Tujuh Belas

1144 Words
Pandangan Nick tampak kosong menatap jalanan sore ini yang macet, ia sesekali mengetuk stir mobil dengan jarinya yang panjang. Tampaknya Nick tidak memperhatikan jalanan, namun memikirkan sesuatu, helaan napas keras kadang terdengar dari dirinya yang hanya sendiri di dalam mobil. Keheningan itu dipecahkan oleh dering ponsel Nick yang terletak disampingnya. Dengan cepat Nick memngangkat panggilan tersebut dan menekan tombol loudspeaker. "Ya, halo." Nick bicara. "Halo mas, maaf baru mengabari." balas seseorang dengan nama kontak 'Andri' di layar ponsel hitam Nick. "Jadi bagaimana?" "Saya belum bisa temukan Mbak Tania," Mendengar itu membuat Nick meremas stir dengan lebih kuat tanpa sadar, "kamu tidak hentikan pencarian bukan?" "Masih berlanjut mas, saya baru dapat kabar kalau seseorang melihatnya di suatu bar." Mata Nick membesar mendengar berita dari Andri, "sudah ada orang yang kamu suruh untuk kesana?" "Sudah mas, saya juga akan kesana untuk pastikan sendiri." "Apakah jauh?" "Mungkin butuh waktu satu jam lebih." "Kalau begitu saya juga akan kesana sekarang." Nick sudah bersiap dengan semangat untuk bertemu langsung dengan Tania. "Mas yakin? Bagaimana dengan Pak Adrian?" Dahi Nick mengerut mendengar jawaban Andri, "memangnya kenapa dengan Pak Adrian?" "Bukannya malam ini dia akan ke tempat Mas Nick? Saya tadi sempat dengar saat menjemput Pak Adrian di bandara." "Dia sudah pulang??" tanya Nick dam coba mengingat lagi dan ternyata ini memang hari dimana papanya pulang dari luar kota. "Iya mas, apa Pak Adrian tidak memberi tahu mas untuk datang ke apartemen malam ini?" Nick menggaruk tengkuknya sekilas, "dia sudah bilang beberapa waktu yang lalu, tapi saya lupa." "Lebih baik biarkan saya dan yang lain coba cari Mbak Tania mas, mas tidak ingin Pak Adrian curiga kalau mas masih berhubungan dengan Mbak Tania bukan?" Nick menghembuskan napas keras, setiap memikirkan ini dirinya selalu merasa sangat tidak nyaman, bahkan muak. "Baiklah kalau begitu, saya tunggu kabarnya, secepatnya." "Baik mas." Nick mematikan panggilan itu dengan wajah lesu, bahkan sampai ia sampai apartemen dan berjalan menuju apartemennya, ekspresinya sama sekali tidak berubah, memikirkan Tania benar-benar menguras tenaganya. Disaat itu tiba-tiba saja mata Nick membelalak besar tersadar akan sesuatu, "papa akan kesini!? Sial, aku lupa dengan keberadaan anak itu!!" Dan saat itu juga Nick berlari ke apartemennya secepat mungkin, bahkan ia membuka pintu apartemen dengan sangat mengejutkan hingga membuat Diara yang tengah menggendong baby Ghiana di ruang tengah kaget bukan main. "Mas Nick? Kenapa buru-buru sekali?" Diara bertanya sambil sedikit menenangkan baby Ghiana yang terbangun setelah tadi nyaris saja tertidur, kalau saja Diara tidak sabar dan sadar kalau Nick adalah tuannya, pasti ia sudah marah besar pada Nick. Dia sudah berusaha menidurkan baby Ghiana sejak tadi dan nyaris saja berhasil. "Cepat bereskan anak itu sekarang!" "Hah??" Diara menganga bingung dengan apa yang Nick bicarakan. "Bawa anak itu dan semua perlengkapannya ke apartemen kamu! Papa akan kesini dan dia sama sekali tidak boleh tahu kalau ada bayi di apartemen ini!" Kepanikan Nick secara instan berpindah pada Diara, bahkan gadis itu kini berputar putar di tempat membawa baby Ghiana, "ss-sekarang banget mas!?" Nick tidak bisa menjawab karena ponsel yang ia pegang kini berbunyi dengan layar menunjukkan nama kontak 'Papa'. "Halo pa," Nick mengangkat panggilan itu dengan was-was sambil Diara juga menatap dengan tegang. "Halo Nick, papa sudah pulang hari ini, dan sekarang papa ingin ke apartemen kamu. Ada beberapa hal yang ingin bicarakan dengan kamu, sekaligus ingin melihat bagaimana kinerja Diara untuk kamu. Kamu sudah pulang kan?" "Ah iya pa, aku udah pulang. Papa udah dimana?" "Sudah dekat kok, cuma agak macet saja. Paling lama lima belas menit lagi papa sampai." "Hah!?" "Nick? Ada apa?" Nick menggeleng dengan wajah tegang, "bukan apa-apa pa, kalau begitu papa hati-hati saja." "Baiklah, papa matikan." dan panggilan itupun berakhir. "Pak Adrian udah jalan kesini mas?" tanya Diara langsung tanpa jeda karena dirinya juga ikut panik. "Cepat bawa pindah apapun yang terkait anak ini ke apartemen kamu! Papa akan sampai sini sebelum lima belas menit!" Nick bicara dan bergerak ke kamar biasa baby Ghiana tidur untuk membawa pindah seluruh perlengkapan Ghiana yang berbahaya jika diketahui papanya. "Saya buka apartemen sekarang mas," Diara juga dengan cepat bergerak untuk membawa baby Ghiana ke apartemennya. Nick membawa ayunan milik Ghiana yang menjadi hal paling mencolok ke apartemen Diara dengan cepat. "Mas bisa urus semuanya sendiri dulu kan? Baby Ghi lagi ga bisa dilepas, saya usahakan tidurin dia secepat mungkin dan bantu mas mindahin semuanya." ujar Diara pada Nick yang dengan cepat akan kembali ke apartemennya. "Iya." jawab Nick pendek dan Diara terus berusaha menidurkan Ghiana dengan terus mengayun pelan baby Ghiana di gendongannya agar segera tidur. Diara benar-benar berharap Ghiana segera tidur karena ingin sekali membantu Nick yang sudah berapa kali bolak balik memindahkan barang Ghiana yang ternyata lumayan banyak. "Apa sampai barang sekecil itu perlu di pindahkan? Bukankah itu bisa disembunyikan saja mas?" tanya Diara karena Nick benar-benar membawa semuanya bahkan ke barang-barang kecil yang ada di dalam lemari. "Kita ga tahu apa yang akan papa lakukan. Kadang-kadang papa akan menginap dan dia tidur di tempat biasa kalian tidur." jelas Nick dan kembali pergi ke apartemennya untuk mengambil barang lain. Diara melirik jam berharap kalau Pak Adrian masih jauh dan tidak melihat apa yang mereka lakukan sekarang. "Sudah habis mas?" tanya Diara melihat pergerakan Nick mulai melambat, todak seperti sebelumnya yang begitu terburu-buru bahkan sampai napas pria yang masih mengenakan stelan lengkap ini menjadi ngos-ngosan. "Ah, ini yang terakhir." Nick meletakkannya dan duduk di kursi yang ada di apartemen Diara itu untuk istirahat sejenak. Bekerja dibawah tekanan itu memang sangat melelahkan. Nick melihat ponsel yang baru ia keluarkan dari kantong, "saya kembali dulu, kamu tidurkan anak itu." "Baik mas." Diara mengiyakan dan menatap Nick yang kini sudah berjalan keluar dengan lesu dan menutup pintu apartemen Diara. Diara menghela napas panjang, "semoga saja Pak Adrian tidak curiga." * Nick baru saja akan masuk ke kamarnya untuk berganti pakaian, namun bel apartemennya berbunyi. "Apa itu papa?" ia langsung berbalik untuk membukakan pintu namun dengan menarik napas dalam terlebih dahulu. Benar saja, saat ia membukakan pintu, seorang pria berumur tersenyum padanya. "Sudah sampai pa? Ayo masuk." ajak Nick entah kenapa agak gugup pada papanya. Melihat tingkah dan sikap Nick membuat Pak Adrian agak heran, "kamu kenapa?" "Kenapa apanya Pa?" tanya Nick mulai khawatir. "Sudah sampai pa? Ayo masuk." Pak Adrian menirukan ucapan Nick tadi saat menyambutnya, "itu seperti bukak Nick yang biasanya." Nick tersadar, benar kata papanya barusan. Dirinya bukan tipe ramah seperti itu, biasanya jika papanya datang, dirinya akan membukakan pintu dan membiarkan papanya masuk tanpa ada sapaan sama sekali. Nick berlagak cuek, "sepertinya aku memang tidak diterima jika berlaku agak baik." Pak Adrian tertawa dan duduk di sofa apartemen Nick, "bukan begitu, papa hanya terlalu senang. Baguslah jika kamu mulai bisa berlaku hangat." Nick hanya diam dan ikut duduk di salah satu sofa yang lain. "Baru pulang? Pakaianmu masih lengkap," komentar Pak Adrian pada putranya itu. "Iya." Pak Adrian mengangguk, "istirahatlah sebentar jika kamu lelah. Papa juga akan duduk saja disini, papa hanya ingin disini saja." "Hm, baiklah. Aku mandi dulu." Nick sudah berdiri dan berjalan menuju kamarnya. "Jam berapa Diara kesini untuk menyiapkan makan malam?" tanya Pak Adrian membuat langkah Nick terhenti. "Kenapa memangnya?" "Papa hanya bertanya, dimana ia sekarang?" "Mungkin sebentar lagi," jawab Nick seadanya. "Papa juga ingin melihatnya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD