Bab 1.

1426 Words
“Habis ini, kita mau ke mana lagi?” tanya Della. Dia lihat jam tangan masih pukul empat sore. Della bisa santai, soalnya gak ada kerjaan apa pun, apalagi yang kerja suaminya. Dia mah jadi Ratu saja. “…, mumpung masih sore nih,” lanjutnya berbicara. “Ma! MAMA!” teriak seorang anak laki-laki sambil berlari menghampiri mamaknya. “Loh? Sama siapa datang ke sini?” tanya Lely terheran-heran. Lely memang sengaja bawa anak-anaknya ikut gabung sama teman-teman lainnya. Soalnya kalau anaknya ikut, Lely tidak akan bebas lagi buat senang-senang. Sebab anak Lely sangat aktif, apalagi suka bikin orang sakit kepala atas sikapnya. “Sama Papa, loh,” jawabnya menoleh. Yang lain ikut menoleh arah di mana seorang laki-laki berjalan mendekati kelima wanita itu yang bersiap untuk jalan-jalan tempat lain. “Buset, Lel, itu laki kamu?” tuding Della. “Iya, kenapa?” jawab Lely sedikit malu kalau ditanya suaminya. “Pantesan, anak kamu kok cakep banget, ternyata dapat laki oppa-oppa,” cerca Della lagi. Yang lain malah geleng-geleng saja, gitulah kalau kumpul teman-teman satu jurusan. Pasti ada saja yang bikin ngakak. Dulu Della mana pernah kayak gini, suka ngelawak. Pas sudah nikah saja, tiba-tiba ngelawak. Jadi kecanduan sama drakor. “Mana ada, Oppa-Oppa, ngaco aja, kamu. Ini sindiran apa, puji sih? Tar laki aku kepalanya semakin besar kalau kamu sebut gitu,” balas Lely pada dasarnya dia senang sih disebut kayak gitu. Gak tau kenapa dia dapat suami yang begitu cakep begini, padahal itu kebetulan waktu dia lagi ikut teman kantor hadir seminar. Pas ikut acara seminar asuransi, gak tau dapat lelaki kayak dia, ujungnya jadi kecantol sampai lahir anak semata wayang, cowok lagi. Sudah umur tujuh tahun sekarang, sekarang sudah kelas dua SD, cepat sih, anaknya sekolah. “Biarin dia besar kepalanya, malahan aku puji loh, kalau sindir, nanti malah laki kamu makin mesra,” canda Della kembali lagi ngelawaknya. Suami Lely memberi senyuman kepada teman-teman Lely. Bella dan lainnya juga balas. “Micha asyik ngerengek minta ke sini, padahal aku sudah bilang kalau kamu lagi sibuk,” kata suaminya Lely. Micheal Henardes Saputra, itu nama putranya Lely. Dipanggil Micha. Kayak alah anak korea atau jepang. Lely dan suaminya memang hobi dengan nama yang unik. Apalagi panggilan Lely oleh suaminya, Mami. “Padahal Mama baru kasih tau, jangan bikin Papa kamu bolos kantor karena ini, sudah berapa kali sih, Mama bilangnya ke kamu?” ceramah Lely kepada Micha. Micha bukannya mengakui kesalahan malahan dia buat muka lucu yang polos. “Kata Papa, Mama ke sini mau ajak main-main,” balasnya. Lely pun mengarah ke suaminya. Suaminya mau mengelak tapi malu, soalnya tidak enak dilihat sama teman-teman istrinya. “Terpaksa,” itu yang dia jawab. Lely bisa menghela, sepertinya dia tidak bisa lama-lama dengan teman-teman sebayanya. Daripada ribut dan bikin malu satu gedung. “Aku duluan deh, lain kali kita hangout tanpa ada yang ganggu, oke? Kalau dia ikut, agak susah,” kata Lely sekaligus berpamitan sama teman-temannya. “Oke, gak masalah Lely, kami paham situasi menjadi Mama yang baik,” ujar Della. Lely pun beranjak meninggalkan food court tersebut, tinggal empat orang. Lili, Della, Elfi, dan Bella. “Jadi sekarang kita mau ke mana? Ada yang gak bisa, gak nih? Nanti tengah perjalanan eh salah satu pada ada janji atau orang rumah kecarian?” Della mengingatkan kembali. Soalnya Della sebagai pembina ketua perkumpulan emak-emak. “Li, kamu gimana? Suamimu jam berapa jemput?” Della bertanya pada Lily. “Ada sopir pribadi kok,” jawabnya santai. “Kalau kamu, Fi?” “Aku jangan ditanya, sanggup, lah. Toh, suamiku ada di mana-mana, tinggal miscall doang,” sambung Elfi. “Mantap kalau gitu, yuk, lah,” Della bersiap tinggalkan tempat food court tersebut. Akan tetapi Bella sepertinya mendapat panggilan telepon mendadak banget. Della dan teman lainnya pun menoleh. “Ya, Bi, ada apa?” tanya Bella setelah dia menerima panggilan telepon dari rumah. “Mbak Bella, Ibu, Mbak!” terdengar suara mencengkam sekali. “Kenapa dengan Mama, Bi?” tanya Bella masih santai. Sudah biasa kalau dapat panggilan telepon dari rumah itu selalu saja buat jantungan. Pernah sekali, Bella lagi sibuk dengan barang yang masuk dari Jakarta. Terus, tiba-tiba ada telepon dari rumah. Dikira ada apa mendadak apalagi suara pun mencemaskan. Ternyata mamaknya Bella itu cuman minta jangan lupa beli makanan, karena di rumah kehabisan stok. Della mulai bertanya dengan nada kecil, “Ada apa?” Della paling cepat kalut kalau orang rumah Bella mendadak dapat telepon. “Bell, kamu jam berapa pulang?” kali ini suara terdengar adalah mamaknya Bella. “Belum tau, kenapa, Ma?” jawab Bella masih tenang dan beri isyarat pada Della untuk gak panik. “Nanti pulang, tolong mampir ke apotek, beli obat batuk, ya,” ucapnya. “Iya, Ma,” Panggilan telepon pun selesai, Bella memasukan ke tas, Della sudah merasa firasat gak enak. “Ada apa dengan mamakmu?” tanya Della kepo banget. “Gak ada apa-apa, cuman disuruh beli obat doang,” jawab Bella meninggalkan tempat food court lebih dulu. Della sudah cemas kalut, “Aku pikir mamak kamu masuk ER ES,” ucapnya. “Enak aja, doa kamu gak bermutu,” pungkas Bella. “Kan, tebakan doang, jangan marah, nanti cantikmu luntur,” canda Della sambil merangkul lengan Bella. Mereka berempat sudah keluar dari food court setelah membayar makanan mereka pesan di dalam. Sekarang mereka turun mencari suasana lain. *** Coffee House, ada beberapa para lelaki sedang duduk sambil makan. Sekalian kumpul buang penat selama di kantor masing-masing. Fendy sedang membalas chat pesan dari anggota kerjanya. “Sekarang barang pada naik pesat, ya, sudah lihat berita terkini belum?” timpal Aldo masing-masing lihat hape sendiri. Kumpul gini, cuman buang bete doang. Kayak gini bahas kerjaan memang gak ada habisnya, apalagi buat kumpul berjam-jam. “Sudah dong, apalagi sekarang banyak persaingan. Gimana pajak lagi,” sambung Herman. Fendy masih sibuk kemudian terdengar deringan hape berbunyi. Dia pun mengangkat. Suara speaker dari seberang jelas terdengar sangat nyaring banget oleh kedua temannya itu. “Papa!” “Iya, Kirana Sayang,” “Papa sudah pulang?” “Sebentar lagi, kenapa?” “Gak, cuman tanya doang,” “Oh, ya udah, nanti Papa pulang kamu mau dibeli apa?” Aldo dan Herman menguping percakapan bapak dan anak di telepon. Rasanya mereka sebagai pawang nyamuk. Kadang mereka heran dengan teman satu ini. Ferdy Tanoto, duda berondong beranak satu. Masih muda sudah punya anak. Gimana ceritanya teman satu ini. Mirisnya Fendy harus jadi Papa Singel Parent, membesarkan putrinya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Salut dengan Ferdy bagi dua temannya. Temannya saja baru juga menikah belum dapat momongan, setidaknya mereka masih sabar. Hanya saja Fendy di usia masih dua puluh sembilan tahun, sudah duda saja. Apalagi nikah pun muda banget. Umur dua puluh dua tahun. “Iya, nanti Papa beliin, ya, jangan bandel sama Amah / Nenek,” akhir penutupan telepon mereka berdua. Ketika selesai teleponan. Aldo dan Herman menatap Fendy penasaran. Fendy sendiri malah heran atas sikap dua temannya itu. “Ada apa? Kok lihat aku seperti itu?” tanya Ferdy pada dua temannya. “Kamu gak ada berniat buat nikah lagi? Aku heran sama kamu, nikah di usia muda, terus jadi Papa singel parent lagi. Malah jadi duda pula,” timpal Herman masih penasaran. Fendy menyeruput minumannya yang sudah meleleh es nya. “Belum minat, kenapa? Memang kamu mau jaga putriku?” balas Fendy santai. “Kalau aku jadi babysitter, mending aku milih gak usah jadi Papa dulu, ini nikah saja sudah capek, gimana nanti program hamil, makin pusing, lah,” jawab Herman. “Nah, situ sadar,” ujar Fendy. Fendy memang telah menjadi duda sejak almarhum istrinya melahirkan seorang putri yang cantik. Di usia yang masih muda saat menikah dengan Renata, mereka berdua memutuskan untuk menikah usia dua puluh dua tahun. Kemudian pernikahan baru memasuki genap dua bulan, Ferdy mendapat kabar gembira bahwa Renata sedang mengandung hasil pernikahan mereka yang masih tergolong muda sekali. Ferdy masih membantu usaha orang tuanya, dan memiliki beberapa penjualan lumayan maju. Walaupun usia masih muda, Ferdy sudah bisa menafkahi keluarga kecil tanpa dibebani oleh orang tuanya. Menjelang hari melahirkan anak pertama mereka. Ferdy harus kehilangan istri tercintanya. Renata mengalami pendarahan, hingga harus mengorbankan seorang bayi dia lahir. Ferdy tentu tidak bisa menerima itu semua. Dia harus menerima menjadi seorang duda berondong, dan membesarkan putri kecilnya seorang diri. Tidak, masih ada ibunya, ibunya masih sanggup merawat cucunya. Walaupun Renata harus cepat dipanggil maha kuasa. Kirana Tanoto, nama itu diberikan oleh Renata sebelum melahirkannya. Bahkan Ferdy sampai sekarang belum berniat untuk menikah lagi, walau banyak wanita mencoba mendekatinya bahkan ibunya turun tangan untuk memperkenalkan dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD