Teman Joy tersentak kaget kenapa tiba-tiba Joy ambruk tanpa sebab.
"Kenapa Joy pingsan? Apa dia sakit? Atau kenapa?"
"Entah. Selama bekerja tadi dia tidak mengeluh sakit sedikit pun."
"Ini pasti karena kamu sudah memberinya pekerjaan berat di hari pertamanya bekerja. Mungkin dia syok dan kelelahan ditahan."
"Bukannya aku bermaksud membuatnya syok tapi memang pekerjaan di tempat kita banyak. Dia harus adaptasi."
Teman Joy tak segera memberikan pertolongan pada Joy namun malah terus mencari sumber penyebab masalahnya. Ini membuat Daffin yang tak sengaja menjelajahkan pandangan mengunci pandangannya pada meja tempat Joy pingsan saat ini.
'Ada yang pingsan di sana! Kenapa tak segera ditolong? Bagaimana mereka itu?' Daffin risih sendiri melihat kala ada pasien, terlebih itu adalah pekerja di sini tidak segera di tolong, malah ini dibiarkan seperti ini.
Pria pemilik alis tebal ini mendadak beranjak dari duduknya. Mengundang tanya pada dua temannya. "Daf, kamu mau kemana? Kamu belum selesai makan gitu."
Daffin tak bersuara hanya menunjuk ke arah Joy dengan sorot matanya yang dingin. Dia tipe yang tidak suka banyak bicara dan lebih suka menunjuk untuk menjelaskan sesuatu. Dia pun segera bergeser ke meja Joy.
"Ada apa ini?"
Mendengar suara Daffin, rekan kerja Joy yang ada di sana seketika bungkam. Panik dan kaget dengan kedatangan dokter tampan ini.
"Ini, Dok. Joy tiba-tiba saja pingsan tanpa sebab di tengah makan."
"Joy?" Daffin tidak tahu nama itu. Makanya dia bertanya.
"Dia laboran baru yang masuk hari ini, Dok."
Barulah Daffin paham, pekerja baru sekaligus wanita aneh yang ingin memiliki jam tangannya ini bernama Joy. "Lantas kenapa tak segera ditolong saja?"
"Itu ... ya kami akan membawanya ke ruangan, Dok." Para laboran ini merasa salah tingkah sendiri dengan pertanyaan Daffin yang bagi mereka terdengar seperti menyalahkan mereka.
Dua laboran wanita teman Joy, kemudian menegakkan tubuh Joy. Setelahnya mereka berniat untuk membawa Joy, namun tubuh itu rupanya terasa berat.
Ugh!
Melihat dua temannya berat mengangkat Joy, dua laboran wanita lain ikut membantu. Namun jadinya semakin bertambah sulit saja membawa tubuh Joy, kecuali bila ada stretcher.
Ck! Daffin yang melihat itu hanya berdecak merespons. Dia tidak bermaksud menyalahkan para wanita yang kesusahan mengangkat Joy.
Di antara laboran itu sebenarnya ada dua orang pria, tapi mereka tidak gabung ikut ke kantin. Hanya para wanita yang saat ini menemani Joy makan di kantin.
Daffin tidak bisa melihat seorang pasien yang membutuhkan pertolongan seperti ini dianggarkan, siapa pun itu dia tidak bisa! Dengan terpaksa dia pun turun tangan untuk membantu.
"Minggir kalian! Biar aku yang membawanya."
"Kebetulan sekali. Terima kasih, Dok. Maaf bila sampai melibatkan dan merepotkanmu."
"Daffin, bagaimana dengan makan siangmu?" tanya seorang dokter setengah berteriak menatap ke arah Daffin.
"Biar saja di sana,"jawabnya tanpa menoleh ke belakang.
Dokter hanya diam merespons, padahal maksudnya berkata demikian menu milik Daffin belum dibayar.
Daffin membopong Joy keluar dari kantin seorang diri menuju ke ruangannya.
Sementara itu teman Joy mengikuti Daffin menuju ke ruangan pria itu. Di sana saat ini Joy sudah berbaring di bed kecil.
"Apa dia punya penyakit?" cecar Daffin menatap empat laboran di hadapannya.
"Nggak tahu, Dok. Baru sehari kami bertemu bagaimana kami bisa tahu penyakitnya?"
Daffin hanya menarik napas dalam. Jadi dia harus mencari tahu sendiri bila begitu. Dan ini makan waktu. Dia pun cepat memeriksa jalan napas Joy. Setelahnya dia menempelkan stetoskop pada bagian leher bawah. Terakhir dia mengarahkan senter pada mata Joy, juga menekan bagian perut.
"Dia hanya syok ringan saja," simpul Daffin setelah melakukan pemeriksaan dan tidak ditemukan adanya sesuatu yang serius.
"Syok?" Para laboran saling tatap. Bagaimana Joy bisa syok? Padahal tadi mereka tidak membahas sesuatu yang mengejutkan saat makan, mereka hanya ngobrol biasa.
"Ya, nanti dia akan sadar sendiri."
"Dok, bolehkah kami pergi dulu? Kami akan kembali setelah ini."
Daffin hanya mengangguk merespons sembari mengibaskan tangan. Empat laboran pergi dari ruangannya.
Kini tinggal Daffin seorang bersama Joy di sana. Dia duduk menghadap Joy sebentar, "Kenapa kamu syok? Apa mungkin kamu mendapatkan karma karena ingin memiliki barang yang bukan milikmu?"
Di saat bersamaan, Joy yang masih terpejam tiba-tiba menggerakkan tangan. Dari pelipisnya meleleh keringat dingin. Lebih parahnya lagi dia mengigau.
"Jangan lakukan itu padaku. Aku tidak tahu siapa kamu. Aku nggak kenal kamu." Jauh dalam kesadarannya sana, dia sedang bermimpi kejadian buruk itu.
"Kamu bila nggak bisa pulang sebaiknya menginap di sini saja. Temanku pemilik hotel ini, nggak perlu sungkan padaku." tawar seorang pria dengan langkah gontai di depan pintu kamar hotel.
Pria bermata cokelat bening itu sendiri tubuhnya limbung dan sampai berpegangan pada daun pintu untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh.
Joy menggelengkan kepala yang terasa berat. Dia tidak akan percaya dengan kebaikan yang ditawarkan oleh pria asing yang sama sekali tidak dikenalnya ini. Meski dia dalam keadaan mabuk tapi sedikit dia masih bisa berpikir. Temannya mungkin memang sialan, meninggalkan dirinya sendiri di tempat ini. Tapi dia tak memermasalahkan itu dan harus pulang sekarang, apapun caranya.
"Nggak, terima kasih. Aku sudah mengantarmu ke sini seperti yang kamu mau. Aku mau kembali." Joy tetap menolak dan berbalik. Jalannya limbung dan hampir jatuh.
Pria asing di depan pintu yang melihat itu segera menangkap tubuh Joy. Mereka berdua yang mabuk kemudian berjalan limbung, jatuh ke kasur hotel dengan tubuh sang pria menindih Joy.
Sesaat, tatapan mereka beradu. Pada saat itu pria bermata cokelat merasa darahnya berdesir panas kala merasakan tiupan napas Joy. Setelah menatap intens, tumbuh niat dalam pikirannya untuk merasakan bibir Joy.
Di dunia nyata, Joy masih mengigau. "Tolong hentikan. Ini sebuah kesalahan."
Daffin duduk di kursi di samping Joy, mengangkat sebelah alis. "Ada apa dengannya? Apa yang sedang dia mimpikan?" Daffin akan bangkit dari kursi, namun tiba-tiba tangan Joy meraih lengan serta menarik tubuhnya mendekat.
Joy sadar, membuka mata. Dia tersentak kaget melihat pria bermata cokelat ada di hadapannya. "Si-siapa kamu?" ucapnya gemetar sembari mendorong keras Daffin.
Daffin membelalakkan mata lebar dengan perlakuan Joy. Dia tidak tahu kenapa Joy seperti ini padanya?
"D-dokter ..." Joy kini sepenuhnya sadar, mengenali sosok pria yang ada di depannya, pria dingin di rumah sakit tempatnya bekerja, juga pemilik jam tangan yang ditemukannya. Dia tidak tahu saja kenapa tiba-tiba berdua bersama Daffin seperti ini?
Joy melompat turun dari bed. Tanpa bicara apapun dia pergi keluar dari ruangan Daffin dalam takut.
"Ck! Bukannya dia berterima kasih pada penolongnya, dia pergi begitu saja," desah Daffin kesal menatap punggung Joy, merasa kebaikannya tidak dihargai.