1

1582 Words
Dia terpaku, menatap seorang wanita bersama dua pria yang berpakaian seperti preman. Mereka nampak sibuk membicarakan sesuatu. Sampai akhirnya dua pria asing mulai menjauh dari wanita itu. Nieve melihat dua preman itu menatapnya sekilas sebelum akhirnya berlalu dari hadapannya. Saat dua preman itu sudah masuk ke dalam mobil, Nieve berjalan cepat menghampiri Janira. "Madre, kau tidak apa-apa?" tanya Nieve cemas. Dirinya mendesah lega saat mendapat anggukan dari Janira. Nieve langsung memeluk Janira, meleburkan kecemasannya. "Kau pulang lebih cepat," ucap Janira setelah putrinya melepas pelukannya. Nieve tersenyum tipis, "Iya karena tidak ada lembur hari ini," jawab Nieve. "Selamat sore, Madam." Perhatian Nieve dan Janira teralihkan pada sosok pria bertubuh gempal yang menghampiri mereka. Nieve memalingkan wajahnya saat mendapat tatapan genit dari pria itu. Bahkan yang membuat Nieve merasa kesal tiba-tiba adalah saat pria itu hendak mencium pipinya. Janira pun menengahi mereka membuat pria gempal itu nampak tak suka. Dia tersenyum manis lalu berdiri di depan Nieve, seolah menjadi tameng untuk putrinya. "Selamat sore, Mr. Faggin," balas Janira. "Apakah dia anak baru di sini?" tanya Mr. Faggin, berpikir jika Nieve juga seorang wanita penghibur di rumah bordil milik Janira. "Bukan," jawab Janira lalu menatap Nieve sekilas. Menginstruksikan supaya Nieve segera masuk untuk terhindar dari perhatian Mr. Faggin. "Dia adalah putri saya," sambung Janira. "Aku menyukainya. Bagaimana jika dia untukku saja?" tawar Mr. Faggin tanpa mengalihkan tatapannya dari tubuh Nieve. Nieve mengepalkan kedua tangannya. Jika saja rumah bordil ini bukan milik ibunya, sudah dipastikan dirinya akan menampar pria gemuk dan pendek itu. Namun Nieve tidak bisa melakukan banyak, dia pun lebih memilih mengikuti perintah ibunya untuk segera masuk ke dalam rumah bordil itu. Tepatnya ke ruangan pribadi ibunya. Sepanjang langkahnya memasuki rumah yang mulai banyak pengunjung, Nieve hanya menundukkan tatapannya. Dia mencoba menghindari pemandangan yang menjijikkan baginya. Jika saja, ibunya tidak mempunyai banyak hutang, Nieve tidak akan pernah mengijinkan ibunya memiliki rumah bordil. Pernah suatu hari saat dirinya masih kuliah, Nieve mencoba menghentikan kegiatan pelacuran di rumah ibunya. Namun dirinya justru mendapat marah besar dari Janira. Dan menjelaskan semua rahasia hutang yang disembunyikannya selama ini dari Nieve. Sehingga Nieve tidak bisa berbuat banyak sekalian bekerja untuk mengumpulkan uang lima juta euro. Sebuah nominal yang sangat tidak mungkin untuk dia dapatkan dalam jangka waktu satu tahun. Sampainya di ruangan pribadi Janira, Nieve duduk di sofa berwarna merah. Dia meluruskan kedua kakinya sembari membaringkan tubuhnya. Rasa lelah membuatnya ingin istirahat sejenak sembari menunggu Janira. *** "Siapa yang menyuruhmu?" Pertanyaan bernada datar itu terdengar begitu jelas di gendang telinga seorang pria yang terikat tak berdaya. Kedua tangan pria itu terikat terpisah, dengan rantai yang ditambatkan melalui langit-langit ruangan gelap tersebut. Sedangkan keadaan tubuhnya sudah tidak dalam kondisi baik-baik saja. "Aaakkkhhh!" Suara jeritan menahan sakit mengisi ruangan saat pria itu menodongkan tongkat besi ke arah perutnya yang terkoyak timah panas beberapa saat lalu. Menyebabkan darah segar semakin deras keluar dari persembunyiannya. "Siapa yang memberimu perintah?" Merasa tidak sabar karena belum mendengar satu jawaban pun dari mulut pria itu, dirinya kembali memberikan pertanyaan. Bahkan tangannya terus mendorong tongkat besi itu tanpa mempedulikan pria itu akan semakin cepat kehilangan banyak darah. Enzo menatap tajam pria di hadapannya. Dirinya masih mencoba menunggu jawaban dari bibir pria itu. Sampai satu menit kemudian, Enzo memberikan instruksi pada kedua anak buahnya untuk memindahkan pria itu menuju kursi besi andalannya. "Buat dia membuka mulutnya," perintah Enzo dan memilih untuk pergi dari ruangan eksekusi miliknya. Enzo De Marchi, atau biasa dikenal dengan nama Enzo Giovinco. Seorang Godfather paling berpengaruh di Eropa. Dirinya adalah seorang pemimpin mafia yang terkenal terorganisir di Itali. Bahkan tak jarang dirinya menutupi kejahatannya dengan membayar pada pemerintah. Hidupnya yang selalu dipuja oleh wanita membuat Enzo merasa tidak cukup dengan satu wanita. Dirinya selalu memerintahkan para Don maupun Rery—orang kepercayaannya untuk mencari seorang wanita yang bersedia menyerahkan hidupnya. Karena semua wanita yang berhubungan dengan Enzo, akan berakhir dengan kegilaan bahkan kematian. Dan tentu saja Enzo sendiri yang melakukannya demi menjaga semua hal yang baginya menjadi rahasia. Enzo adalah satu-satunya Godfather yang dikenal senang berganti wanita. Sampai saat ini sudah hampir lebih dari dua puluh wanita yang berkencan dengannya dalam waktu satu tahun. Dan satu jam yang lalu, Enzo baru kehilangan wanita kencannya dikarenakan sebuah kelalaian. Epifania De Filippis, seorang wanita berusia dua puluh lima tahun harus mendapatkan hukuman mati satu jam lalu dari Enzo. Wanita tersebut ternyata adalah mata-mata yang bekerjasama dengan pria yang saat ini sedang menjalani eksekusi. Enzo menghentikan langkahnya saat merasakan ponselnya bergetar. Dia pun merogoh saku jasnya untuk mengambil ponsel. Enzo termenung membaca sebuah pesan singkat dari seseorang. Sedangkan Rery hanya diam memperhatikan tuannya. "Suruh Jack untuk datang menemuiku," perintah Enzo dan memasukkan ponselnya kembali. Enzo melanjutkan langkahnya sedangkan Rery kembali mengikuti sembari berkutik dengan ponselnya. *** "Nieve ...." Kedua mata Nieve terbuka saat merasakan tangannya digoyangkan pelan. Dia melihat ibunya tersenyum sembari duduk di sampingnya. Nieve pun bangkit duduk. "Mulai besok kau jangan sering datang kemari," ucap Janira. "Memangnya kenapa, Ma?" Janira menghela napas pelan lalu mengelus punggung tangan putrinya. "Kau tahu tempat ini tidak baik untukmu." Nieve terdiam sejenak mengingat sikap kurang ajar pria gempal yang tidak dikenalnya beberapa saat lalu. Dan itu bukan pertama kali untuknya. Setiap kali Nieve datang menemui ibunya, selalu ada pria asing yang mencoba mendekatinya. Dirinya sudah lama tinggal terpisah dari Janira. Nieve tinggal di sebuah flat house yang tidak jauh dari rumah Janira. "Tapi Ma ...." "Tolong Nieve, kau harus membantu Madre," pinta Janira memotong ucapan Nieve. Nieve menghela napas pelan. Dia mengangguk untuk mengiyakan permintaan Janira. Janira pun kembali tersenyum. Dia mengelus puncak kepala putrinya. "Ma." "Hmm?" Janira mengangkat kedua alisnya. "Mengenai hutang itu ... kapan kau akan melunasinya? Aku hanya tidak ingin mereka terus mengganggumu." Janira mengalihkan tatapannya sejenak. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan masalah itu. Madre yang akan mengurusnya." Nieve meraih tasnya. Dia mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tas lalu memberikannya pada Janira. "Ini gajiku. Hasilnya memang tidak besar. Tapi, Ma bisa menabungnya untuk mencicil hutang." "Tidak perlu, Sayang," Janira mengembalikan kembali amplop itu, "Itu uangmu. Kau berhak menggunakannya untuk kebutuhanmu." "Aku sudah menyisihkan untuk kebutuhanku, Ma. Aku mohon terimalah," pinta Nieve dan memaksa Janira untuk menggenggam amplop darinya. Janira tersenyum. Kedua matanya berkaca-kaca hingga kepalanya menunduk saat sebulir airmata jatuh membasahi pipinya. Nieve menarik ibunya ke dalam pelukannya. Dia mengelus punggung wanita yang sangat disayanginya. Nieve tahu penderitaan yang dialami ibunya selama ini. "Jangan menangis, Ma," bisik Nieve pelan. "Terima kasih, Sayang. Terima kasih ...." ucap Janira. Nieve melepaskan pelukannya. Dia mengelus wajah ibunya hingga perlahan keduanya saling tersenyum. Nieve menghela napas pelan. "Kau sudah makan?" tanya Janira. "Belum. Sebenarnya aku ingin makan masakanmu, Ma," ujar Nieve diiringi tawa kecilnya. Janira ikut tertawa. "Baiklah. Madre akan membuatkan makanan kesukaanmu. Kau tunggu di sini. Jangan keluar, mengerti?!" "Okay," jawab Nieve sembari jemarinya membentuk tanda 'okay'. Janira pun keluar ruangan meninggalkan Nieve seorang diri. Nieve mulai memperhatikan sekeliling ruangan. Dirinya bangkit dan berjalan menuju meja besar yang terletak tak jauh dari sofa. Nieve memperhatikan beberapa surat di atas meja. Meja itu sekilas terlihat seperti meja kerja. Lima menit kemudian Nieve merasa ingin pergi ke kamar mandi. Dirinya pun keluar ruangan menuju toilet. Nieve menuruni anak tangga karena letak toilet berada di lantai satu. Dan dengan terpaksa dirinya harus mengingkari janjinya dengan Janira. Nieve segera masuk ke dalam kamar mandi dan mengabaikan sepasang manusia sedang bercumbu panas di sana. Pemandangan itu bukan lagi menjadi hal baru untuk Nieve. Bahkan yang lebih gila, Nieve pernah melihat pesta seks yang selalu di adakan setiap akhir bulan. Dan lagi, ibunya memberi alasan bahwa dengan adanya kegiatan tersebut membuat pendapatannya lebih besar dua kali lipat. Janira mengaku tabungannya sudah hampir cukup untuk membayar hutangnya jika setiap bulan mengadakan kegiatan gila tersebut. "Aku mendengar Madam sedang mencari orang yang pas." "Menurutmu Madam akan memilih siapa? Mungkin saja dia akan memilihku." Nieve hanya diam mendengar percakapan dua wanita dari luar. Sesekali dia mendengar suara air kran. "Aku berharap itu aku," ucap salah satu wanita itu dengan sombong diiringi kekehan, "Karena kita bisa meminta bayaran sesuai keinginan kita." "Kau sudah lama dan milikmu sudah tidak layak dipakai. Mana mungkin Jack akan setuju jika Madam memilihmu. Justru aku yang dipilih Madam," balas wanita satunya "Kalian sedang membicarakan map biru dari Jack?" sela wanita lain yang baru keluar dari bilik kamar mandi. "Iya. Memangnya kenapa?" tanya dua wanita itu dengan tatapan tidak senang melihat wanita yang baru satu bulan bergabung di rumah bordil tersebut. "Aku primadona di sini. Jadi kalian jangan berharap lebih. Aku yang akan mendapatkan kontrak itu. Dan aku akan pastikan jika Mr. Giovinco tidak akan pernah berpaling dariku," ucap wanita yang dikenal dengan nama Maria Cifra. "Hei," sentak salah satu dari dua wanita itu sembari mendorong bahu Maria, merasa tidak terima dengan ucapannya. "Semua pelacur di sini juga pernah menjadi primadona. Apa kau lupa kalau aku pernah menjadi primadona selama hampir lima bulan?!" "Dan sekarang akulah primadonanya," balas Maria tak mau kalah. Nieve mendesah pelan mendengar pertengkaran ketiga wanita itu. Dia ingin melerai pertengkaran mereka, namun ibunya menyuruh untuk tidak berhubungan dengan siapa pun di rumah itu selain ibunya sendiri. "Aku akan meminta bayaran satu juta euro. Dan setelah itu aku akan menjahit mulut dan milik kalian!" teriak Maria dan meringis saat salah satu dari mereka mulai menjambak rambutnya. "Aku akan meminta lima juta euro!" balas wanita yang saat ini rambutnya dijambak Maria. Nieve mematung seketika mendengar ucapan terakhir dari pertengkaran itu sampai akhirnya ada seorang pria yang melerai pertengkaran mereka. Lima juta euro?! Itu adalah jumlah uang yang dibutuhkannya saat ini. Dan bagaimana mungkin seseorang akan membayar seorang pelacur dengan nominal yang sangat besar tersebut?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD