Chapter 1

1311 Words
Kicau burung di pagi hari akan selalu terdengar bersiul indah dengan suara yang semenarik mungkin agar para mahkluk hidup di muka bumi ini mendengar lalu bangun untuk memulai aktivitas. Tetapi bisakah waktu sedikit saja diperlambat. Tolong! Hanya lima menit. Aurora butuh waktu lima menit lagi untuk menuntaskan tidur cantiknya yang memang mendapatkan durasi waktu singkat selama tiga jam. Tetapi belum sempat alam semesta menganggukan keinginannya, Aurora sudah dikejutkan dengan tumpahan air dingin yang tepat menampar wajahnya. Aurora refleks terbangun dengan perasaan terpaksa, mengusap wajah basahnya dengan telapak tangan bersama jantung yang hampir meluncur jatuh. Sementara lubang telinganya sudah mulai bersiap agar tidak merintih kesakitan ketika suara keras dan kasar itu menyerap masuk ke dalam lubang telinganya, —lagi. "Jam berapa sekarang! Kau mau menjadi wanita pemalas! Cepat bangun dan pergi bekerja." Aurora tidak menjawabnya sedikit pun. Gadis itu lebih memilih bangkit dari tempat tidur dan melangkah tanpa permisi masuk ke dalam kamar mandi. Sikap yang paling wajar untuk ditunjukkan gadis yang sedang membenci sosok ibu tiri. Masih terdengar teriakan murka dari Nany di ambang pintu kamar mandi. Persetan! Aurora sedikit pun tidak mau repot untuk peduli. Ia membutuhkan mandi sekarang, tubuhnya terasa gatal, dan wanita itu penyebab gatalnya datang. Wanita itu masih termasuk spesies siluman ulat bulu. Semakin mendekat maka kulitnya akan semakin hancur. Cukup beberapa menit Aurora membersihkan kuman yang melekat di tubuhnya, mulai berdiri di hadapan cermin yang lumayan besar, mengambil sikat gigi yang menggantung di dinding yang sudah retak bersama lumut hijau yang melekat di setiap sudutnya. Lalu Aurora mulai membersihkan gigi-gigi rapinya hingga menjadi seputih gumpalan salju di musim dingin. Hal yang cukup rutin dilakukan Aurora setiap pagi. Termasuk juga tamparan air dingin tadi di wajahnya. Itu juga selalu rutin dilakukan wanita ulat bulu itu di setiap pagi seperti ini, hanya untuk membangunkan tidur nyenyaknya. Mungkin itu adalah cara Nany untuk membangunkan tidur seorang anak tiri yang paling dibencinya. . . . "Berikan aku uang. Kebutuhan kulkas sudah menipis." Suara Nany menginterupsi kegiatan Aurora yang sedang mengganti seprai lusuh yang basah karena siraman tadi. Aurora menjawab tanpa mengalihkan perhatian di ranjang rapuhnya. "Aku tidak punya uang." Shit! Terdengar decakan kesal Nany di telinga Aurora. Tetapi gadis itu tetap pada pekerjaannya. Membuat kedua tanduk di atas kepala Nany mulai bermunculan. Berbahaya! Wanita itu marah dan— mendekat. Selamatkan Aurora. "Gadis sialan. Aku sudah berbaik hati merawatmu tapi kau membalasku dengan sikap tidak tau malu seperti itu. Kau mau mati hah!" Peringatan berbahaya dari suara Nany adalah pertanda bahwa Aurora akan mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan. Dan itu memang terjadi lagi ketika Aurora meringis sakit memegangi kepalanya. Rambutnya selalu menjadi sasaran empuk tangan sialan Nany. Derai air mata kembali berguguran tatkala rasa sakit itu terasa begitu mengoyak kepalanya sampai pening. Kemudian tubuhnya terjatuh dengan sangat keras. Pelipisnya terbentur lantai menimbulkan rasa denyutan sakit dengan sedikit tonjolan luka memar di sana. Tetapi Aurora tidak peduli dengan tubuhnya yang remuk. Ia hanya peduli dengan sesuatu yang ada di lemari kecilnya. Wanita jahat itu sedang berjalan ke arah lemarinya, dan itu membuat Aurora panik. "Jangan! Jangan mengambilnya lagi, uang itu untuk bayar sewa hunian ini." Seringaian licik Nany memberi tahu kepada Aurora bahwa peringatan seperti itu tidak akan berarti apa-apa untuk wanita iblis seperti dirinya. Apalagi ketika benda yang dicari Nany sudah berpindah di genggaman. "Mana kupeduli!" Lalu yang bisa di lihat Aurora selanjutnya hanya langkah kaki Nany yang melaju pergi. *** Semua tidak berjalan mulus. Itu yang ditangkap Aurora dalam kehidupannya saat ini. Aurora ingin sekali pergi dari neraka dan mencari surga di luar sana. Tetapi Nany selalu punya cara untuk menyeretnya kembali lagi hanya untuk menyuruhnya berlutut tepat di bawah kakinya. Aurora ingin sekali menjerit bahwa ia muak dengan semua ini, takdir, kehidupan, Tuhan. Bahkan tidak mampu membebaskan dalam jeratan takdir kelam penderitaan di hidupnya. Namun tidak seperti itu juga. Tuhan sudah berbaik hati membantunya dengan memberikan pekerjaan sebagai tukang cuci piring di restaurant yang terbilang cukup mewah di kota Paris Perancis ini. Walau gaji dari tukang cuci piring tidak sebanding dengan gaji pelayan restaurant. Tetapi Aurora cukup bersyukur, karena setidaknya pemilik restaurant masih mempunyai kebaikan hati dengan menerima karyawan tanpa ijazah seperti dirinya. Ya, walaupun sering sekali Aurora mendengar desas-desus alasan ia diterima kerja di sini tidak lain dan tidak bukan adalah karena kecantikan parasnya. Dan akibat gosip murahan itu pula dari sekian banyaknya pegawai restaurant Aurora hanya mendapatkan satu teman saja. Karena yang lain lebih sibuk untuk membencinya. "Kau selalu seperti itu. Aku tidak mau percaya lagi, sekarang kita putus! Dan jangan mengangguku lagi, aku bukan seorang CEO sepertimu yang bisa menelepon orang sembarangan di saat jam kerja." Suara cempreng dengan hentakan kasar dari sepatu flatnya berhasil membuat Aurora terlonjak dan melirik si wanita yang kini sedang menaruh piring di bak pencucian di sampingnya. Bibir wanita itu masih saja terlihat menggerutu. Dan Aurora tidak tahan untuk tidak bertanya, "Ada apa?" kepada wanita berusia tiga tahun lebih tua di atasnya. Wanita itu berenggut sebelum menjawab pertanyaan Aurora. "Si berengsek itu kembali berulah. Dia menemani teman cantiknya dari benua yang antah berantah untuk berjalan-jalan di kota ini. Dan aku sebagai seorang pacar malah berakhir dicampakkan begitu saja di tempat sialan ini." Aurora menaruh piring yang dicucinya ke atas tumpukan piring yang sudah bersih. Melirik wanita itu dengan sedikit senyum pengertian yang canggung. Wanita ini namanya Bella. Wanita satu-satunya yang mau berteman dengannya. Bella ini adalah spesies wanita pencemburu kepada kekasih tampannya yang bernama Andrew. Mungkin karena Andrew adalah seorang bos perusahaan besar yang kadang selalu ditempeli banyak wanita cantik dengan tubuh profesional. Mungkin karena itu pula penyebab besar Bella selalu cemburu. Bella itu cerewet, tetapi setidaknya Bella mempunyai hati yang baik hingga Aurora nyaman menjadi seorang teman. Mungkin pria tinggi yang disebut berengsek itu membuat penjelasan yang kurang dimengerti oleh Bella hingga menyebabkan wajah cantik itu patah seribu. "Mungkin Andrew merasa tidak enak kalau harus menolak temannya, terlebih temannya bukan dari negara ini kan?" Aurora pernah beberapa kali bertemu dengan Andrew di saat Bella dijemput pulang oleh mobil mewah. Setelah Bella mengenalkannya sebagai seorang teman kepada Andrew, laki-laki itu jadi lebih sering menyapanya. Dan Aurora menyimpulkan bahwa Andrew adalah pria baik-baik. "Sebenarnya temanmu itu siapa sih? Aku atau Andrew? Kenapa kau selalu membela laki-laki berengsek itu." Ah, dan Aurora salah bicara lagi. "Tidak maksudku-" "Sudahlah jangan bahas dia. Aku membencinya." "Baiklah." Aurora mengangguk setuju karena bagaimanapun itu urusan mereka. Aurora memilih untuk melanjutkan pekerjaannya lagi —di bak pencucian. Dan terlihat Bella mulai ikut membantu membereskan tumpukan piring. Lalu ketika Bella tidak sengaja melirik area wajah samping Aurora. Bella mulai melototkan matanya. "Kenapa dengan pelipismu?" tanya Bella, dan Aurora refleks langsung menutupi pelipisnya. "Katakan padaku, apa wanita itu menyakitimu lagi?" Aurora terdiam, lalu sedetik kemudian tersenyum menenangkan. "T-tidak," ucapnya dengan kebohongan. Dan wanita bernama Bella hanya mendengus. "Kau tidak pandai berbohong," serbunya mengoyak kebohongan Aurora yang sangat pasaran di telinga seorang Bella. Aurora hanya bisa menunduk. Bella selalu tahu tanpa Aurora harus memberitahu lebih dulu. Terkadang Aurora cukup bersyukur di penderitaannya ini ada sosok sahabat yang menemani dan menghiburnya seperti Bella. "Kau pun tau dia selalu seperti itu," cicit Aurora. Dan Bella mendengus kesal lagi untuk kedua kali. Hanya saja maknanya berbeda, lebih kepada ke arah kebencian. "Kau terlalu diam, kenapa tidak angkat kaki saja dan tinggal dengan William." Mengingat tentang William, Aurora jadi mengingat kebaikan Tuhan yang sudah menganugerahi pria tampan sebaik William untuk terlibat di dalam kehidupannya. Memang benar. Aurora ingin sekali menyetujui ajakan kekasih yang sudah dipacarinya selama tiga tahun ini untuk tinggal bersama. Tetapi sayangnya Nany selalu berhasil menyeretnya kembali. Seperti waktu lalu. "Tapi dia selalu berakhir menemukanku." Embusan napas Bella terdengar kasar, "Kenapa tidak lapor polisi saja. Demi Tuhan, aku sudah sering melihat wajah babak belurmu karena kekasaran wanita itu." "Tidak. Aku tidak mungkin memenjarakannya, dia juga Ibuku. Walaupun ibu tiri." "Lebih tepatnya ibu tiri kejam." Lalu mereka kembali memperdebatkan masalah yang sama. Pernah Bella mengusulkan tanpa otak waras untuk membunuh Nany dan tentu saja Aurora menolak. Aurora tidak ingin membusuk di dalam sel tahanan di usia muda hanya karena kasus pembunuhan ibu tirinya. Oh, kadang Aurora merasa berteman dengan wanita yang sedikit menyeramkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD