Prolog

399 Words
      Di kediaman rumah Wardoyo, dibahas di ruang keluarga, semua orang termenung. Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri.       Wardoyo sendiri pun terdiam. Sementara dirinya-lah yang mengumpulkan semua anggota, agar bisa berkumpul di ruang tamu, tepat, kapan saja. Dan sekarang suasananya seperti ini.       "Satu-satunya jalan agar kita bisa hidup tentram, kita harus merelakan satu orang." Wardoyo Membuka suara setelah sekian lama membisu.       Istri dan anak-anak serta menantunya mengangkat kepala, memandang Wardoyo tak mengerti. Papanya tadi bilang apa? Merelakan? Apa salah satu dari mereka harus di relakan untuk di bawa?       "Maksud Papa apa? Merelakan satu dari kami? Papa mau menjual kita?" Arga bertanya penuh kesal. Dia adalah anak pertama, sudah menikah dan memiliki satu anak.        Wardoyo melirik Arga, "Bukan, Arga. Papa tidak menyetujui seperti itu." Bantahnya.       "Terus?" Bima bersatu bersamaan dengan Wina, anak bungsu Wardoyo dan satu-satunya anak perempuan.       "Sebenarnya ada apa ini, Pa?" Linda bertanya penuh khawatir.       Sebelum menjawab, Wardoyo menghela napas, "Jadi begini, Papa harus merelakan ... merelakan Wina putus kuliah dan menikah!" Tegasnya.        Semua pasang mata melotot tak percaya. Melompat Wina, Melompat Melotot, bahkan Melompat Melompat, dan Melayang. "Papa ..." Rintihnya masih tak percaya.      "Pa, Wina itu satu-satunya anak perempuan di sini. Dia harus di istimewakan! Bukan di jodohkan seperti ini!" Bima berkata tegas.       Istri Arga yang ada di sebelah Wina berusaha mendapatkan adik iparnya yang terus terisak.       "Wina harus tetap kuliah! Jika perlu, aku akan membawa dia ke USA setelah selesai di sini! Biaya, aku akan bertanggung jawab!" Kata Arga.       Pada akhirnya semua yang gagal Wardoyo. Lelaki itu hanya bisa mengusap atas yang tak terbalut.       "Pa, apa Papa tidak salah, putuskan semua ini? Anak perempuan satu-satunya yang kita miliki ..." Ujar Linda, memandang cemas menerima.       "Papa yakin Ma, jika Wina mau menikah dengan Herman, kita tidak akan lagi di hantui oleh utang. Hutang Papa lebih banyak, bahkan harta Papa yang sekarang, masih belum cukup untuk melunasi utang dari Herman." Jelas Wardoyo.       Wina berdiri, menyeka air mata dan menatap Papanya kuat-kuat, "Wina tidak mau menjual, Papa! Papa juga tidak berhak mutusin kuliahku! Karena selalu kuliah, Bang Bima yang biayai." Teriak Wina lalu berjalan menaiki anak tangga, menuju kamarnya. Terisak sana, hingga mata bengkak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD