Darren memandangi undangan mewah berwarna abu-abu dan emas di tangannya. Undangan itu begitu indah, terbuat dari kertas yang premiun yang tebal. Permukaannya begitu halus dan wangi. Jari-jari Darren yang berotot membukanya, membolak-baliknya. Wajahnya masih saja datar tanpa ekspresi meski dia tahu undangan yang sedang dia baca dikirim dari salah satu perusahaan yang sudah mendunia. Edwin berdiri tepat di depannya. Matanya terus menatap sang tuan muda, berusaha membaca setiap mimik yang ada. Sayangnya, Edwin gagal. Dia hanya melihat wajah tanpa ekspresi yang berlebih. Setelah cukup lama tidak mdapat respon, Edwin menarik kesimpulan. “Saya bisa mengatakan pada sekretarisnya kalau Anda berhalangan hadir.” “Tidak perlu.” Darren memasukkan undangan itu kembali ke dalam amplopnya. “Mmm, apa