Suara tembakan bergema keras, membelah udara dengan panas yang menyengat. Peluru-peluru tajam meluncur tepat ke sasaran, menciptakan denting logam yang memuaskan. Di antara deru debu dan serbuk mesiu, Bima berdiri tegap dengan mata fokus pada target di kejauhan. Nafasnya teratur, tangannya mantap mengangkat senapan. Tidak ada yang lebih disiplin dari pria itu dalam latihan. Tangan kirinya menggenggam senjata laras panjang dengan cekatan, jari-jarinya seperti satu kesatuan dengan senapan. Seolah senjata itu bukan sekadar alat—melainkan perpanjangan dari tubuh dan nalurinya. "Target ketiga, dua belas derajat ke kanan, Komandan!" teriak salah satu instruktur, lambaian tangannya memberi kode yang hanya dipahami oleh sesama prajurit. "Target tiga puluh meter. Lima detik. Fokus." Suara Bima