedangkan kedua pergelangan tangannya sudah memerah karena gerakan ingin melepaskan diri. Cklek Pintu kamar mandi yang terbuka membuat Aurora beralih, matanya langsung terbelalak— Pria itu! "Akhirnya kau bangun." Aurora semakin beringsut waspada ketika Darren menghampiri tubuhnya dengan gerakan perlahan ke arah ranjang. Ujung rambut hitam pria sialan itu menetes basah ke arah lantai, tubuhnya hanya tertutupi handuk putih yang melilit sebatas pinggang dan yang ada di dalam otak perempuan secantik Aurora untuk sekarang hanyalah mengumpati dan menyumpahi wajah tampan sialan itu dengan sangat kasar. Disyukuri atau tidak Darren cukup paham akan makna dari tatapan garang yang Aurora perlihatkan —wanita itu menatap wajahnya penuh aura kebencian. Cukup menantang. Darren mengangkat sudut bibirnya, menyeringai, udara dingin dari ruangan ditambah dengan tubuh polos yang menggeliat di atas ranjang hotel itu membuat gairah Darren semakin meningkat pesat, dan merintih agar bisa secepatnya dipuaskan. Langkah Darren terkesan tenang namun menyeramkan, menaiki tubuh Aurora dengan perlahan, mata sekelabus ularnya menatap lekat wajah cantik Aurora yang memerah. "Hmmpph." Aurora masih berusaha mengeluarkan diri dengan gerakan yang percuma, suara yang terendam oleh penutup kain membuat Darren sedikit perihatin hingga membuat otak waras Darren sedikit timbul dan mengakibatkan sebelah tangannya bergerak untuk melepaskan kain dari mulut Aurora. Hah, Aurora menarik napas dalam-dalam terlebih dahulu sebelum memuntahkan kata-kata tepat di wajah Darren. "Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!" Shit! Kenapa Darren semakin menyukainya. Oh, mungkin otaknya sudah gila. "Sesungguhnya, aku ingin melepaskanmu kalau perjanjian tidak menuliskan bahwa aku bebas membejati tubuhmu terlebih dahulu, ketika selesai aku bisa langsung melepaskanmu ke tempat sampah." "b******n!" Darren tidak terlalu memperdulikan teriakan serta makian Aurora. Matanya fokus ke arah d**a Aurora, mengelusnya secara pasif hingga membuat Aurora menggigil dalam balutan amarah. "Dadamu punya ukuran yang pas. Tidak terlalu besar dan entah kenapa aku menyukainya." Aurora semakin memberontak dan tangannya semakin perih memerah, matanya mulai berkaca-kaca. Demi Tuhan, Aurora ketakutan sekarang. "Aku mohon, lepaskan aku." Namun Darren tidak sebaik itu. Dia hanya tertawa tanpa pernah berpikir ada yang lucu. "Aku sudah mengeluarkan uang yang banyak untuk hasrat berbelanja ibu tirimu yang melampaui batas, dan sebagai jaminannya kau harus rela memberikan tubuhmu untukku tiduri." Darren membelai halus wajah Aurora, menemukan mulut Aurora untuk disentuh oleh permukaan bibirnya, lalu tatapan mereka kembali bertemu. "Kau milikku sekarang, jadi menurutlah, karena kau tau aku tidak sebaik itu ketika marah." Aurora memejamkan mata ketika mulut berengsek Darren mulai meraup bibirnya dengan lumatan panjang yang sangat ahli, lalu turun ke daerah paling sensitif di bagian d**a. Ingin memukul dan menendang s**********n si berengsek sampai mampus, namun apa yang bisa dilakukan Aurora ketika tangan dan kakinya terikat kencang. Kulit tangannya sudah hancur, dan wajahnya sudah terpenuhi aliran becek yang semakin menetes deras. Namun sepertinya hati nurani dari seorang Darren tidak berfungsi apa pun karena laki-laki itu malah asyik menikmati daerah sensitif di bagian tubuh intimnya yang lain. Yang Aurora bisa adalkan dari fungsi tubuhnya hanya mulut untuk memuntahkan makian kasar tanpa henti, berharap laki-laki yang sedang mencumbui tubuhnya sekarang sedikit bisa menyisihkan akal warasnya dan segera membebaskannya, karena sesungguhnya Aurora bukanlah barang, yang bebas diperjual belikan dengan sepucuk surat perjanjian. Namun sekali lagi. Keinginan itu hanya bisa berakhir percuma, nafsu seorang Darren tidak bisa dihentikan, dan Darren akan selalu mendapatkan apa yang dia inginkan. Termasuk membejati seluruh tubuh Aurora sampai puas. *** Wajah Darren terbenam di leher Aurora dengan peluh yang sudah membanjiri tubuh keduanya, tangan dan kaki Aurora sudah tidak terikat, tersampir meremas seprei putih yang sudah mengkusut. Air matanya semakin berceceran jatuh mengalir dari ujung kelopak matanya. Aurora kesakitan. Namun si berengsek Darren tidak mau berhenti. Nyatanya Darren terlalu buta akan gairahnya, tubuh wanita ini benar-benar tidak mengecewakannya. Tubuhnya nikmat. Darren mengakui itu, mungkin perbuatannya terlalu jahat, baru pertama kali ia memaksa seorang perempuan untuk melayani nafsu binatangnya, dengan cara —memperkosanya secara b***t. Namun Darren tidak cukup peduli dengan itu, kebaikan hatinya sudah terlanjur tewas tertimbun masa lalu. Yang ada saat ini hanya seorang Darren kejam dan penuh aura b******n. Darren melenguh ketika mendapatkan pencapaiannya yang luar biasa, dan tentu saja pencapaian yang sangat dipaksakan sekali oleh Aurora. Tubuh kekar Darren berguling ke arah samping Aurora lalu menetralkan napasnya yang memburu. Kemudian melirik Aurora yang sudah memunggungi tubuhnya. Tubuh gadis itu bergetar, tertutupi selimut sebatas d**a, isak tangis itu membuat emosi Darren tersulut. Dia tidak suka ada seorang wanita menangisi kegiatan yang dilakukannya, menurut Darren itu sama saja menghina harga dirinya. "Jangan menangis." Suara Darren masih terdengar halus, membalikkan tubuh Aurora dan wanita itu masih saja menangis. "Aku bilang jangan menangis!" Satu bentakan kasar mampu membuat Aurora mengehentikan tangisannya. Menatap Darren dengan sorot penuh ketakutan. Bergerak memegangi selimutnya untuk menutupi tubuh telanjangnya agar mata sialan Darren tidak bisa menikmati tubuhnya lagi. Air mata kesakitannya semakin tumpah. "A-aku ingin pulang," ucap Aurora bernada lemah. Darren mengerutkan kening, dan itu adalah pertanda tidak baik, "Kau ingin pulang? Ke rumah kekasihmu?! Dan kalau itu benar aku tidak akan pernah mengizinkan." "Kau siapa?! Kenapa kau tega menghancurkan hidupku! Lepaskan aku, aku ingin pulang, dan bertemu kekasihku!" Aurora memberanikan diri membentak Darren, dirinya sudah tidak kuat lagi. Cukup dengan pemerkosaan biadab ini tidak dengan pemerkosaan yang lain. Aurora bukan p*****r. Darren terkekeh begitu menyebalkan di telinga Aurora. "Kekasih," ucap Darren terdengar mengejek. "Kekasih yang bahkan belum pernah merasakan kenikmatan dari tubuh pacarnya. Kau masih perawan, dan itu sudah berhasil kubobol lebih dulu. Lalu kekasihmu akan kau berikan apa? Tubuhmu yang bekas kupakai." PLAK "b******n kau k*****t!" Aurora menampar pipi Darren dengan sangat keras dadanya naik turun, emosinya semakin menjadi gumpalan yang tidak menyenangkan. Berani sekali mulut b******n itu berbicara. Darren menatap Aurora berang, bergerak langsung untuk menindih tubuh Aurora dan memborgol kedua tangan wanita itu dengan tangannya sendiri di atas kepala. Perdebatan ini membuat nafsunya kembali bangkit ... sialan! "Kau sudah dua kali menamparku. Jadi jangan salahkan aku, ketika aku memperkosamu lagi untuk kedua kali!" Oh, Tuhan tidak! Aurora mengeleng brutal, dengan kedua mata melebar. Aurora tidak mau. "Jangan ... jangan lakukan itu." "Kau terlambat!" "Akhh." Jeritan Aurora terdengar, menandakan bahwa milik si berengsek sudah lebih dulu masuk tanpa permisi ke dalam tubuhnya. Lalu yang bisa Aurora lakukan sekarang. Hanya melirihkan nama laki-laki yang sangat dicintainya dengan wajah becek dibanjiri air mata. 'William tolong aku.' *** Udara pagi kini tercemari dengan sesuatu yang tidak menyenangkan. Keinginan pergi dari neraka dan mencari surga entah bisa didapatkan atau tidak. Mungkin Aurora sudah terbebas dari kekejaman ibu tirinya, namun ia sama sekali tidak menyangka akan mendapatkan kehidupan kelam yang lain. Setidaknya itu yang Grace tangkap dari penglihatannya sekarang. Gadis itu terlihat hancur, —ah, tidak! Bahkan wanita ini sudah tidak menjadi seorang gadis lagi setelah kejadian semalam. Ingin sekali Grace meraih kepala Darren untuk dibenturkan ke tembok sampai hancur. "Kau sudah kelewatan Darren! Aku tidak menyangka kau bisa sekejam itu terhadap perempuan!" Dan Darren hanya bisa mengabaikan ucapan tajam dari Grace, berpura-pura sibuk dengan kancing kemejanya. Mematut dirinya di depan cermin besar yang memperlihatkan tubuh indah dan wajah luar biasa tampannya sehabis mandi. Setelah selesai dengan penampilannya Darren menghampiri Grace yang terlihat mencoba memakaikan baju untuk wanita yang semalam dibelinya untuk menjadi alat pemuas nafsu bejatnya . "Oh, astaga, kau apakan tubuh cantik wanita ini. Kenapa banyak sekali luka memar di pergelangan tangannya?" "Aku mengikat tangannya semalam." Tatapan Grace terlihat garang, "Kau... sudah membuang otakmu di mana?! Wanita selemah dan penuh penderitaan ini kau perkosa!" "Aku tidak bisa menahannya Grace. Aku menginginkannya, menginkan tubuhnya." "Dan tidak dengan memperkosanya! Setidaknya lakukan dengan lembut." "Sudahlah Grace. Sekarang kau cepat keluar dari kamarku. Dan urus semuanya jangan sampai media membuat skandal baru tentangku lagi." Grace mengeram marah. Laki-laki ini harus Grace apakan. Suka sekali membuat emosinya meningkat secara mendadak. Grace bangkit dari ranjang untuk keluar, sebelum tubuhnya tertelan pintu Grace memberi peringatan tajam terlebih dahulu kepada Darren. "Bebaskan dia. Kau sudah mendapatkannya semalam," ucap Grace. Merasa prihatin dengan tubuh mungil yang masih meringkuk pulas di atas ranjang. Mungkin wanita itu tidak akan bisa berjalan normal hari ini karena perbuatan si b******n Darren. Namun sepertinya Darren tidak berpikir seperti itu, dia melirik Grace sekilas untuk menjawab dengan sorot mata tajam yang berhasil membuat napas Grace tercekat di tenggorokan. "Aku tidak bisa janji. Karena aku masih menginginkan seks ke tiga, ke empat, ke lima, dan seterusnya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD