Ryan mengusap wajah. Enam tahun lebih tak pernah menyentuh wanita benar-benar membuatnya mudah kehilangan kendali. Apalagi reaksi polos Nina terdengar begitu menggemaskan baginya. Merampas akal sehatnya.
Pria berkacamata itu menghela nafas, tangannya mengusap pelan kejantanannya yang masih tegak berdiri. Ia butuh pelampiasan. Dan membaca buku-buku tebal adalah pelampiasan yang selama ini sangat ampuh baginya. Namun untuk sekarang, ia perlu minum air dingin dulu.
Ryan berjalan ke dapur, mengambil segelas air dingin di kulkas. Ia butuh mendinginkan tubuhnya yang memanas karena ulahnya sendiri.
“Belum tidur, Yan?” Ayu turun dari lantai dua, mengucek matanya pelan.
“Haus, Ma.” Ryan menjawab pendek, meneguk air di gelasnya.
“Nina gimana? Betah di sini?”
Ryan nyaris tersedak, buru-buru ia letakkan gelasnya. “Belum tahu,” jawabnya pendek. Berusaha menyembunyikan apa yang baru saja terjadi di kamarnya.
Ayu mengernyit, duduk di kursi makan di dapur. “Kok belum tahu?”
“Tadi… tadi Ryan tinggal keluar kamar sih belum tidur.”
“Loh, kok ditinggal? Temenin dong istrimu, Yan,” ujar Ayu lembut. Ia merapatkan kardigan rajut yang menutupi tubuhnya.
“Iya. Habis ini, Ma.”
Ayu menghela nafas pelan. “Maaf sudah membuatmu harus menikahi Nina, Yan.”
“Nggak usah dibahas terus, Ma. Sudah terjadi juga.”
Wanita yang ujung matanya telah keriput itu menatap putra sulungnya lekat. “Kamu tahu kenapa Mama setuju kamu menggantikan Evan untuk menikahi Nina?”
Ryan mengernyit. Sepertinya ini akan menjadi obrolan yang cukup panjang. Maka ia ikut duduk di kursi makan. Berhadapan dengan ibunya.
“Kenapa, Ma?” tanyanya.
“Karena Mama pikir, sudah waktunya kamu menghadirkan lagi sosok wanita di hidup kamu. Kamu terlalu lama menduda, Yan. Sampai Riry sebesar itu, Mama belum pernah lihat kamu dekat dengan wanita.”
Ryan tak menjawab, ia hanya diam menunggu lanjutan kalimat ibunya.
“Mama juga berpikir, Nina yang masih muda itu sepertinya akan cocok membangkitkan gairah hidup kamu.”
Ryan melipat bibir, menahan nafas. “Bukan cuma gairah hidup, Ma. Gairah yang lain juga,” batinnya.
“Perbedaan generasi antara kalian berdua bakal bikin hidup kamu lebih berwarna. Akhir-akhir ini, Mama lihat rutinitas kamu sangat monoton. Kalau weekday kamu cuma sibuk kerja, antar sekolah Riry, atau nemenin Riry main. Kalau weekend juga kamu cuma antar Riry ke rumah neneknya atau main ke sini. Seputar itu saja.” Ayu menatap putra sulungnya dengan hangat. “Mungkin Nina bisa menghidupkan lagi masa-masa kasmaran kamu. Berkencan, jalan-jalan berdua, nonton film di bioskop, bermain di wahana permainan, bisa kalian coba.”
Ryan menunduk, gelegak nafsu di dalam dirinya sudah hampir padam. Tapi ia masih diam, mendengarkan ibunya dengan seksama. Begitulah Ryan, tipikal anak pertama yang tak banyak bicara dan penurut.
“Mama juga setuju dengan apa yang dibilang sama papanya Nina. Kalau Nina sama Evan, yang ada mereka akan terus berulah karena dua-duanya masih muda dan anak bungsu. Masih sama-sama egois dan semaunya. Nina butuh sosok sepertimu.”
Sang putra sulung hanya bisa meremas jemari. “Apanya yang butuh sosok sepertiku? Sosok yang hampir memperkosanya itu?” ringisnya dalam hati.
“Pesan Mama cuma satu, meski pernikahan kalian diawali dengan perjodohan tak terduga, Mama harap rumah tangga kalian awet sampai maut memisahkan.”
Kali ini Ryan mengangguk, tersenyum tipis, kemudian mengaminkan doa ibunya. Ia juga tak berpikiran untuk menceraikan Nina apapun yang terjadi. Entah karena dirinya mulai merasa memiliki gadis manis itu atau karena ia tak mau memberikannya pada Evan, alasannya terlalu ambigu baginya.
“Ya sudah, sana balik ke kamarmu. Kasihan Nina kamu tinggal sendirian begitu.” Ayu beranjak, sepertinya ia hendak mengambil sesuatu di kulkas.
“Evan gimana, Ma?” tanya Ryan tiba-tiba.
“Sudah tidur, sudah diobati juga.”
“Oh ya, Ryan mewakilkan Nina minta maaf soal sikapnya tadi.” Ryan berkata tulus. Meski Nina tak pernah merasa bersalah atas tamparan dan tinjunya pada Evan, namun Ryan merasa perlu meminta maaf pada ibunya.
Ayu berhenti di depan kulkas. “Mama bisa mengerti kenapa dia bersikap begitu. Untuk anak seusianya, itu hanya luapan emosi belaka. Siapa yang nggak marah ditinggal begitu saja tepat di hari pernikahan? Tapi Ryan, tolong ajarkan istrimu untuk menjaga sikapnya di depan orang lain.”
Ryan mengangguk, mengerti. Kemudian ia pamit kembali ke kamar.
Sesampainya di depan pintu kamar, Ryan terus merasa ragu untuk masuk. Namun ia tak bisa tidur di kamar lain, jika orang tuanya tahu, mereka pasti akan terus bertanya apa yang terjadi.
“Nina…,” panggil Ryan pelan usai mengetuk pintu kayu di hadapannya.
Brak! Sebuah benturan keras mengenai sisi pintu bagian dalam.
Ryan mundur selangkah, terkejut.
“Jangan masuk lo, pengecut!” umpat Nina dari dalam kamar.
Ryan mendelik. Jangan sampai teriakan Nina terdengar mamanya yang masih ada di bawah. Maka ia buru-buru masuk ke kamar.
“Gue bilang jangan masuk!” Nina menjerit marah. Matanya menatap sang suami nyalang.
Tak menggubris kemarahan Nina, Ryan justru melangkah maju. Nina segera bangkit dari kasur, melangkah cepat dengan wajah yang mengeras menahan marah. Piyamanya sudah terkancing dengan rapi.
Begitu dekat, Nina langsung memukul d**a Ryan sekuat tenaga. “Dasar pengecut!” umpatnya kasar.
Ryan memegangi lengan istrinya. “Tenang, Nina. Kenapa kamu marah-marah begini? Ini sudah malam, jangan bikin keributan. Semua orang sudah tidur.”
“Lo masih bisa nanya kenapa gue marah, hah?!” Nina melotot, matanya memerah dan sembab. “Dasar bodoh!” Nina kembali memukuli Ryan.
Ryan segera menangkap lengan istrinya yang kurus. Bahkan kepalan tangannya sangat kecil, tapi bisa-bisanya ia memukuli d**a bidang Ryan yang dipenuhi otot dan berharap pria itu kesakitan. Tidak sama sekali.
“Berhenti berteriak, Nina! Kamu kenapa, sih?!” Emosi Ryan jadi ikut terpancing. Ia menatap istrinya dengan kerutan di dahi.
“Lo beneran nggak tahu atau pura-pura sih?!”
“Bicara yang sopan, Nina!” Ryan berseru marah. Ia tak suka mendengar Nina menggunakan bahasa lo-gue padanya.
Nina berdecih. Ia menghempaskan lengannya yang dipegangi oleh Ryan. Keduanya berdiri berhadapan, saling tatap dengan sorot masing-masing yang sama-sama tajam.
“Gue setuju sama ucapan lo waktu awal kita nikah,” ucap Nina tiba-tiba.
“Apa?”
“Ceraikan gue. Gue nggak masalah jadi janda muda. Toh gue belum disentuh, gue masih perawan, papa bisa jodohin gue sama orang lain yang lebih bisa menghargai gue.”
Rahang Ryan mengetat, ia tak suka Nina bicara soal perceraian. “Aku sudah bilang, aku nggak akan pernah menceraikan kamu, Nina.”
“Terus buat apa lo nikahin gue? Cuma buat dijadiin pajangan?” cecar Nina dengan mata melotot tajam.
Kerutan di dahi Ryan semakin terlihat jelas. “Kamu lupa kenapa kita menikah? Kita cuma dijadikan alat supaya bisnis keluarga kita tetap lancar, Nina. Jangan bertingkah seolah ada cinta di antara kita!”
Nina tersentak seketika. Ia seperti diseret paksa untuk kembali ke kenyataan.
Sentuhan dan belaian lembut yang diberikan Ryan tadi sempat membawanya naik ke atas awan, mengenalkannya pada sensasi kenikmatan yang baru ia rasakan. Namun saat ia telah siap untuk mengenal lebih jauh rasa itu, tubuhnya justru dijatuhkan kembali ke bumi. Jatuh berdebam. Hatinya remuk dan sakit, itulah yang ia rasakan saat Ryan tiba-tiba meninggalkannya tadi. Dan kini, hatinya yang remuk itu dipaksa untuk menyatu kembali, hingga mengeras.
Ryan mendengus. “Ini sudah malam, tidur sekarang. Besok pagi kita berangkat pagi-pagi kembali ke apartemenku.”
“Aku mau pulang,” lirih Nina dengan suara bergetar.
“Apa katamu?”
“Aku mau pulang sekarang!”
“Jangan gila, Nina. Ini hampir jam dua belas malam. Tidur dan berhenti bertingkah seolah kita pasangan yang sedang bertengkar,” sergah Ryan ketus. Ia berlalu dari hadapan istrinya yang mematung, menuju sofa yang malam ini akan menjadi tempat tidurnya.
“Kamu terus-terusan mengingatkan kalau kita ini bukan pasangan yang saling mencintai, tapi kenapa kamu sok peduli kalau aku mau pulang sekarang?” tantang Nina sengit.
“Aku bukan sok peduli. Kalau ini bukan di rumah orang tuaku, aku nggak akan peduli kamu mau pergi jam berapa pun dan ke mana pun. Terserah!” pungkas Ryan tak kalah tajam.
Nina kembali membeku. Kalimat itu benar-benar meluluhlantakkan hatinya.
Ryan telah merebahkan diri di sofa ketika Nina masih mematung di tempatnya berdiri. “Kamu bisa bersikap semaumu. Tapi ingat, jaga nama baik orang tuamu dan orang tuaku. Itu saja. Sekarang aku mau tidur.”
Ryan menutupi wajahnya dengan bantal sofa, mulai memejamkan mata. Sementara Nina hanya bisa berdiri menatap suaminya dengan sorot mata yang begitu terluka. Ia mengepalkan tangan di samping tubuhnya. Kebenciannya pada Ryan semakin menggelegak.