Arafah masih bersandar di d**a Bima. Napasnya teratur, tubuhnya nyaman dalam dekapan suaminya yang selalu terasa hangat—lebih dari apapun. Percakapan mereka sesaat lalu masih berputar di kepala Arafah. Ada rasa haru yang sulit diungkapkan, rasa syukur karena Bima selalu membuatnya merasa cukup dan jauh dari kata kurang. Tidak ada tekanan, tidak ada tuntutan. Seiring waktu berlalu, kehangatan di antara mereka tidak hanya sebatas dalam hati. Arafah mengangkat kepalanya perlahan, menatap wajah Bima yang masih terjaga di sebelahnya. Iris mata Bima yang terpejam begitu memesona, membuat debar di jantungnya semakin kencang. Senyum kecil terukir di bibir mungil Arafah, mata hanzel itu berbinar penuh godaan. "Kalau gitu, kapan kita mulai kerja kerasnya, Mas?" bisik perempuan itu menggoda. "Bany