Chapter 02

1153 Words
LWAP 02 Tirai itu dibuka. Membuat sinar matahari masuk ke dalam kamar, mengganggu seorang gadis yang tengah terlelap. Namanya adalah Leah Emily Pearson atau kerap dipanggil Lea. "Lea, bangun. Kamu tidak lupa kan harus ikut Papa?" Seorang wanita berumur empat puluhan berseru beberapa kali membangunkan putri tunggalnya yang pemalas. "Ngghh." Hanya lenguhan singkat yang keluar dari bibir pink Leah, matanya masih terpejam. "Ck, bangun Lea!" Wanita yang hampir berumur lima puluhan itu pun berdecak kesal melihat putrinya yang tak kunjung bangun. "Mama, bentar lagi," gumam Leah pelan. Katie Pearson--Mama Leah-- berdecak pelan. "Nggak ada! Sekarang bangun!" tegasnya. Katie memaksa tubuh Leah agar bangun dan duduk. "Buka mata kamu, Lea!" Leah merasa tidurnya sudah benar-benar terganggu pun terpaksa membuka matanya. "Iya, ini udah bangun." Senyum Katie merekah. "Nah bagus. Sekarang kamu mandi." Tidak ada yang bisa Leah lakukan selain menurut. Ia berdiri dan mengayunkan kakinya menuju kamar mandi. Dua puluh menit kemudian ia telah siap dan sudah rapi dengan kemeja putih dan blazer berwarna abu-abu. Leah mematut dirinya kembali di kaca. Tidak cocok kalau di ikat. Batin Leah melihat model rambutnya sendiri yang tadinya ia ikat. Ia langsung melepaskan ikat rambut dan menggerai rambutnya. Senyum puas tercetak di wajahnya yang cantik. Leah mengambil ponsel dan dompetnya lalu ia masukkan ke dalam tas kecil. Kaki Leah menganyun meninggalkan kamar dan berjalan menuju ruang makan. "Morning Pa, Ma," sapa Leah dengan senyum cerah. "Pagi juga sayang. Sarapan cepat," titah Katie. "Nanti kamu ikut Papa Meeting bersama Schulman corp. Jangan keluyuran di kantor," ucap Anthony, Papa Leah. "Iya, Pa." *** Kini Leah sudah berada di gedung perusahaan Papanya, lebih tepatnya sudah berada di dalam ruangan sang Papa. Sejak tadi Anthony tak berhenti berbicara mengenai bisnis dan juga posisinya yang akan ia dapati sebentar lagi. Leah akan bekerja menggantikan sang Papa dan tentu saja ia harus mengetahui apa saja pekerjaan yang harus ia lakukan. "Kamu mengerti?" tanya Anthony, mengakhiri ucapan panjangnya yang sedikit membosankan bagi Leah. "Paham, Pa." "Bagus. Nanti Jason Schulman akan datang, kamu harus memperhatikan kesepakatan bisnis yang akan Papa lakukan. Kamu jangan kebanyakan melamun, paham?" Leah mengangguk. "Iya Papaku tercinta, cerewet banget sih." Leah tertawa kecil. Anthony hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah putrinya. "Pa, haus," adu Leah sambil memegang lehernya. "Kamu bisa mengambilnya sendiri," sahut Anthony acuh, fokusnya berada pada tumpukan dokuman di mejanya. Leah menganggukkan kepalanya. "Papa mau kopi juga?" "Iya." Leah bangkit dan berjalan keluar dari ruangan Anthony. Kakinya mengayun menuju ruangan yang tak lain adalah tempat membuat kopi atau minuman lain di kantor Papanya ini. Sepuluh menit kemudian Leah telah selesai, ia membawa dua buah cangkir dan kembali ke ruangan Ayahnya. Namun na’as, saat hampir tiba di depan ruangan sang Papa lantai mendadak terasa licin dan ia tergelincir hingga kopi yang Leah pegang tumpah membasahi jas seseorang kemudian disusul dengan kedua cangkir yang ia pegang jatuh dan pecah. Leah mendongakkan kepalanya dan menegakkan tubuhnya. Sejenak, Leah hanyut akan tatapan lelaki yang menjadi sasaran tumpahnya kopi yang belum sempat ia cicip. “Maaf, Tuan. Saya tidak sengaja.” Leah buru-buru meminta maaf saat kesadarannya kembali, ia meringis melihat kemeja lelaki itu kotor kemudian Leah mengambil sapu tangan di kantung celananya dan membersihkan jas lelaki itu. “Menjauh,” ucap Laki-laki itu datar, matanya menatap Leah dengan intens. Leah kembali menegakkan tubuhnya dan menatap pria di depannya. Leah merasa lelaki di depannya sedang menahan emosi akibat kecerobohannya. “Saya tidak sengaja, maafkan saya. Saya akan mengantinya.” “Tidak usah.” Lelaki itu menyahut kembali dengan datar, tanpa mengatakan apapun lagi lelaki itu berjalan dan membuka ruangan Anthony. Leah mematung di tempat. Entah kenapa jantungnya terasa deg-degan dan seakan ingin copot dari sarangnya. Aura pria itu benar-benar mendominasi. Dua menit terdiam, akhirnya Leah berjalan memasuki ruangan Papanya. Di sana ia sudah melihat sang Papa duduk berhadapan dengan pria dingin tadi. “Pa…” panggil Leah. Fokus kedua pria di hadapan Leah buyar dan kini keduanya menatap Leah. Leah menelan saliva susah payah saat melihat tatapan dingin pria yang belum ia ketahui namanya. Namun, satu nama melintas di pikiran Leah, nama tamu yang sejak tadi ditunggu Anthony. Jason Schulman. Leah menduga pria itulah yang bernama Jason Schulman. “Tuan Schulman, perkenalkan dia putriku. Leah Emily Pearson.” Leah tersenyum ramah, walau dadanya terasa berdebar-debar karena ditatap intens oleh Jason. “Halo, Tuan. Senang bertemu dengan anda.” Leah mengulurkan tangannya, bermaksud ingin berjabat tangan dengan Jason. Leah kembali tersenyum ketika uluran tangannya di balas. “Senang juga bertemu denganmu,” balas Jason singkat. Tanpa sadar Jason menggenggam pergelangan tangann Leah dengan erat. Matanya masih menatap intens pada manik mata Leah. “Ekhem,” dehaman suara Anthony terdengar, membuat Leah dan Jason buru-buru melepaskan jabatan tangan mereka. Mereka bertiga kembali duduk, tapi kini berpindah duduk di sofa. Leah duduk tepat di sebelah Anthony dan Jason di hadapan mereka. Yang Leah lakukan hanya menyimak pembicaraan Papanya dan Jason. Namun, sesekali Leah menangkap basah Jason ketika lelaki itu menatap dirinya. Entah hanya perasaan Leah saja, tatapan Jason terlihat ingin menerkam dirinya. Seram, dan Leah berharap pertemuan ini segera berakhir. Agar ia bisa bernapas dengan lega. *** “Papa paling senang kalau membahas bisnis bersama Jason, dia terlihat sangat pintar dan pemikirannya sangat kritis. Kamu harus contoh dia, cepat tanggap dan cerdas,” ucap Anthony yang terdengar di telinga Leah seperti ceramah. “Tapi Leah rada seram gitu lihat Jason-nya. Matanya terlalu tajam setajam pisau dan auranya gelap,” ujar Leah, menyampaikan apa yang sejak tadi ia rasakan. Seketika Leah bergidik ngeri saat mengingat wajah datar Jason Schulman tadi. Anthony hanya tertawa, “Dia memang seperti itu. Jangan takut, dia orang baik.” Leah menyipitkan matanya, sedikit tidak setuju dengan ucapan Papanya barusan. “Aku ragu dia orang baik, Pa.” “Don’t judge a book by it’s cover, Leah. Remember?” Anthony menatap Leah dengan peringatan. Leah nyengir kuda, “Iya, Pa. Maaf.” Anthony hanya mengangguk. “Umurmu sudah dua puluh empat, bukan? Bagaimana jika kamu segera menikah, Lea?” tanya Anthony, mengganti topik pembicaraan mereka. Leah menatap Anthony tak percaya bercampur malu. “Leah belum siap, Pa. Lagian mau nikah sama siapa? Papa selalu batasi pergaulan aku.” Tiba-tiba Leah merasa kesal karena lingkar pertemanannya yang minim, ia pun tak banyak mengenal banyak pria di luar sana. Anthony tersenyum lebar. “Di usiamu sekarang sudah layak menikah, Lea. Bahkan saat Mama diumur dua puluh empat sudah menikah dengan Papa.” Leah menggeleng tidak setuju. “Belum ada calon,” kilahnya. Anthony tertawa pelan. “Kamu bersama Jason saja Papa sudah setuju,” ujarnya. “Ih, Papa bahas apasih! Jangan bahas itu sekarang deh. Kita bahas pekerjaan aja,” ucap Leah kemudian mengerucutkan bibirnya kesal. Leah tidak bisa membayangkan jika ia bersama Jason nanti, hidup bersama lelaki datar dan dingin. Ia tidak menyukai hal itu. “Baiklah, tapi Papa serius, Lea. Kamu sama Jason pun Papa sudah sangat senang,” ujar Anthony lagi lalu mengedipkan sebelah matanya menggoda Leah, lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD