Bab 1

2136 Words
"Ashley...." Panggilan itu membuat Ashley menoleh. Dia pun menatap temannya bernama Sherly yang berlari ke arahnya. "Ada apa Sher?" tanya Ashley saat Sherly sudah berada di depannya. "Kamu sudah dapat perusahaan untuk magang belum? Kalau belum aku ada perusahaan yang masih kosong." ucap Sherly. Tentu saja hal itu langsung membuat Ashley menatap Sherly berbinar. Sejak tadi memang banyak sekali perusahaan yang direkomendasikan untuk magang. Tapi sayangnya tak ada satu perusahaan pun yang membuat Ashley tergoda. "Katanya, kalau kerja bagus walaupun belum wisuda bisa langsung kerja. Dan kita dibayar sesuai dengan gaji kerja pertama disana." jelas Sherly. Ashley mengangguk dia pun menatap brosur yang di sodorkan oleh Sherly. Membacanya dengan seksama dan juga teliti. Anderson Corp. Perusahaan asing yang sedang melejit di dunia bisnis. "Kamu yakin mau masuk sini? Ini perusahaan lagi tinggi-tingginya, aku langsung insecure Sher." ucap Ashley jujur. Sherly mendengus dia pun menepuk punggung tangan Ashley dua kali, seakan tepukan itu meyakinkan Ashley kali ini. "Kita belum mencoba. Jadi jangan punya pikiran kayak gitu." Apa yang dibilang Sherly ada benarnya. Lagian dia belum apa-apa udah down duluan. Gimana mau maju kalau begini. Sambil membaca brosur ini, Ashely juga membaca banyak perusahaan yang mungkin saja akan dijadikan cadangan kalau Anderson Corp menolaknya. Seenggaknya dia harus lulus tahun depan. Walaupun beasiswa Ashley juga nggak mau tinggal kelas. Sherly pun akhirnya mengajak Ashley ke sebuah cafe di seberang jalan. Cafe ini lumayan ramai sih, banyak pemuda-pemudi yang datang kesini. Apalagi letak cafe imi dekat sekali dengan asrama kampus ini. Jadi dominan kalau yang datang kebanyakan anak mahasiswa kampus juga. "Ash apa kau masih ingat David?" tanya Sherly menatap Ashley. David adalah salah satu mantan Ashley. Mereka putus dua minggu yang lalu, karena David lebih memilih wanita lain dibanding Ashley. Hanya karena David ingin tidur bersama dengan Ashley dan Ashley menolak, akhirnya David memutuskan Ashley. "Masih, ada apa dengan dia?" tanya Ashley heran. "Dia putus dengan Nia, dan aku dengar dia ingin balikan denganmu." cerita Sherly. Ashley tertawa, "Dasar buaya ada aja tingkahnya. Dulu dia bilang tidak bisa hidup tanpaku. Nyatanya dua minggu putus denganku, dia masih hidup. Ku pikir dia sudah mati." "Kau tidak tahu saja, dia ini Playboy mana mungkin mati." Ashley tertawa dia pun memilih menikmati milkshake yang baru saja datang, dan juga cemilan yang lain. Sedang asik makan dan juga bercanda tawa dengan Sherly. Mata Ashley tak sengaja menatap seorang anak kecil yang duduk di dekat trotoar. Ashley pun berdiri dan menghampiri anak kecil itu, tanpa peduli teriakan Sherly. Ashley duduk di samping anak kecil yang tengah memakai seragam merah putih, lengkap dengan topi dan juga name tagnya. "Nggak baik lho di pinggir jalan, kalau ketabrak gimana?" ucap Ashley lembut. Anak itu hanya menoleh tanpa ekspresi. Tentu saja hal itu langsung membuat Ashley kaget. Anak seusianya biasanya akan banyak senyum dan bawel. Tapi menatap anak Ashley jadi punya pikiran kalau dia hidup banyak masalah. "Hai, nama kamu siapa?" tanya Ashley mencoba mengakrabkan diri. Anak itu hanya diam menatap Ashley. Lalu dia pun menunjuk name tag nya di dada dan membuat Ashley mengangguk. "Emmilio Laurence A." ucap Ashley. "Mau masuk ke cafe enggak? Kakak pesan makan banyak." Emmilio hanya menatap cafe belakang ini dengan dahi berkerut. Lalu dia pun menatap Ashley dah mengangguk. Mereka pun akhirnya masuk dan membuat Sherly bingung saat Ashley kembali dengan seorang bocah. "Siapa?" tanya Sherly berbisik. "Emmilio, tampan bukan." kekeh Ashley dan membuat Sherly mendengus. "Jangan jadi pedo, dia masih kecil." Ashley memutar bola matanya malas. Dia pun mendorong banyak kue dan juga milkshake coklat yang baru saja dia pesan. Tapi sayangnya Emmilio tidak mau makan sama sekali, dan membuat Ashley mau nggak mau menyuapi Emmilio dengan telaten. **** Jordan yang baru saja menerima telepon dari sekolah pun mendadak panik. Apalagi pihak sekolah bilang jika Emmilio kabur dari sekolah. Dari depan sekolah jalanan yang biasa Jordan lalui untuk mencari Emmilo pun hasilnya nihil. Emmilio tidak ditemukan dimanapun. "Cari Milo sampai dapat, kalau nggak kalian aku pecat." ucap Jordan tegas. Semua karyawan kantor pun langsung mengangguk patuh. Dari pada di pecah dan enggak mungkin diterima dimanapun, lebih baik dia mencari anak Bosnya yang enggak tahu ada dimana. Jordan sendiri pun berkeliling ibu kota untuk mencari keberadaan Milo. Bukan apa, tapi Jordan yakin kalau Milo sedang dalam masalah. Anak itu tidak sehat, Jordan tahu itu. Tapi nyatanya Milo selalu bilang jika dia baik-baik saja. Metalnya rusak akibat mantan istrinya yang jahat. Dulu Jordan bisa di bilang korban perjodohan orang tua. Usia Jordan waktu itu masih 25 tahun, sedangkan istrii Jordan masih 18 tahun. Kebayangkan kalau menikah terus memiliki anak? Anak usia 18 tahun itu masih labil banget. Dan pada akhirnya, setelah menikah istri Jordan hamil Milo. Tapi sayangnya karena sikap labil istrinya, dia suka sekali menyiksa Milo. Sehingga Milo mengalami psikologi mental. Semacam trauma yang terus membayangi dia. Tidak hanya itu, saat Jordan melayangkan surat cerai ternyata istrinya tengah hamil anak kedua. Akhirnya perceraian itu gagal dan menunggu buah hati keduanya lahir. Barulah Jordan menceraikan istrinya. Selama sidang pun Jordan berdoa jika kedua anaknya bisa ikut dengan dia. Dan ternyata walaupun sudah diputuskan anak ikut dengan istrinya. Jordan menolak dan mengambil hak asuh pada Milo dan juga Evelyn. Apa lagi mantan istrinya juga bilang jika dia tidak sanggup mengurus bayi. Dan pengadilan pun memberi kuasa anak sepenuhnya pada Jordan. Enggak masalah jadi single parent untuk kedua anaknya. Yang terpenting anaknya bisa lepas dari makhluk iblis seperti dia. "Jordan bagaimana? Apa Milo sudah ditemukan?" ucap Frida—mama Jordan. "Belum mah. Aku juga masih nyari." jawab Jordan. Dia masih sempat pulang dan melihat anak keduanya yang berusia dua tahun. Anaknya cukup aktif dan bawel sekali, dia juga nggak bisa diam walaupun dia perempuan tapi hobi utamanya adalah menembak. Sambil menggendong Evelyn, Jordan terus menelpon banyak karyawan dan juga orang suruhannya untuk mencari Milo. Tapi sayangnya tak ada satu orang pun yang tahu Milo dimana. Karena frustasi, Jordan pun menelpon polisi bermaksud untuk melaporkan kasus ini. Tapi sayangnya laporannya ditolak, apalagi Milo hilang belum ada 2x24 jam. Itu tandanya Milo belum hilang. Jordan menurunkan Evelyn dari gendongannya. Dia pun menelpon hanya orang untuk mencari Milo. Bukannya apa dia hanya takut, mantan istrinya—Lail menculik Milo dan menyiksanya kembali seperti itu. Walaupun sampai terjadi Jordan orang pertama yang mungkin akan membunuh Lail. "Papa..." Panggilan itu membuat Jordan menoleh. Dia pun menatap Milo yang berdiri di depan pintu bersama dengan Evelyn, dan juga seorang wanita berpakaian casual yang berdiri di dekat Milo. Jordan dan Frida pun langsung berlari ke arah Milo dan memeluknya bergantian. Apa lagi tatapan tajam Frida yang langsung mengarah pada wanita casual itu. "Siapa kau? Bagaimana bisa Milo bersamamu?" ucap Frida dengan nada bicara yang tidak bersahabat. "Saya Ashley Tante, saya menemukan Milo di dekat cafe tempat saya makan. Dia sedang nyasar, jadi saya antar pulang." jelas Ashley. Frida pun memilih diam, lalu tatapannya mengarah pada Milo yang nampak biasa saja. Tanda jika tidak ada yang luka atau apa pun. Hingga Frida pun mengajak Milo pergi ke atas dan meninggalkan Jordan, Evelyn dan juga Ashley. "Terima kasih sudah mau mengantar anak saya pulang." ucap Jordan. "Tidak apa-apa Pak." jawab Ashley. "Panggil Jordan saja." ralat Jordan membuat Ashley mengangguk. Ashley berniat berpamitan pulang, apalagi Milo tidak ada tanda-tanda keluar kamar. Mungkin Milo sedang istirahat atau entahlah apa Ashley juga enggak tahu. Tapi saat Ashley ingin pulang, tiba-tiba saja kakinya seperti ada beban. Ashley menunduk dan menatap bocah kecil dengan lucunya bergelayut di kakinya, sambil memanggil Ashley mama. Jordan yang tahu pun langsung menggendong anaknya yang sudah hampir menangis. Karena tidak mendapat respon apapun dari Ashley. Karena tidak tega Ashley pun langsung meminta Evelyn dari gendongan Jordan. Mungkin Evelyn ingin di gendong Ashley. Benar saja isakan kecil tadi hilang dan digantikan Evelyn yang malah terlelap di gendongan Ashley. Langsung saja Jordan meminta Evelyn kembali, tapi sayangnya bocah kecil itu terbangun dari tidurnya. Dan mau nggak mau Ashley pun menggendongnya kembali hingga dia terlelap. **** Ashley menghela nafas saat dia sampai di salah satu kos yang dia huni hampir empat tahun ini. Kos yang sempit dengan empat penghuni kamar. Kos ini sudah seperti rumah, ada dapur, ruang makan, ruang televisi, dan juga kamar mandi ada dua. Biar nggak antre. Ashley merebahkan tubuhnya di kasir yang tidak seberapa empuk ini. Tapi mampu membuat Ashley nyaman dan betah. "Semoga saja aku besok diterima." guman Ashley. Sambil menyiapkan berkas dan baju, Ashley pun juga menatap beberapa perusahaan yang menjadi cadangan jika dia ditolak dari Anderson Corp. Lagian ini magang menentukan hidup dan matinya. Kalau gagal dia harus mengulang tahun depan, wisudanya pun akan ditunda pula. "Ash, sibuk?" ucap Gina. Salah satu penghuni kos ini juga. Dia kuliah jalur beasiswa pula, bedanya dia bekerja di salah satu coffee shop di minimarket. Dia mengambil jurusan kedokteran, yang kayaknya kalau sudah lulus dia ingin menjadi dokter relawan, untuk orang yang tidak mampu berobat. "Kenapa Gin?" tanya Ashley. "Buat laporan aja sih Ash, tolongin ya." Ashley mengangguk dia pun langsung duduk di dekat Gina. Langsung saja Gina memasangkan alat tensi di lengan Ashley. Ini sudah terjadi entah berapa lama, tapi kalau masalah praktek begini Ashley yang menjadi sasaran utama. Kecuali kalau dia di rumah sakit sudah beda lagi. Ashley hanya alat untuk membuat Gina enggak gugup saat berhadapan dengan Pasien, apalagi saat melihat darah. Kadang dengan iseng Ashley mengiris kulitnya dengan pisau, atau apapun yang mampu membuat Ashley berdarah. Dia pun langsung meminta Gina untuk mengobatinya. Padahal jurusan Gina ini Dokter dalam. Tapi bukan berarti Dokter dalam tidak berhubungan dengan darah, bukan? "Berapa Gin?" tanya Ashley. "100 Ash, kamu nggak pusing tekanan darah segitu." Ashley mengangguk, "Pusing kayaknya, aku kena darah tinggi deh." Mata Gina membulat seketika. Dia pun langsung memukul Ashley dengan gemas. Mana ada tekanan darah 100 bisa mengidap penyakit darah tinggi. Yang ada itu rendah untuk tekanan darah orang normal. "Ash itu malah udah rendah, masak iya tinggi." ucap Gina tidak pernah. "Iya Gin. Tekanan darah aku kadang cuma 90/60. Kalau sampai 100, fiks itu tinggi buat aku." jelas Ashley. "Ya ampun 90 kamu kok nggak pingsan sih Ash." "Nyatanya aku nggak pingsan." jawab Ashley tersenyum. Dia pun langsung menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. Matanya menatap lampu putih yang menyala dengan terang. Untuk kali ini dia cukup khawatir. Khawatir kalau perusahaan besok menolak laporan Ashley. Apa lagi hanya tersisa beberapa perusahaan, dan yang magang itu nggak cuma Ashley saja. "Kamu kenapa? Banyak pikiran ya?" tanya Gina menatap Ashley aneh. "Banget Gin. Pusing juga." "Cerita gih siapa tahu aku bisa bantu." Ashley mengangguk. Dia pun langsung bercerita apa saja yang membuat hatinya gundah. Tempat dia magang, perusahaan yang direkomendasikan hanya beberapa dan sudah di masukin banyak mahasiswa/i. Tinggal beberapa dan juga enggak mungkin dalam waktu singkat Ashley mendapat perusahaan, apa lagi dia hanya memiliki waktu enam bulan sebelum Skripsi. Gina pendengar yang baik. Dia bahkan tidak memotong ucapan Ashley seperti mbak-mbak yang lain. Usia mereka terpaut satu tahun, tapi nyatanya Gina nggak mau dipanggil mbak, dia lebih suka dipanggil Gina dari pada Embak. "Kamu kan belum coba, masak iya udah nyerah begini. Ayo semangat Ash." ucap Gina. "Semangat sih semangat Gin. Tapi—tau ah. Mending aku dapat duda kaya melintir enggak mikirin beban hidup." jawab Ashley ngaco dan membuat Gina tertawa. "Iya kalau dudanya mau sama kamu, kalau nggak?" Seakan mengingat sesuatu Ashley pun langsung menatap Gina tajam. Apalagi dia jadi ingat Pria berbulu tipis dan juga kumis tipis. Belum lagi dua anak yang entah kenapa membuat Gina suka. "Kenapa menatapku seperti itu. Kamu enggak lagi jatuh cinta kan sama aku." tanya Gina bergidik ngeri. Apa lagi kalau Ashley sampai suka beneran "Aku masih Normal Gin, masa iya aku suka kamu." dengus Ashley. "Kamu menatapnya gitu sih, kan aku jadi takut." "Aku tuh lupa. Kalau tadi siang ketemu sama Duda anak dua." cerita Ashley dan membuat Gina mendengus. "Yakin banget kamu, kalau dia duda" "Yakin dong, orang enggak ada istrinya kok." Seketika itu juga Gina langsung menepuk jidatnya sendiri. Ini nih anak kalau kelewat pinter, masalah kehidupan dianggap lagi ngerjain grafik bulanan di kantor. "Terus kalau misalnya, ada tukang cilok sendiri nggak bawah istri, kamu anggap duda juga?" ucap Gina gemas. Ashley nyengir, "Ya itu mah beda lagi Gin." "Nah itu kamu, nyimpulin hanya dari cover. Belum tentu yang kamu lihat itu sesuai sama isinya." Ashley mendadak cemberut dengan ucapan Gina. Lagian itu tadi nggak ada istrinya. Sudah pasti duda kan? "Udah jangan dipikirin, mending kamu tidur besok tempur." kekeh Gina. Langsung saja Ashley tertawa kecil, dia pun langsung mengangguk dan masuk ke dalam kamarnya. Lagian kalau di pikir apa yang di bilang Gina ada benarnya juga. Ashley belum tahu apa yang terjadi, dan dia sudah menyimpulkan yang engak-engak. Belum juga apa yang dia lihat tadi siang itu menjadi nyata. "Lagian kenapa juga sih aku mikir sampai sana." guman Ashley. "Baiklah selamat malam Ashley, semoga mimpi indah." ucap Ashley lagi pada dirinya sendiri. Maklum nggak ada yang ucapin, kan jomblo. **** revisi dari typo ya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD