bc

CINTAMU PALSU

book_age18+
10
FOLLOW
1K
READ
love-triangle
family
lighthearted
like
intro-logo
Blurb

"Rosie, aku harap kamu bisa mengerti. Aku,, aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Aku mencintaimu dengan dalam dan tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu. Aku tidak akan sanggup melihatmu terluka lagi. Kondisimu sekarang akan mempengaruhi kesehatanmu dan calon bayi kita nantinya."Dulu, Rosie merasa Alan dan seluruh keluarganya ada berkah yang dikirim Tuhan untuknya. Kondisi tubuhnya yang lemah tidak membuat sikap Alan dan keluarganya berubah. Mereka tetap mencintai dan merawatnya dengan baik. Siapa sangka jika semua itu hanya kedok untuk membuatnya mati lebih cepat.

chap-preview
Free preview
Masalah yang Sama
"Sampai kapan kamu akan menunggu? Mama cuma ingin cucu. Kapan kamu mau kasih mama cucu? Ini sudah dua tahun. Kamu ingin mama bersabar sampai kapan? Mama mohon bicarakan masalah ini dengan Rosie.” Rosie baru saja hendak membuka pintu kamarnya saat mendengar suara mama mertuanya. Jantungnya serasa diremas hingga hancur. Ya, dokter memang mendiagnosis dirinya kesulitan hamil karena penyakitnya. Namun, apa itu menjadi kesalahannya? Siapa yang tidak ingin sehat? Semua orang juga ingin sehat dan memiliki anak. “Mama juga menyayangi Rosie, tapi kondisinya….” Rosie bersandar di dinding. Dia menepuk-nepuk dadanya yang sesak. Selama ini, Hilda, mama mertuanya, sangat baik padanya. Namun pepatah sabar ada batasnya memang benar. Tampaknya, mama mertuanya itu sudah tidak bisa lagi menunggu lebih lama. Mata Rosie mengembun. Dia Pun mendongak untuk mencegah air matanya jatuh. Kenyataan ini memang sangat menyakitkan. Semua berawal dari sepulangnya dia dari bulan madu bersama suaminya, Alan. Mendadak, dia terserang batuk yang tidak kunjung sembuh. Dia telah bertemu dokter, meminum obat dan vitamin. Namun, batuknya tidak juga reda. Berat badannya turun dengan cepat. Dalam satu bulan, dia kehilangan sepuluh kilo. Alan, akhirnya, membawanya ke dokter untuk pemeriksaan lengkap. Saat itulah, mereka menyadari adanya bakteri tuberculosis yang menyerang paru-parunya. Wajahnya yang cantik dan menarik menjadi kurus dan matanya cekung. Tulang-tulangnya menonjol, tampak lemah dan menakutkan. Mata yang dulunya penuh dengan semangat dan sinar kehidupan, kini terlihat kosong. Rosie menjadi perempuan rapuh. Dia tidak lagi cantik seperti dulu. "Sabar, Ma. Mama 'kan, tahu kalau Rosie itu masih sakit. Kalau sudah sembuh, dia juga bisa hamil. Aku juga masih usaha untuk kesembuhannya lalu memberimu cucu-cucu yang lucu." Jawaban Alan seperti air hujan di musim panas, begitu menyejukkan hati Rosie. Suaminya itu memang penyabar dan sangat pengertian. "Mama tahu itu. Tapi umur mama sudah lima puluh. Mama juga ingin menggendong cucu. Kalau kelamaan, bisa-bisa punggung mama sudah tidak kuat. Kamu jangan egois. Bilang juga sama istrimu untuk tidak egois. Kamu menikah lagi, lalu buat istri barumu itu hamil sementara Rosie berobat. Lagi pula, seperti katamu, Rosie masih bisa hamil kalau sudah sembuh. Siapa tahu mama bisa punya banyak cucu." "Ma..." Rosie tidak sanggup mendengar. Dia berbalik dan mengurungkan niatnya untuk menyapa mertuanya itu. Dengan lunglai, Rosie memilih duduk di perpustakaan, melanjutkan membaca buku yang sudah dia buka kemarin. Di tangannya, sebuah buku terbuka. Rosie menatapnya, tapi pikirannya menerawang, tampak rumit dan penuh. Entah apa yang dia pikirkan hingga dia tidak menyadari kehadiran Alan. “Apa yang kamu baca?” Rosie menoleh dan mendapati Alan duduk di sampingnya. Tangannya mengangkat sampul buku. Alan tersenyum lebar. “Novel lagi?” Rosie mengangguk. “Kali ini, campuran romance dan thriller.” “Oh iya? Pasti seru! Siapa nama tokohnya?” Rosie mengerjap. Dia tidak tahu siapa saja nama-nama tokohnya. Dia hanya membaca sekilas blurb di halaman belakang dan setelah itu, pikirannya ambyar. Alan mengangkat satu alisnya. Mendapati istrinya yang justru melamun, dia terkekeh. “Sebenarnya, apa yang kamu pikirkan? Sampai nama tokohnya saja kamu lupa.” Dia mengulurkan tangannya, merapikan rambut Rara yang berkeliaran dan menyelipkannya di balik telinga. Rara hanya tersenyum. “Mama tadi mampir kemari. Dia membawakan herbal tonik untukmu. Tapi, dia masih ada urusan jadi langsung kembali.” “Maaf, aku tidak tahu. Pasti aku tidak mendengar suara pelayan yang memanggilku.” “Tidak apa-apa. Dia hanya mampir. Tidak ada hal besar.” Rara hanya diam memandang suaminya lamat-lamat. Ada begitu banyak kata yang ingin diucapkan, tapi pada akhirnya dia menelannya kembali. Suasana menjadi hening. Baik Rosie dan Alan sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Lalu tiba-tiba, Rosie berkata hingga membuat Alan menegang. “Aku dengar apa yang dikatakan mama tadi,” ucapnya sambil tersenyum. Saking tegangnya Alan bahkan lupa tidak bernafas. “Kamu….” Nafas Alan berubah berat. Senyuman itu,, kenapa tampak menyedihkan? “Jangan khawatir, aku tidak akan melakukan itu. Apapun yang ada di pikiranmu, buang saja. Aku tidak akan meninggalkan kamu.” Alan meraih tangan Rosie dan menggenggamnya dengan erat. Air mata yang sejak tadi ditahan, akhirnya menetes juga. Pipinya basah, bajunya basah. Rosie menangis sesenggukan. Hati Alan sakit melihat istrinya menangis. Dengan satu gerakan ringan, tubuh Rosie sudah berada dalam pelukannya. “Ssstt, jangan menangis lagi. Aku tidak akan melakukan apa yang diinginkan mama. Kamu tenang saja.” Alan mengusap pelan punggung Rosie, mencoba meredakan rasa galau dan sakit hatinya. “Tapi, mamamu benar. Aku tidak tahu kapan bisa sembuh. Aku juga tidak tahu apakah setelah sembuh aku bisa langsung hamil. Semua ini masih belum jelas.” Bahu Rosie bergetar. “Meskipun mama benar, tapi aku tidak akan melakukan apa yang bisa menyakitimu. Sudah, jangan menangis.” Entah karena menangis atau tersedak air matanya, Rosie tiba-tiba terbatuk hebat. Keringat tipis muncul di dahinya dan wajahnya memerah. Alan bergegas mengambil termos air hangat yang selalu tersedia di perpustakaan dan memberikannya kepada Rosie. Setelah meminum beberapa teguk, batuknya mereda. Dengan lembut, Alan mengelap keringat Rosie dengan tisu. “Jangan berfikir terlalu berat. Nanti mempengaruhi kesehatanmu. Sudah, biarkan mama berkata apa, yang penting adalah aku. Aku tidak akan melakukannya. Aku ingin melihatmu sembuh. Tidak peduli jika kita tidak memiliki anak. Kita bisa merawat satu atau dua dari panti asuhan atau mengadopsi langsung dari orang tua yang membutuhkan. Jangan khawatirkan apapun.” Tatapannya Rosie meredup. Pikirannya tampak rumit. Dia senang suaminya tidak setuju dengan usul mamanya, tapi ada sesuatu yang mengganjal hatinya dan itu terasa sangat berat. Rosie tahu jika sebenarnya Alan menginginkan seorang anak. Seringkali, dia mendapati Alan menatap foto-foto bayi yang lucu dan menggemaskan. Lalu, segera menutup ponselnya saat menyadari kehadiran Rosie. Rosie mengeratkan pelukannya, membenamkan wajahnya di d**a Alan yang hangat. — “Maafkan saya, Nyonya. Menurut hasil laboratorium, kondisi Anda masih belum memungkinkan untuk hamil.” Dokter pria dengan separuh rambutnya berwarna putih itu menyodorkan selembar kertas hasil cek lengkap miliknya. Tangan Rosie gemetar mengambil kertas itu dan memasukkannya ke dalam tas. Dia memejamkan matanya sambil terus menarik nafas dalam. Sudah kesekian kalinya, dan hasil tes selalu sama. Dengan langkah gemetar, Rosie keluar dari ruang dokter dan pulang. Perjalanan kembali ke rumah terasa begitu lambat. Matahari sudah berada di barat dan sebentar lagi tenggelam. Lalu lintas cukup padat karena bebarengan dengan jam pulang kantor. Rosie terus melihat keluar, memperhatikan pohon-pohon dan pengguna jalan lainnya. Tatapannya kosong. Otaknya penuh dengan pemikiran-pemikiran negatif. Tampak jelas jika suasana hatinya sedang buruk. Sesampainya di rumah, dia melihat jika mobil Alan sudah terparkir. Rosie melihat jam di tangannya. Pukul setengah enam. Tumben sekali Alan sudah pulang. Tanpa sadar, bibirnya tersenyum dan suasana hatinya membaik. “Nyonya, saya sudah menyiapkan teh jahe hangat untukmu. Haruskah saya membawanya ke kamar sekarang?” Mary, pelayan yang bertugas khusus untuk menjaganya, menyambut kedatangannya di depan pintu. “Iya, Mary. Tolong ya.” Mary mengangguk dan berbalik menuju dapur sementara Rosie melanjutkan langkahnya ke kamar. “Sayang, kamu pulang lebih cepat.” Rosie melihat Alan sedang duduk di sofa. Jasnya tersampir di tempatnya. Beberapa kancing kemejanya sudah terlepas. Rambutnya juga tampak dirapikan hanya dengan tangan. Tampan. Sangat tampan. Alan juga cerdas dan mudah bergaul. Itu sebabnya, dia bisa dengan mudah menempati posisi tinggi di perusahaan. Alan meletakkan ponsel yang tadi dia tekuri dan mendongak, lalu senyumnya terbit dengan indah. “Iya, baru saja. Kamu dari mana?” Rosie mendekat dan duduk di dekatnya. Wajahnya tampak berubah. Senyumnya tidak lagi lebar. “Dari rumah sakit.” “Oh iya? Bagaimana kata dokter?” Bahu Rosie terangkat dan wajahnya sepenuhnya tertekuk. Tanpa menjawab, Alan bisa menebak hasilnya. Dia pun meraih tangan kurus Rosie dan menggenggamnya dengan lembut. “Tidak apa-apa. Jangan bersedih. Kita akan terus berusaha. Kalau mau, kita juga bisa mengganti dokternya. Bagaimana?” Rosie mendongak. Tatapannya bertemu dengan mata Alan yang lembut dan cerah. Mata itu begitu indah seakan separuh kebahagiaan Rosie datang dan separuh penyakitnya hilang karenanya. “Alan, kenapa kamu begitu baik?” Kening Alan berkerut. “Apa yang kamu bicarakan? Tentu saja karena kamu istriku. Memangnya apa lagi alasannya?” “Aku tidak bisa memberimu keturunan.” Satu persatu air mata Rosie menetes dan membasahi pipinya yang tirus. “Aku tidak peduli. Aku hanya ingin denganmu. Itu saja sudah cukup bagiku.” “Tidak, Alan. Aku akan merasa sangat bersalah dan egois.” “Rosie sayang, dengarkan aku. Tidak ada yang ingin sakit. Semua orang ingin sembuh. Begitu juga dirimu. Kita sudah berjuang selama ini. Keadaanmu yang sekarang bukanlah salahmu. Ini sudah takdir Tuhan. Dan kita akan hidup bersama dengan takdir ini.” “Tidak! Aku juga ingin melihatmu bahagia dengan anak-anakmu. Maafkan aku yang cacat. Aku rela jika kamu menikah lagi.” “Rosie, cukup! Aku tidak ingin mendengar tentang hal ini lagi.” Alan berdiri dan hendak ke kamar mandi. Langkahnya lebar dan pasti. Bisa dilihat jika dia tampak gusar. Saat tangannya hendak mencapai kenop pintu, Rosie kembali bersuara. “Alan, ini adalah permintaanku. Carilah perempuan lain yang sehat. Aku rela. Jika kamu tidak mau, aku akan meminta mama melakukannya untukmu.”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
167.4K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
151.8K
bc

My husband (Ex) bad boy (BAHASA INDONESIA)

read
292.3K
bc

Tentang Cinta Kita

read
212.2K
bc

Papa, Tolong Bawa Mama Pulang ke Rumah!

read
4.2K
bc

Ketika Istriku Berubah Dingin

read
3.3K
bc

TERNODA

read
192.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook