CSD 2. Dunia Mimpi°

1513 Words
"Baba," ujar seorang bocah yang digendong Imdad di lengannya. Mereka bertelanjang da.da, hanya mengenakan celana dothi yang melengket basah di kaki mereka. Setiap pagi mereka ke sungai untuk mandi air dingin yang bisa menguatkan tubuh. Imdad menatap bangga anaknya sementara si bocah itu menyorot memelas. "Haan, Toru? Kau mau mandi lagi? Sudah, cukup. Nanti ibumu marah kita terlalu lama di sungai," katanya pada Thoriq Ali Hussain yang baru berusia 1 tahun. "Baba!" panggil seorang bocah lagi sambil menarik-narik celana Imdad minta digendong juga. Imdad mendengkus pada bocah satu itu. "Tidak, Manse, berhenti memanggilku Baba. Aku bukan ayahmu. Aku ini kakakmu, panggil aku Bada Bhai!" "Baba," ulang Manse karena ia meniru Thoriq. Itulah susahnya jika anak kecil dibesarkan bersama. "Isshh ...." Imdad mendesis karena Manse terus menarik celananya hingga hampir melorot, Imdad dengan terpaksa menggendong Manse di lengan sebelah lalu membawa kedua anak itu menjauh dari sungai. Manse dan Toru berusia sepantaran, perawakan mereka juga nyaris serupa, sehingga Imdad tampak seperti ayah dari anak kembar. Saif Ali, ayah Imdad dan Manse, sedang dinas ke perbatasan sehingga beberapa bulan tidak ada di rumah. Imdad menjadi sosok ayah bagi adiknya itu. Imdad mendudukkan Manse dan Thoriq di punggung Aanjay. Ia memasangkan baju mereka, lalu ia naik belakangan kemudian memacu Aanjay pulang ke kediaman ibunya. Setelah Thoriq lahir, Imdad mengajak Chandni tinggal di rumah orang tuanya supaya lebih fokus membesarkan anak dan mengurus rumah. Harapannya, jika Rajputana tidak melihat Chandni lagi, Rajputana akan melupakan Chandni dan mencari selir baru. Chandni menyambut kedatangan Imdad dan anak-anak di depan rumah. "Baguslah kalian sudah datang. Chandni hampir menyusul ke sana. Makanan sudah siap, sayang sekali jika dibiarkan dingin," katanya. Imdad menggendong anak-anak turun dari kuda. Kedua bocah itu langsung saja berlarian ke dalam rumah. "Hei, jangan lari, nanti kalian jatuh!" tegur Chandni. Ia segera berbalik untuk mengejar anak-anak itu, akan tetapi tangan kokoh melingkari pinggangnya seraya menariknya. Chandni terperangah. Ia terdekap ke da.da Imdad. Mereka lalu berjalan sambil berangkulan masuk ke dalam rumah. "Biarkan saja, Chandni, mereka anak laki-laki. Mereka harus belajar rasanya jatuh agar berusaha bangkit dengan kekuatan mereka sendiri," gumam Imdad sambil menghidu belakang leher Chandni. Chandni memukul gemas lengan suaminya. "Ih, tidak bisa begitu, suamiku. Bagaimana jika terkena benda berbahaya? Pecahan kaca atau lantai licin." "Tenanglah, ada pelayan yang mengurus mereka. Ibuku juga ada. Kau urus aku saja. Sudah lama kita tidak berduaan. Toru sudah besar. Biar dia ikut tidur bersama Manse di kamar ibuku," goda Imdad. "Atau kita ke hutan saja dan bermalam di gua. Kita bawa bekal dari rumah, jadi tidak perlu susah-susah berburu." "Ah, suamiku bertingkah seperti bujangan saja," gumam Chandni. "Kasihan Toru." Imdad semakin erat mendekapnya, berbisik mesra. "Ayolah, Chandni, satu atau dua malam saja, biar kita bebas bersuara tanpa direcoki ibuku. Aku yakin karena suaminya tidak ada, ibuku jadi iri dengan kita." Chandni tertawa kecil mendengar permintaan Imdad. Dia hendak membisiki sesuatu, tetapi ibu Imdad muncul dan menegur mereka. "Ayo! Ayo! Apa yang kalian rencanakan?" Chandni segera menjauhi Imdad sambil terkikik geli. Dia ke dapur berlagak sibuk. Imdad ditinggal merengut pada ibunya. "Amma, merusak kesenanganku saja." Maimoona yang kerepotan membawa baki karena Toru dan Manse menarik-narik sarinya, segera menyahuti Imdad. "Merusak kesenanganmu bagaimana? Justru aku sangat peduli pada kalian. Jangan berbuat yang aneh-aneh dengan Chandni." "Aneh bagaimana? Amma, aku dan Chandni hanya butuh penyegaran." "Penyegaran, penyegaran. Ini juga penyegaran!” Maimoona memperlihatkan isi baki yang dibawanya. Di baki itu ternyata berisi benih gandum dan jelai. Salah satu benih itu bertunas. Mata Imdad terbelalak serta wajah pucat pasi. "Amma ... Amma hamil lagi?” tudingnya Maimoona berujar ketus. "Ya ampun, Imdad. Sejak kapan kamu jadi sedungu ini? Bibit ini bukan dari air seniku, tetapi dari air seni Chandni.” Mata Imdad mengerjap-ngerjap. Ia menatap terpana pada ibunya. Maimoona berseru melegakan. "Haan, Imdad-ji. Chandni-mu hamil lagi." Imdad mematung. Perlu beberapa saat untuknya mencerna berita itu. Itu berita yang membahagiakan, tetapi juga mengejutkan. Imdad menata pikirannya. Selama ini, bisa saja Chandni menemukan cara menjaga asupan cakra tanpa harus dibantu Rajputana. Apalagi Chandni terlihat biasa-biasa saja, artinya tidak ada sesuatu pun yang akan menyusahkannya. Demi Tuhan, jika Chandni mengidam selain ciuman Rajputana, ia akan mewujudkan apa pun itu. Imdad bergegas ke dapur mencari Chandni. Istrinya sedang menyusun setumpuk manisan ladoo di piring. Chandni menoleh padanya seraya tersenyum manis. Imdad menatap lekat, tetapi tidak bisa berkata apa pun. Pelayan membawakan setumpuk manisan itu untuk dibagikan ke semua penghuni rumah. Chandni mendekati Imdad. Tangannya membawa ladoo dan ia menyuapkan manisan bulat itu ke mulut suaminya. Imdad mengunyah perlahan-lahan. "Bersiaplah menyambut kebahagiaan baru kita, suamiku. Kehamilan kali ini, Chandni akan berusaha tidak membebani perasaan Tuan Imdad." Imdad merasa gamam, tetapi ia segera menggeleng. "Bukan begitu, Chandni. Aku ... apa pun demi keselamatan kau dan calon bayi kita, aku bersedia menjalaninya. Tidak apa-apa jika kau membutuhkan Rajputana.” Chandni menjadi terharu. Meskipun berat menjalani kecemburuan, Imdad masih memprioritaskan kebutuhannya. Chandni menggeleng perlahan. "Tidak, suamiku. Chandni sudah tahu bagaimana cara mendapatkan cakra yang kuat.” "Bagaimana?” "Bukan bagaimana, tetapi lebih tepatnya di mana. Salah satu kenapa siluman laba-laba tidak pernah menyerang sanggar sehingga Chandni aman di sana adalah karena Sanggar Mohabbatein diliputi cakra yang sangat kuat. Musik, nyanyian, dan puji-pujian yang kerap dilantunkan menjadi tenaga bagi tempat itu. Chandni bisa memenuhi cakra Chandni dengan menyanyi dan menari di sana." "Sejak kapan kau mengetahuinya?” “Sejak kita kembali ke rumah ini dan Chandni melihat cahaya sanggar dari jendela kamar kita.” "Oh ....” Sebuah kebetulan yang tidak disangka-sangka. (Hebat banget authornya bikin twist ye kan? Wkwkkw) Imdad memeluk erat Chandni. Harapan saat penantian anak kedua menjadi sangat menyenangkan. "Chandni-ku, Chandni-ku ... Ah, kau tidak tahu betapa leganya aku ...,” lirihnya. Di malam harinya, selepas saling membuai dalam kehangatan tubuh masing-masing, Imdad memeluk Chandni dari belakang dan berdua berbaring menghadap jendela yang terbuka lebar. Dari jendela itu, terlihat menara sanggar bercahaya serta sayup-sayup musik pentas berdendang indah. Kehamilan kedua Chandni yang membawa berkah baru dalam kehidupan Imdad. Rasa cinta dan kagum pada Chandni tumbuh semakin besar hingga melampaui luasnya dunia. Imdad menyanyikan lagu mengikuti musik lembut itu, tetapi syairnya merupakan isi hatinya untuk sang kekasih. "Sapna Jahan Dastak Na De ....” (*) Dulu dunia mimpi enggan mengetuk "Chaukhat Thi Woh Aankhen Meri ...." Di ambang pelupuk kedua mataku "Baaton Se Thi Tadaad Mein ... Khamoshiyan Zyaada Meri ...." Dulu kebisuanku terhitung lebih banyak daripada tutur kataku "Jabse Pade Tere Kadam" Namun sejak engkau melangkahkan kaki masuk ke dalam hidupku "Chalne Lagi Duniya Meri ...." Duniaku mulai kembali berputar "Mere Dil Mein Jagah Khuda Ki Khaali Thi ...." Dulu terdapat ruangan kosong untuk seorang dewi di dalam hatiku "Dekha Wahan Pe Aaj Tera Chehra Hai" Kini di sana terlihat wajahmu "Main Bhatakta Hua Sa Ek Baadal Hoon ...." Aku bagaikan sepotong awan pengembara "Jo Tere Aasmaan Pe Aake Thehra Hai ...." Yang kemudian datang dan singgah di langitmu Tetapi, akankah awan itu menetap selamanya di satu tempat? Angin akan menyapunya dengan mudah, sehingga hilang tanpa bekas. Napas Imdad gemetaran saat ia menghidu aroma kekasihnya. Chandni membalik tubuh menghadap Imdad. Ia menatap ke dalam mata pria itu seraya membelai wajahnya yang menjadi sendu. Chandni mengecupi dagu Imdad seraya bersenandung lirih. "Tu Rooh Hai Toh Main Kaaya Banoon ...." Bila kau adalah ruh, maka aku akan menjadi jasadmu "Taa-Umr Main Tera Saaya Banoon ...." Aku akan menjadi bayanganmu seumur hidupku "Kah De Toh Ban Jaoon Bairaag Main ...." Jika kau berkehendak maka aku akan menjadi kerinduanmu "Kah De Toh Main Teri Maaya Banoon ...." Jika kau berkehendak maka aku akan menjadi ilusimu "Tu Saaz Hai ... Main Ragini ...." Kaulah alat musik, akulah melodi "Tu Raat Hai ... Main Chandni ...." Kaulah malam, akulah sinar rembulan Imdad membalas tatapan Chandni. Tatapannya pasrah oleh ketidak berdayaan meredam rasa cinta. "Mere Dil Mein Jagah Khuda Ki Khaali Thi ...." Dulu terdapat ruangan kosong untuk seorang dewi di dalam hatiku "Dekha Wahan Pe Aaj Tera Chehra Hai" Kini di sana terlihat wajahmu "Main Bhatakta Hua Sa Ek Baadal Hoon ...." Aku bagaikan sepotong awan pengembara "Jo Tere Aasmaan Pe Aake Thehra Hai ...." Yang kemudian datang dan singgah di langitmu Genggaman tangan Imdad sangat erat seakan enggan berpisah. Chandni berusaha menenangkan suaminya dengan mengutarakan harapan-harapannya. "Hum Pe Sitaaron Ka Ehsaan Ho ...." Semoga gemintang di langit bermurah hati pada kita "Poora Adhoora Har Armaan Ho ...." Semoga segala harapan dapat terkabul "Ek Doosre Se Jo Baandhe Humein ... Baahon Mein Nanhi Si Ik Jaan Ho ...." Semoga kelak ada jiwa kecil dalam pelukan yang akan semakin mengikat kita "Aabaad Ho .... Chhota Sa Ghar ...." Semoga rumah mungil kita akan abadi "Lag Na Sake .... Kisi Ki Nazar ...." Tiada pandangan buruk yang dapat menyentuhnya Imdad tidak dapat mengenyahkan rasa takut kehilangannya. Ia mendekap erat Chandni. "Mere Dil Mein Jagah Khuda Ki Khaali Thi ...." Dulu terdapat ruangan kosong untuk seorang dewi di dalam hatiku "Dekha Wahan Pe Aaj Tera Chehra Hai" Kini di sana terlihat wajahmu "Main Bhatakta Hua Sa Ek Baadal Hoon ...." Aku bagaikan sepotong awan pengembara "Jo Tere Aasmaan Pe Aake Thehra Hai ...." Yang kemudian datang dan singgah di langitmu
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD