Eps. 2 Mencari Tempat Tinggal

1053 Words
Joy masih menatap intens jam tangan tersebut. Menurutnya jam tangan ini istimewa sekali bila tertera nama pada bagian strapnya. Kebanyakan jam tidak ditemukan terukir nama pemiliknya di sana. Dari pengamatannya jam ini bukan milik orang biasa. "Apakah ini milik pria tadi? Atau milik yang lain?" Joy sungguh tidak tahu milik siapa jam ini. Siapa pun bisa menjadi pemilik jam tersebut. Karena tidak tahu milik siapa dan harus mengembalikan kemana, maka Joy pun membawa jam tersebut. Agar tidak lupa, dan mungkin saja bila pemiliknya melihat akan segera mengetahui jam ini, Joy memakainya di pergelangan tangan kiri. Terik matahari semakin menyengat di luar sini. Joy kembali mengayunkan kaki menyusuri jalan untuk mencari tempat kos atau kontrakan yang bisa dihuni. Inginnya dia mencari yang jaraknya dekat dari rumah sakit, jadi dia tak perlu naik angkot dan sejenisnya, cukup ditempuh dengan jalan kaki saja. Sayang, sampai sejauh ini melangkah dia belum menemukan tempat kos atau kontrakan. Keringat meleleh dari pelipis Joy. Dia putuskan untuk break sejenak sebelum kembali melakukan pencarian. Dia melihat sebuah warung makan yang ada di sebuah gang. Kebetulan sekali selain haus perutnya juga terasa perih sekarang. Tak ada salahnya dia mampir ke warung makan terlebih dahulu untuk mengisi tenaga, mungkin juga dia akan mendapatkan informasi di sana. "Mau pesan apa, Mbak?" tanya seorang ibu pemilik warung makan kala Joy masuk dan duduk. Joy tak langsung menjawab. Dia melihat menu yang tersedia di etalase juga melihat list harga yang ditempel di samping bagian etalase. Dari harga yang tertera di sana nominalnya membuat tercengang. Semua menu di sini harganya dua kali lipat dari menu makanan di tempatnya. Terdengar suara dengusan halus setelah Joy membaca list harga. Padahal ini makanan di empang, harganya sudah mahal apalagi di tempat yang lebih baik lagi. Karena masih baru pindah ke tempat baru, dia harus sesuaikan dengan kantungnya. Dia pun memesan makanan sederhana dengan harga termurah. Pemilik warung makan menghidangkan menu yang dipesan Joy, sayur bening lauk telur. "Bu, permisi barangkali saja Ibu tahu warga sekitar sini yang menyewakan rumah." Pemilik warung menjeda aktivitasnya sejenak, membuatkan pesanan pengunjung lain, menatap Joy. "Kebetulan sekali Mbak, saya punya kos-kosan dan ada satu kamar kosong tersisa." Joy senang sekali mendengar kabar itu meski tidak tahu di mana lokasi tempat kos itu sendiri berada. Jadi dia tidak perlu capek-capek lagi untuk jalan jauh mencari tempat kos. Jujur saja, entah sudah berapa kilo dia berjalan dan kakinya terasa pegal sekarang. "Ya, Bu. Dimana lokasinya?" "Ada di dekat warung ini. 500 meter dari warung." "Boleh lihat lokasinya, Bu?" "Ya, tentu saja boleh Mbak. Saya antar ke sana setelah ini." Joy menyelesaikan makan. Bersama pemilik warung makan dia kemudian menuju ke lokasi kos. Di kos itu seperti yang dikatakan pemilik warung hanya ada satu kamar tersisa, di bagian paling depan. Padahal Joy inginnya posisi kamarnya agak belakang, tapi karena tak ada pilihan maka dia pun setuju setelah mendiskusikan berapa tarif sewanya per bulan. Pemilik kos kemudian menyerahkan kunci kamar pada Joy setelah wanita bertubuh ramping ini melakukan pelunasan di muka sebagai syarat. "Terima kasih, Bu." Joy merasa lega sudah mendapatkan tempat kos tanpa perlu mencari susah payah mencari lagi. Dia lantas membawa barang-barang yang ada di luar masuk ke kamar dan mulai menatanya. Hanya ada dipan, satu lemari baju di sana dan meja setrika. Kubikal ini berukuran sedang, tidak terlalu luas juga tidak terlalu kecil. Joy yang lelah setelah selesai menata barang-barang yang dibawanya, berebah sejenak di tempat tidur. Niatnya dia akan kembali ke rumah sakit nanti agak sorean untuk melihat-lihat lagi. Namun manusia boleh merencanakan tapi bukan dia yang menentukan. Joy membuka mata ketika kondisi sekitar gelap. Pelan dia angkat pergelangan tangan kiri untuk melihat waktu di sana. "Astaga! Ini sudah jam 19.00 malam? Bagaimana aku bisa tidur selama ini? Batal sudah aku memeriksa lokasi kembali," ratapnya pilu. *** "Akhirnya tiba juga." Joy tiba di depan pintu masuk rumah sakit. Sejenak dia mengambil tisu lalu mengusap pelipisnya yang basah. Setelahnya dia masuk menuju ke pusat informasi dan memberitahukan bila dia adalah pekerja baru bagian laborat di rumah sakit ini. "Masuk saja lurus ke sana dan temui Kepala Laborat di ruangannya." Petugas informasi memberikan penjelasan. Joy berterima kasih kemudian langsung masuk dan menuju ke ruangan laborat yang ditunjuk tadi. Di sana kepala laborat sudah menunggu kedatangan Joy. Ada enam laboran lain di sana yang bekerja. Kepala laborat kemudian mengenalkan Joy pada laboran lain. Dan setelahnya memberikan arahan singkat, juga langsung meminta wanita ini untuk bekerja. Agak terkejut, namun Joy bisa menerima, mengingat rumah sakit ini merupakan rumah sakit besar. Jadi wajar bila ramai dan semua pekerjaannya sibuk. "Joy, kamu bisa kerjakan tes darah ini." Seorang laboran langsung memberikan tugas. "Ya." Joy pun segera menerima tugas itu dan melakukan tes darah seperti yang diminta. Satu jam baru pekerjaannya selesai. Dia menyerahkan kembali hasil tes darah tadi pada rekannya. "Joy, maaf, aku sedang sibuk. Hasil tes darah yang kamu kerjakan itu urgent untuk pasien bedah sebelum dilakukan tindakan bedah. Bagaimana bila kamu serahkan saja sendiri hasil itu pada dokter bedah?" Sebagai pekerja baru di sini tentu saja dia hanya bisa patuh dan tunduk pada aturan di sini. Selain itu laboran lain memang terlihat sibuk, tak ada yang duduk bersantai. "Ruangan dokter bedah dimana?" "Ada di dekat bangsal anak. Cari ruangan Dokter Daffin." Tanpa bertanya lagi Joy kemudian keluar dari ruang laborat mencari ruangan dokter bedah. Beruntung dia langsung menemukannya. Pintu ruangan itu tertutup. Pelan Joy mengetuk pintu. "Masuk saja." Joy mendorong pintu terbuka dan masuk. "Permisi, saya mengirimkan hasil tes darahnya, Dok." Joy menyerahkan hasil tes darah pada pria berjas putih panjang yang duduk di kursi. Tatapannya membeku sejenak kala melihat siapa dokter bedah ini. Dia adalah pria yang dia temui kemarin yang menabrak dirinya di pintu masuk rumah sakit. "Kamu, baru? Tunggu! Kamu adalah wanita yang kemarin menghalangi jalanku di pintu masuk," ucap Daffin dengan manegaskan mata cokelatnya menatap tajam Joy. "Kamu adalah pria yang menubrukku dan kabur kemarin!" Joy tersentak mundur. "Kabur? Aku nggak kabur. Aku nggak salah. Kenapa harus kabur? Aku hanya menunaikan tugasku saja untuk operasi," jawab Daffin datar dengan nada angkuh dan dingin. Sama sekali tidak nampak gurat bersalah di mukanya. Mata Joy melebar dengan jawaban Daffin. Pria itu benar-benar dingin. "Dasar pria berhati es. Mungkin pantasnya dia hidup di kutub bersama beruang kutub,"gumamnya lirih. Namun suara pelan itu bisa didengar oleh Daffin dengan jelas. "Apa yang kamu bilang barusan?" tanyanya dengan tatapan menukik tajam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD