Udara pagi Jakarta menyambut lembut dengan semburat cahaya keemasan yang menembus kaca mobil hitam milik Zio. Di dalamnya, Gia duduk anggun mengenakan setelan kerja pastel yang rapi, jilbabnya tersusun sempurna. Wajahnya tampak teduh, namun sorot matanya memancarkan keteguhan baru — seorang istri, seorang wanita yang kini melangkah dengan hati yang tenang. Zio mengemudi dengan tenang, sesekali melirik ke arah istrinya yang tengah memeriksa jadwal meeting di ponselnya. “Kamu nggak keberatan aku anter terus tiap pagi?” tanyanya pelan, nada suaranya lembut tapi penuh wibawa. Gia tersenyum kecil tanpa menoleh, “Nggak, Mas. Malah aku senang. Tapi Mas kan sibuk, aku nggak mau ngerepotin.” “Repot apanya?” Zio tertawa tipis. “Ngantar istri sendiri bukan repot, itu... kebahagiaan.” Nada suaranya

