Prolog
Pada hari terakhir mereka berbulan madu, tampak kedua pasangan suami istri itu masih terlelap usai melewati hari yang panjang.
Namun, ketenangan itu terusik ketika Sang Suami tampak gelisah dalam tidurnya.
“Jangan ….”
Lunara Betari pun terbangun. Mengerjap mata beberapa kali sebelum menyadari bahwa suaminya tampak mengigau di sebelahnya.
“Mas?” panggilnya dengan suara serak.
Sang Suami tak menjawab. Masih memejamkan mata, pria itu tampak menggumamkan kalimat dengan suara yang lirih.
Luna bangkit seraya mengernyit keheranan. “Are you okay?”
Pria itu tak menjawab. Kali ini suara rintihannya mulai terdengar menjadi lebih keras.
“Jangan … jangan.” Pria itu menggelengkan kepalanya kencang.
“Mas? Apa yang terjadi?” Luna bangkit sepenuhnya dan terduduk di samping suaminya. Tangannya terulur dan mengguncang bahunya pelan.
Sekali lagi, usahanya tak mendapatkan jawaban.
“Ya ampun, Mas. Kamu kenapa? Jangan buat aku bingung.” Rasa panik sudah mulai memenuhi dirinya.
Suaminya kembali meracau. Napasnya mulai tersengal-sengal dan menggumamkan kalimat yang tak jelas.
“Kamu sakit, Mas? Apa yang sakit?” Luna mengulurkan tangannya kembali. Kali ini ia menyentuh kening pria itu yang tampak sudah mengeluarkan keringat dingin.
Tidak demam.
“Apa kamu salah makan ya?” Luna terpaku. Berusaha membuat benaknya berpikir keras padahal nyawanya belum terkumpul sepenuhnya.
Dirinya ingat bagaimana hari ini mereka cukup banyak berkegiatan di luar dan makan di berbagai tempat sebelum akhirnya kembali ke villa pada sore harinya. Namun, suaminya itu tak mengatakan bahwa ia alergi atau semacamnya. Juga, jika ada masalah dengan makanannya, harusnya Luna juga ikut terdampak.
Pria itu kembali menggumamkan kalimat tak jelas. Masih menggelengkan kepala seolah menahan seseorang untuk pergi.
“Maaf. Maafkan aku.”
Detik berikutnya pria itu menangis. Bulir air mata mulai mengalir dari kedua matanya yang terpejam. Hampir menyatu dengan keringat yang memenuhi pelipisnya.
Luna terdiam. Tangannya tergantung di udara. Menatap Yudha dengan tanda tanya yang berbeda.
‘Maaf? Maaf kepada siapa?’ tanyanya dalam hati.
Tubuh pria itu kemudian terguncang hebat. Dengan sigap, Luna menahannya dan akhirnya pria itu pun membuka matanya dan terkejut melihat Luna yang tengah menatapnya sambil menahan tubuh pria itu.
“Luna?” panggil pria itu dengan suara parau.
“Iya, aku disini. Sudah merasa lebih baik?”
Pria itu mengerutkan kening. “Apa yang terjadi?”
“Kamu sepertinya mengigau.”
“Oh ya? Apa yang aku katakan?”
“Kamu … kamu meminta maaf. Pada seseorang.”
Pria itu mengerjap mata. Rahangnya sedikit mengeras. “Lalu? Apa aku menyebut siapa namanya?”
“Tidak,” jawabnya dengan suara sedikit tercekat.
“Oh.”
Lalu keduanya terdiam. Bergumul dengan pikiran masing-masing. Sebelum akhirnya Luna berdehem dan melepaskan tangannya dari bahu suaminya.
“Kamu tidak demam, tapi kamu cukup banyak mengeluarkan keringat. Bajumu basah, aku ambilkan baju yang baru ya.”
Luna sudah hendak bangkit tapi tangan pria itu menahannya.
“Jangan. Tetaplah disini.”
Suaranya yang masih terdengar lemah itu membuat Luna menurut.
“Kalau begitu aku ambilkan handuk dulu.”
Lagi-lagi, pria itu menahannya. Kali ini genggaman tangannya lebih erat.
“Aku hanya ingin ditemani, please.”
Pria itu menarik Luna untuk kembali berbaring di sisinya. Masih dengan tangan yang menggenggam erat tangannya dan kemudian pria itu kembali memejamkan mata untuk kembali terlelap.
Namun, tidak untuk wanita itu yang masih terjaga ditemani sinar bulan yang mengintip dari balik tirai yang tak tertutup sempurna dan bergumul dengan perasaannya sendiri.
***