2. Pertemuan Kedua

2037 Words
“Sinting! Janji macam apa itu? Enggak make sense banget. Aku tidak sudi menikah dengan pria yang sudah merenggut semua kebahagiaanku.” Kirana menolak mentah-mentah. Gala mengangkat sebelah ujung bibirnya tersenyum mencemooh. “Kamu terlalu naif, Na.” Naif? Kirana mengernyitkan alis. Menolak menikah dengan pria yang sudah jelas-jelas telah menghancurkan keluarganya dibilang naif? Kirana tidak habis pikir. Lagi pula, mereka baru saja bertemu kembali setelah delapan tahun berpisah. Gala sudah menjadi pria dewasa yang lebih dari mapan. Kedatangannya ke rumah keluarga Fajrial adalah sebagai kekasih sekaligus calon suami anak sulung keluarga itu. Bagaimana mungkin Gala bisa memintanya untuk menjadi istri di saat semua orang di rumah ini berharap dia menjadi menantu keluarga Fajrial? Aneh. “Galaxy!” Suara sopran yang memanggil Gala memudahkan Kirana untuk menepis tangan pria itu dari tangannya. Kirana mengalihkan pandangannya ke ujung jalan setapak berbatu kerikil yang membelah taman. Ia melihat wanita bergaun merah dengan model off-shoulder tengah melambaikan tangan pada Gala. Meskipun Kirana tidak bisa melihat wajah wanita itu dengan jelas, tetapi ia yakin kalau wanita itu adalah kakak dari Arsenio. Tidak ada yang memanggil Gala dengan sangat akrab kecuali orang dekatnya. Keengganan tampak jelas di wajah Gala. Pria itu hanya melirik sebelum akhirnya kembali memandangi Kirana. Melihat Gala tidak menunjukkan reaksi apa pun, wanita cantik bergaun merah itu berjalan menghampirinya. “Kamu sedang apa di sini? Kami semua mencarimu.” Selidik wanita itu. Tatapannya seperti sedang menginterogasi keduanya. Merasa diperhatikan, Kirana mundur selangkah. Otaknya sibuk mencari alasan kenapa Gala bisa berada di sana bersamanya. Beruntung Arsenio muncul di saat yang tepat. Kehadiran Arsenio memberi kelegaan dan pada akhirnya bisa mencairkan suasana. “Mas Gala mencariku, ya?” tanya Arsenio dengan percaya diri. Ia kemudian mendekat dan berdiri di samping Kirana. “Om Hariz tadi bilang, Mas Gala keluar mencariku.” Gala mengangguk pelan. Ia memang beralasan kepada pamannya untuk keluar mencari Arsenio, padahal ia ingin sekali menemui Kirana. Gadis itu perlu tahu bahwa ia masih peduli, bahkan lebih dari yang dulu saat Kirana masih berseragam biru-putih. Saat mereka masih seperti keluarga. “Ada apa Mas mencariku? Mau curhat soal Mbak Lula, ya?” duga Arsenio sambil melirik ke wanita bergaun merah yang kini berdiri di samping Gala. “Nggak,” tepis Gala, “mau ngomongin kerjaan, tapi nanti saja.” “Kerjaan apa sih, Sayang?” Wanita bergaun merah yang dipanggil Lula itu mengaitkan tangannya ke tangan Gala. Ia menatap Gala dengan Mesra. “Aku bilang nanti saja,” tutur Gala sambil matanya sesekali melirik Kirana. Sementara itu, diam-diam Arsenio berbicara pelan kepada Kirana. “Pulangnya nanti gue antar, ya.” Kirana tidak punya pilihan selain mengangguk mengiakan. “Ehm.” Dehaman Lula menginterupsi bisik-bisik sang adik. Semburat merah tampak di wajah Arsenio. Pria itu cengengesan tidak jelas menghadapi ledekan kakaknya. “Kenalin dong!” pinta Lula. “Na, kenalin. Ini kakak gue, Mbak Lula,” tutur Arsenio sambil menyenggol pelan lengan Kirana dengan lengannya. Kirana menggosokkan telapak tangannya yang berkeringat dingin ke rok hitamnya sebelum mengulurkan tangan. “S-saya Kirana. Teman sekampus Arsen.” “Lula,” tutur Lula sebelum melontarkan kekepoan plus candaannya. “Teman apa teman, nih?”. “Teman, Mbak,” tandas Kirana. “OTW cewek gue, Mbak,” sambar Arsenio. Kirana melontarkan tatapan peringatannya pada Arsenio. Namun, Arsenio menanggapinya dengan senyuman. “Kenalin juga cowoknya ... eh, calon misuanya Mbak Lula. Mas Gala.” Arsenio mengarahkan perkenalan singkat mereka pada Gala dengan sedikit candaan. Kirana ingin menolak, tetapi itu hanya akan menjadi pertanyaan Arsenio dan Lula. Mencari aman, akhirnya Kirana mengulurkan tangan kepada Gala. Dan ketika Gala menyentuh tangan Kirana untuk berjabat tangan, sengatan kenangan masa lalu kembali berputar-putar di kepala Kirana. Tiba-tiba saja Kirana ingin menangis mengingat hubungan erat antara ia, Gala, dan almarhum Altair sebelum delapan tahun yang lalu. Mereka tumbuh bersama dan Gala sudah seperti kakaknya sendiri. Namun, kini semuanya berubah. Kekuasaan dan keserakahan sudah menghancurkan kehidupan mereka. “K-Kirana,” ucap Kirana dengan suara sedikit bergetar lantaran menahan tangis. Sementara itu bibir Gala seperti dikunci. Tidak seperti tadi saat kedua kakak-beradik Fajrial belum tiba, saat ini lidah Gala mendadak kelu. Sebagai pria dewasa yang pernah melewati krisis emosi, kali ini Gala kembali merasakannya, tetapi dengan kapasitas dan pemicu yang berbeda. Gala mengurai jabat tangan mereka tanpa sepatah kata pun terlontar dari bibirnya. Dia kemudian berpamitan pada Arsenio untuk masuk lagi ke rumah bersama Lula. Namun, sorot matanya saat memandang Kirana seolah-olah sedang berkata, “Kita belum selesai.” *** Arsenio menepati janjinya mengantar Kirana pulang. Pria murah senyum itu merasa senang jika bisa selalu dekat dengan Kirana. Namun, Kirana selalu merasa dirinya tidak pantas bergaul dengan orang-orang seperti Arsenio. Perbedaan kelas sosial mereka terlalu jauh. Setelah mendengar instruksi Kirana, mobil yang dikendarai berbelok ke sebuah gang di pemukiman padat penduduk, lalu berhenti di depan warteg yang sudah tutup. Arsenio memajukan dan mencondongkan tubuhnya ke depan. Wajahnya sengaja ia miringkan sampai pipinya nyaris menempel ke setir. Sementara itu, pandangannya menembus ke luar jendela di sisi Kirana. “Yang mana rumah lo?” “Gue sama Mama tinggal di rumah petak itu.” Tidak canggung apalagi malu, Kirana menunjuk rumah kontrakan berpetak-petak bercat kuning di samping warteg. “Thanks ya sudah nganterin gue pulang.” Arsenio mengangguk pelan. Kini, dia tahu alasan kenapa Kirana kerap menghindar darinya. Mungkin karena ini, duga Arsenio. Bukan masalah. “Na.” Panggilan Arsenio menghentikan usaha Kirana membuka pintu mobil. Kirana menoleh ke arah Arsenio. “Apa?” Bibir Arsenio mengembangkan senyuman. “Besok gue jemput, ya.” “Jangan,” tolak Kirana, “mm, tidak usah. Terima kasih ya, Sen.” “Sama-sama.” Setelah melepas kepergian Arsenio, Kirana berjalan menuju ke rumahnya. Beberapa tetangganya yang masih terjaga, menyapanya dengan ramah seperti biasa. Kirana mendapati pintu rumah tidak terkunci. Itu berarti mamanya belum tidur, padahal sudah hampir jam 11 malam. “Assalamualaikum,” ucap Kirana sembari menutup pintu. “Waalaikumsalam,” jawab Rosi, mamanya Kirana. Wajah Rosi tampak muram. Ia duduk di karpet plastik di depan televisi berukuran 14 inchi sambil meluruskan kaki. Kedua tangannya memijat-mijat kakinya sendiri. “Mama kok belum tidur?” Kirana mendekat, lalu membungkuk menyalami sang mama. “Kaki Mama sakit lagi, Na. Tadi sore Mama minta upah cuci gosok ke Bu Ami, katanya besok saja. Dia belum ambil uang dari ATM. Jadi, Mama enggak bisa beli obat.” Rana meletakkan tas di atas satu-satunya meja yang mereka punya, kemudian duduk di samping kaki Rosi dengan posisi menghadap ke wanita itu. “Rana kan sudah bilang, Mama jangan ambil cucian dan gosok baju lagi. Biar Rana yang mencari uang untuk kebutuhan sehari-hari kita, Ma.” “Kamu kan harus kuliah juga, Na. Mama enggak bisa ngebiarin kamu banting tulang sendirian. Apalagi, beasiswa kamu menuntut kamu harus selalu punya indeks prestasi tinggi. Sayang kalau kamu melewatkan kesempatan ini.” Rosi menyelipkan anak rambut Kirana yang tergerai di samping wajah ke belakang telinganya. “Mama cuma punya kamu, Na. Mama mau kamu jadi orang dan tidak direndahkan.” “Iya, Ma. Tapi, Mama juga jangan lupa kesehatan Mama. Rana cuma punya Mama. Rana pijitin kaki Mama, ya.” Kirana meletakkan tangan di kaki rosi dan mulai memijat. “Rana, kamu tidur saja sana. Kamu kan baru pulang kerja. Kamu pasti capek.” “Enggak, Ma. Rana pijitin kaki Mama dulu, baru Rana tidur.” “Bagaimana kerjaan kamu tadi?” Rana menelan ludah. Ingatan akan Gala kembali melintas dan membuatnya kesulitan bernapas. Namun, semampunya Rana menyembunyikan itu semua dengan senyuman. Mamanya tidak boleh tahu dia bertemu Gala. “Baik, Ma. Seperti biasa.” “Ya, sudah. Istirahat dulu sana. Besok kamu kuliah pagi, ‘kan?” Kirana mengangguk. “Iya, Ma.” Kirana berjalan masuk ke kamar tanpa pintu untuk berganti pakaian sebelum membersihkan diri. Rumah kontrakan yang hanya punya empat ruangan termasuk kamar mandi itu sudah menjadi tempat tinggalnya dan Rosi sejak lima tahun lalu. Kirana ingat betul bagaimana rasanya diusir dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain lantaran mereka tidak bisa membayar sewa. Dia bersyukur bertemu Santi dan mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan dan kurir pengiriman makanan dari usaha katering dan restoran tantenya Santi. Kirana membaringkan tubuh lelahnya di atas kasur berukuran 120cm x 200cm tanpa ranjang dan hanya beralaskan karpet. Dia tidak akan pernah mengeluh untuk rasa lelah yang didapatkan. Namun, dia tidak bisa memaafkan orang yang menyebabkannya melewati semua ini. Keesokan paginya di kampus. Dering ponsel menghentikan langkah Kirana menuju kelas. Kirana segera membuka tote bag hitam yang menggantung di pundaknya untuk mengeluarkan ponsel. Sambil melanjutkan perjalanan, dia menerima panggilan telepon tersebut. “Iya, Bu Mel. Saya pulang sekitar jam tiga. Nanti saya langsung ke resto.” Kirana penutup panggilan teleponnya. Dari ujung koridor, Arsenio yang mendapati Kirana tengah berjalan menuju kelas mereka langsung mengejarnya dengan berlari kecil. Begitu dia berhasil menyusul dan berjalan beriringan, Arsenio tak segan-segan menyampirkan satu tangannya ke pundak Kirana. “Halo, Beb!” “Beb, beb, bebek maksud lo?” Kirana lalu menurunkan tangan Arsenio dari pundaknya. “Sen, jangan begini, ah.” “Terus, elo maunya gue gimana?” “Ya, jangan begini. Kita sedang di kampus, Sen. Enggak enak dilihat orang.” “Oke. Sorry.” Arsenio melangkah mendahului, lalu berbalik dan berjalan mundur mengimbangi langkah Kirana. “Nanti sore kita nonton, yuk! Ada film Marvel baru.” Kirana membasahi bibirnya. “Gue kerja, Sen. Gue harus mengantar pesanan dari restoran Bu Mel.” “Gue antar ya.” “Enggak usah. Di resto ada motor kok.” Arsenio mengangkat pundaknya. “Oke, deh. Kalau gitu, besok kita nonton. Tidak ada protes!” “Gue usaha-in, ya.” “Harus.” Tidak membuang waktu, sepulang kuliah Kirana segera ke restoran tempatnya bekerja sampingan. Restoran mewah yang mengusung tema pulau dewata itu tampak ramai. Kirana masuk melalui pintu samping khusus karyawan dan langsung menuju dapur. “Nah, ojol spesial kita sudah datang.” Suara Melvi pemilik restoran menyambut kedatangan Kirana. “Tumben lo telat, Na,” kata salah satu pelayan resto yang kebetulan sedang menyiapkan minuman di atas baki. “Iya, Mbak. Jalanan macet,” balas Kirana. Dia kemudian melihat pada Melvi. “Maaf, Rana telat ya, Bu Mel.” “Enggak apa-apa.” Melvi kemudian mengambil dus kecil yang entah berisi makanan apa, lalu memberikannya ke Kirana. “Ini pesanannya. Hati-hati membawanya. Jangan sampai isinya rusak. Pesanan orang penting.” “Iya, siap, Bu.” Kirana membaca alamat konsumen yang tertera di atas dus. “Di Sun And Star, Bu?” “Iya.” AB Resto and Catering memang menyediakan layanan pengiriman khusus yang diantar langsung karyawannya, tetapi tidak menutup kemungkinan bagi konsumen yang ingin menggunakan jasa ojek online. Hanya kosumen-konsumen tertentu yang meminta pesanan mereka diantar oleh kurir dari restoran tersebut. Seperti sore itu, Kirana harus mengantar pesanan yang kata Melvi merupakan pesanan orang penting. Mengendarai motor matic milik restoran yang dilengkapi bagasi tambahan sebagai tempat penyimpanan kotak makanan, Kirana membelah jalanan sore kota Jakarta menuju alamat yang dituju. Setelah tiba di gedung apartemen Sun And Star, dia segera membawa kotak makanan itu dan menemui satpam agar bisa mengantar sampai ke tujuan. “Dari AB Resto?” tanya si satpam berseragam serba hitam yang menyambutnya di lobi. Kirana mengernyitkan kedua alisnya. Dia bahkan belum menyebutkan maksud kedatangannya. Namun, si satpam bertubuh tinggi besar itu sudah bisa menebak. Ah, mungkin si satpam melihat dari jaket putih yang dikenakannya. Pasalnya, di bagian dada atas jaket terdapat sablonan nama dan logo AB Resto & Catering, pikir Kirana. Kirana mengangguk. “Iya, Pak.” “Mari, ikut saya.” Si satpam berjalan menuju lift dan Kirana mengikutinya. Setelah pintu lift terbuka mereka berdua masuk. Si satpam kemudian menempelkan kartu aksesnya ke alat sensor. Namun, sebelum pintu lift tertutup kembali, dia meninggalkan Kirana sendirian di sana. Tidak masalah. Lift bergerak naik dan terbuka di lantai delapan. Kirana baru sadar kalau lift yang baru saja membawanya ke sana adalah private lift karena dia tidak melihat ruangan lain selain foyer. Ruangan penghubung antara lift dan pintu masuk ke unit apartemen itu membuat Kirana takjub. Dominasi warna pastel di dinding dan meja konsol serta cermin besar di setiap sisi membuatnya merasa seperti sedang berada di ruang ganti paling mewah. Norak banget. Kirana akhirnya menemukan pintu di sudut foyer. Dia menekan bel dengan hati-hati dan waspada. Sesaat kemudian pintu dibuka dan .... “Mas Gala?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD