2. Berakhir dan patah hati.

1024 Words
Rindu POV. "Sibuk aja! Enggak malam mingguan sama Dilan?" tanya Raya, dia adalah temanku. Saat ini aku sedang berada di kamarku. Membungkus semua pesanan kosmetik yang dipesan. "Ah, udah enggak, kok." jawabku cuek. "What! udah enggak. Maksudnya?" Raya terlihat membulatkan kedua mata. "Iya, kita udah enggak ko." "Maksudnya kalian putus?" Aku mengangguk. "Tunggu, sejak kapan? bukannya lo cinta mati ya sama doi? yakin lo mau putus sama dia? emang enggak akan nyesel?" wajar kalau Raya berkata demikian. Mengingat bagaimana bucinnya aku pada Dilan. Semua orang disekolahku tahu kalau aku tidak bisa jauh dari Dilan. Setiap sore hari, sepulang sekolah, aku akan menunggu Dilan di pinggir lapangan futsal. Aku juga akan marah marah kalau melihat ada perempuan lain yang datang dan memberikan air minum pada Dilan. Termasuk Meta sahabatnya Dilan. Perempuan itu kerap akan menjadi sasaranku ketika aku cemburu. Dan mungkin karena itulah Dilan merasa amat bosan padaku. Aku seperti satpam yang selalu mengikuti ke mana pun Dilan pergi. Ah, kenapa aku sangat memalukan seperti itu. "Apa gue kelihatan bucin banget ya sama Dilan?" tanya ku letih. Raya mengangguk. "Banget. Dan gua sebenernya pengen banget ngasih tahu lo. Kalau gue pernah liat Dilan sama Meta jalan ke pesta nikahannya Kakaknya Meta. Mereka dansa di sana. Dan setelah itu gue juga lihat, Dilan dan Meta ....," "Mereka ngapain?" tanyaku cepat. "Sorry ya, Rin. Tapi Dilan sama Meta kissing gitu. Mungkin enggak sih sahabatan sampe harus kissing?" Aku terdiam dengan sebuah senyuman. Lebih tepatnya senyuman pahit, untuk menutupi dadaku yang terasa sesak. "Ya, enggak tahu. Itu bukan urusan gue lagi." "Tapikan itu kejadiannya pas lo masih jadi pacarnya Dilan." "Ya mau gimana lagi. Mungkin ini salah gue. Gue yang terlalu ngekang Dilan. Dan gue juga kadang suka marah marahin Meta. Dan Dilan enggak terima." "Tapikan elo emang pacarnya. Gue rasa wajar kalau lo enggak suka liat Dilan terlalu deket sama Meta." "Yang mikir kaya gitu, cuma gue dan lo. Yang lain enggak kaya gitu. Dilan dan temen temennya enggak kaya gitu." "Dan sejujurnya gue lega, pas lo bilang udah enggak lagi pacaran sama dia." "Kenapa?" "Ya, karena Dilan itu udah semena mena sama lo. Dia itu udah nyakitin lo banget. Dia seharusnya milih. Mau hubungan sama lo. Atau sama Meta aja." "Dan Dilan pernah bilang sama gue. Kalau dia enggak akan pernah ninggalin Meta, sampai kapan pun. Dan itu adalah kode untuk gue. Bahwa Meta lebih berarti dari pada gue." "Lo tenang aja. Gue tahu move on itu susah. Tapi masa iya lo mau kalah sama Dilan. Lo itu cakep banget. Lah, si Abijar aja mau lo suruh suruh. Masa lo enggak ngeh, kenapa sampai doi mau jualin kosmetik lo di sekolah. Ya karena doi suka sama lo." "Lah, ngaco. Si Abijar itu udah punya pacar. Mana mau dia sama gue. Lagian, dia itu play boy katanya." "Kan baru katanya. Lo enggak pernah tahu kan gimana aslinya dia?" "Enggak penting sih, yang penting dia mau jualin barang barang gue." "Aih, susah ngomong sama lo." Kami kemudian kembali sibuk pada kegiatan masing masing. Raya juga ikut membantu, dia membungkus kosmetik yang sudah dipesan yang aku tulis di kertas HVS. Keesokan harinya aku ke kafe, di mana ada keyawan kafe itu yang memang memesan konsmetik dariku. Kalian pasti bertanya seperti apa cara jualanku. Baiklah akan aku jelaskan. Aku jualan dengan menggunakan sosial media berbayar. Setiap bulannya aku harus mengeluarkan dana untuk membayar sosial media yang aku gunakan untuk berjualan. Awalnya aku takut kalau jualanku ini tidak membuahkan hasil. Namun semakin lama, semakin laku dan aku mendapatkan keuntungan yang lumayan. Pintu kafe terbuka. Aku segera menghubungi orang yang memesan kosmetik ku itu. Aku tidak mengantarkannya lewat gojek, karena kebetulan aku tahu di mana lokasi dan juga dekat dari rumahku. "Hay! Er kan?" lambayan tangan dari seseorang yang duduk di sudut ruangan dengan seseorang yang sedang membelakangi. Aku mengangguk, dan menghampirinya. Oh,ya. Er itu memang nama panggilan rahasiaku di sosmed. "Wah! dianterin langsung sama penjualnya. Seneng banget, nih." perempuan itu terlihat senang sekali. Aku meletakan kotak kosmetik itu di atas meja, tanpa melihat siapa laki laki yang duduk di depan perempuan itu. Maklum, aku malah sibuk melihat ponselku karena banyak orderan. "Ini sayang, kosmetiknya. Kamu beneran mau bayarin kan?" Gadis itu terdengar manja. Aku hanya melirik sekilas, namun sepertinya lirikan ku itu adalah sebuah kesalahan. Karena saat itu aku jadi menyesal. Aku tidak menyangka kalau kekasih perempuan yang memesan kosmetik dariku adalah Dilan. Kami sempat terdiam untuk beberapa saat, namun aku segera mengalihkan tatapan. "Oh, berapa?" Dilan terlihat segera mengeluarkan uang untuk membayar pesanan nya. "Ini, kembaliannya ambil aja!" ujar Dilan. Aku tersenyum kecil. "Maaf, saya tidak biasa mengambil kembalian." Aku segera memberikan kembalian itu, lalu berlalu pergi. "Dilan! mukaku penuh dengan jerawat. Aku boleh pinjem uang buat beli obat jerawat enggak?" Masih ingat ketika aku dulu mengalami fase di mana mukaku rusak. Entahlah mungkin karena puber. Dan kenapa aku meminjam uang pada Dilan. Karena aku pun selalu meminjamkan ia uang. Aku bahkan menghabiskan uang tabunganku, untuk membayar ke bengkel, karena motor Dilan mogok, ketika kami berkencan. Maksudku kami memang selalu saling meminjamkan uang. "Udahlah! aku juga sedang enggak ada uang! Meta kemarin minta dibeliin sepatu, karena sepatunya rusak. Dan lagi, mukamu itu sepertinya enggak akan sembuh meski diobati sana sini! Kamu sih, kalau makan tuh di jaga. Jangan kebanyakan makan kacang, makanya!" "Tapi Dilan ....," "Aku harus segera pergi temuin Meta. Dia lagi nungguin mamahnya di rumah sakit." "Aku boleh ikut enggak?" "Ngapain sih kamu ikut? udah pulang aja sana! banyak jerawat enggak boleh keluar sering sering. Di luar banyak debu!" Banyak sekali alasan yang Dilan katakan untuk menolak semua mauku. Ah, entahlah. Dia mungkin sejak awal tidak pernah mencintaiku. Kulanjutkan langkah ini, kala sebuah tarikan dari tangan seseorang menghentikan langkah ini. Kudapati Dilan berada di depanku. "Dia adalah teman di mana aku kerja lepas. Aku bayarin dia, karena aku memang punya hutang padanya. Kamu jangan salah faham ya." menggelikan, kenapa dia terlihat fanik. Ku tersenyum, seraya menepiskan tangannya pelan. "Tidak apa apa ko, kamu enggak perlu jelasin apa apa." Aku kembali pergi melanjutkan langkah. Dengan Dilan yang terus memanggil namaku. Tak ku hiraukan dia. Namun aku pun tidak mengerti kenapa ini menyesakan sekali. Bukankah aku dan dirinya sudah berakhir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD