“LO di sini aja, ntar gue kabarin kalau ada apa-apa. Serahin sisanya sama gue,” ucapannya hanya kubalas dengan anggukan pelan. Rasya selalu bisa diandalkandan selalu bisa memahamikudengan baik.Aku memandangi kedua tanganku yangtak mau berhenti bergetar sejak memasuki rumah sakit. Fobiaku benar-benar parah, entah bagaimana awalnya, tapi aku benar-benar tak berkutik di tempat ini. Aku melihat bangunan putih yang dipenuhi manusia berlalu-lalang. Dari dokter, perawat, bidan, dan pasien yang sedang berjalan-jalan keluar dengan helaan napas kasar. Tiba-tiba saja ponselku bergetar. Nama Leo di layar membuatku enggan mengangkatnya dan langsung kukembalikan ke tempat semula. Kekesalan akibat ucapannya beberapa hari lalu masih membekas dan membuatku sedikit menaruh dendam padanya.Ponselku berhent

