Let's Love 5

1171 Words
Shadha turun ke lantai bawah dengan gamis berwarna coklat s**u, dia menenteng tas laptop miliknya. Shadha akan bertemu dengan kedua temannya Aisyah dan Tita, mereka sudah janjian dua hari yang lalu. Langkah Shadha berhenti saat melihat Zanet duduk di samping Shafa. Dia memutar bola mata namun kembali melangkah. Langkahnya begitu ringan Shadha sama sekali tidak merasa bersalah akan perkataannya beberapa hari lalu. Baginya itu cuman angin yang berhembus pelan untuk memperingati seseorang jika akan ada angin besar datang. Entah di dengar atau tidak, Shadha tidak peduli. "Selamat pagi." Shadha menyapa Bunda, Ayah, Shafa dan Zanet. Untuk orang terakhir Shadha rasa tidak perlu di anggap. "Pagi juga." Jawab Ayah, Bunda dan Shafa. Sedangkan Zanet hanya menatap Shadha datar. Shadha menarik kursi di hadapan Zanet. Dia mengangkat sudut bibirnya lalu menendang kaki Zanet dengan keras. Zanet tersentak, dia memandang Shadha dengan pandangan tajam. Mata Shadha menatap ke arah pisau selai dan Zanet pun menatap apa yang sedang di tatap oleh Shadha. Seakan tahu apa yang di maksud Shadha, Zanet memalingkan wajah, dia memandang ke arah lain asalkan tidak memandang ke arah adik iparnya. "Mau kemana Sha?" Tanya Ayah Banu. "Mau revisi skripsi, Yah." "Belum selesai?" Shadha menggeleng dengan senyum miliknya. "Temen-temen kamu udah ada yang beres?" Tanya Bunda Arini. "Boro-boro Bun, temen-temen bahkan ada yang dapet pembimbingnya yang subhanallah." Jawab Shadha dengan mengoles selai di rotinya. "Terus gimana sama pembimbing kamu?" Tanya Ayah. "Alhamdulillah, Shadha dapet pembimbingnya yang Masya Allah, jadi santai aja lah Yah." "Jangan santai-santai, Sha. Pikirin setelah kamu wisuda nanti mau nikah apa mau kerja?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Zanet. Shadha menyipitkan matanya. "Memangnya ada masalah apa Mas?" "Nggak ada sih, cuman kalau emang kamu niatnya mau nikah Mas punya kenalan dan dia baik orangnya." Shadha tersenyum. Dia melipat tangannya di atas meja lalu memandang Zanet. "Shadha nggak akan menikah sebelum seseorang yang Shadha tunggu datang ke rumah. Setelah wisuda Shadha juga bakalan kerja, Shadha udah punya planning ke depannya gimana. Jadi, Mas nggak perlu repot-repot buat mikirin gimana Shadha ke depannya. Lebih baik Mas pikirin apa yang waktu itu Shadha obrolin." Zanet mengepalkan tangannya di bawah meja. Setelah perbincangan dengan Shadha beberapa hari lalu, baru sekarang Zanet datang ke rumah Shafa karena sang Ibu terus bertanya tentang menantunya. Mau tidak mau, Zanet datang dengan terpaksa, Zanet masih mencari dimana Mia berada karena beberapa hari ini pun kekasihnya itu seakan menghilang tanpa kabar. Ayah, Bunda dan Shafa terdiam. Mereka merasa ada sesuatu yang terjadi antara Shadha dan Zanet. Shadha tidak akan mengusik orang lain jika dia tidak di usik. Bunda memandang ke arah suaminya dan Ayah Banu pun menggeleng tidak mengerti. Shafa mengigit bibir bawahnya, dia tahu sifat Shadha bagaimana. Entah apa yang Shadha katakan pada Zanet saat itu tapi yang pasti ini tidak baik.. "Memangnya apa yang kamu bicarakan sama Mas mu, Sha?" Tanya Ayah. Shadha memandang Ayah Banu lalu terkekeh pelan. "Shadha nyuruh Mas Zanet jangan nunda momongan, Mas Zanet kan udah tua, Yah hehe." Ayah berdehem mendengar ucapan Shadha. Bunda menggelengkan kepalanya. Shafa membulatkan matanya sedangkan Zanet tidak kalah terkejutnya dengan Shafa. Shadha? Dia kembali mengoleskan selai pada rotinya. Mungkin gerakannya terlihat begitu santai namun di bawah meja dia menendang kembali kaki Zanet dengan sekuat tenaga miliknya. Zanet nenggaduh kesakitan membuat Ayah, Bunda dan Shafa memandang khawatir. "Kenapa Mas?" Tanya Shafa. "Nggak apa-apa." Jawab Zanet. Shadha mengigit rotinya, dia memandang jam di dinding rumahnya. Dia bangkit berdiri, membuat semua mata tertuju padanya. "Shadha pamit dulu yah, soalnya Shadha udah janjian pagi-pagi banget sama temen-temen." Shadha meraih tas selempang dan tas laptopnya. "Kamu cuman sarapan roti aja loh sayang." Ujar Bunda Arini. "Nggak apa-apa, nanti kalau laper bisa jajan di luar hehe." Shadha meraih tangan Bunda, lalu Ayah dan terakhir Shafa. "Shadha pergi yah, assalamualaikum." "Wa'alaikumsallam." Jawab serempak keluarganya. Shadha keluar dari rumah dengan ringan. Baru beberapa langkah, dia berhenti. Matanya menyipit melihat mobil yang di kenal baik olehnya. Dia mendengus, lalu kembali melanjutkan langkah. Shadha keluar dari gerbang kecil, menyebrang jalan lalu masuk ke dalam mobil dengan bantingan kencang. "Assalamualaikum." "Wa'alaikumsallam." Jawab Shadha ogah-ogahan. "Kenapa aku telepon nggak pernah di angkat? Bahkan chat wa pun ceklis satu." Shadha menoleh. "Maksudnya?" "Maaf, aku nggak ada maksud cuman read wa kamu aja. Ponsel aku tiba-tiba mati, karena beberapa hari ini aku sibuk ke sana kemari buat ninjau lokasi." Shadha terdiam. "Sayang aku lagi ngomong loh? Kenapa malah bengong?" Usapan di pipinya membuat Shadha mengedipkan mata. "Terus Lo udah berapa kali chat sama telpon gua?" "Berkali-kali." Shadha mengigit bibirnya. "Gua pikir elo lupa sama gua." "Mana ada. Waktu ponsel aku mati, aku langsung changer, nunggu beberapa persen udah itu aku telepon kamu nggak bisa, di chat wa juga ceklis satu. Ponsel kamu ilang?" Shadha memandang Haidar yang menatapnya dengan lembut. Shadha menggembungkan pipinya. Dia memeluk Haidar secara tiba-tiba. Haidar yang mendapat pelukan mendadak dari Shadha terkejut. "Kenapa sayang?" Tanya Haidar. "Maaf." "Maaf kenapa?" "Gua kesel sama lo, gua pikir chat gua cuman di read aja, nggak ada niat di bales lagi karena katanya mau keluar dan gua di lupain." Haidar yang mendengar penjelasan dari Shadha mulai mengerti. "Jadi kamu nge-blok nomor aku?" "Iya." Rengek Shadha. Haidar mencoba melepaskan pelukan Shadha namun wanita itu memeluknya dengan kuat. "Gua minta maaf. Nggak sengaja sumpah, gua lupa lagi buka blokiran nya. Malah gua pikir Lo yang ngilang lagi karena nggak ngehubungi gua sama sekali." "Tuh kan, itu mah pikiran kamu yang suudzon terus." "Ya udah maaf." Haidar mengelus kepala Shadha yang terbalut hijab. "Ya udah aku maafin, lain kali jangan kaya gitu lagi, aku khawatir banget nunggu kabar dari kamu." "Iya." Shadha melepaskan pelukannya lalu menatap Haidar dengan senyumnya. Haidar merapihkan jilbab Shadha yang miring. "Mau kemana pagi-pagi gini?" "Mau revisi skripsi lah." "Belum selesai juga?" Kepala Shadha menggeleng. "Makanya harus pinter." Mata Shadha membulat. Tangannya akan memukul Haidar namun dengan cepat Haidar menahannya. "Becanda sayang. Udah ah sekarang kita pergi ketemu sama temen kamu." Shadha menarik tangannya lalu menyadarkan tubuhnya ke kursi. Haidar menatap Shadha yang kembali cemberut. Dasar ambekan ujar Haidar dalam hati. Dia meraih safety belt Shadha memasangkannya lalu mengecup bibir itu. "Udah jangan cemberut makin jelek kamu." Shadha memutar bola mata lalu memalingkan wajahnya ke arah jendela. Matanya seketika terbuka lebar saat tahu dia ada dimana dan di teras rumah berdiri Zanet. "Gawat." Shadha terpekik kencang. Haidar menoleh kaget saat dia sudah menyalakan mesin mobilnya. "Kenapa sayang?" "Mas Zanet pasti liat apa yang gua lakuin sama lo barusan Haidar. Gawat! Gawat! Bahaya! Ini siaga 3, gimana kalau dia ngasih tahu sama Bunda? Ya ampun." Shadha sudah heboh sendiri memikirkan bagaimana nasibnya. Haidar menggelengkan kepalanya. "Tuh orang nggak akan bisa lihat kesini, kaca mobil punya aku gelap, bahkan tembus peluru aja nggak akan bisa." Haidar mengucapkan nya dengan tenang sambil menjalankan mobilnya. Shadha yang mendengar itu seketika terdiam kaku. Otaknya masih mencerna perkataan Haidar barusan dan seketika dia menjerit kencang. Shadha lupa jika mobil milik Haidar memiliki kaca lawan arah dan hal itu membuatnya kesal karena lupa dengan hal sepele seperti itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD