Bab 7. Mau Menginap?

1391 Words
“Di mana Evan?” tanya Ryan begitu ia tiba di rumah Surya. Nina melebarkan matanya. “Laki-laki pengecut itu betulan pulang? Tanpa tahu malu?” tanyanya tak percaya. Ryan tersenyum dalam hati. Ia suka cara Nina menyebut Evan sebagai laki-laki pengecut. Namun ia tak menjawab pertanyaan istrinya itu. “Dia di kamarnya. Papa mengurungnya di kamar sejak datang tadi.” Ayu menjelaskan. “Ayo masuk dulu, makan malamnya sudah siap.” “Evan ikut makan malam?” tanya Ryan lagi. Ayu menggeleng. “Dia tidak boleh keluar kamar tanpa izin dari papamu. Dan kalau cuma sekedar makan, dia bisa makan di kamar,” jelasnya dengan wajah sendu. Ryan paham jika Ayu amat bersedih atas hukuman yang diberikan pada sang adik. Ibunya memang menaruh perhatian lebih besar pada Evan sejak dulu. Mungkin karena jarak usia Ryan dan Evan cukup jauh, jadi ketika Evan lahir, Ayu merasa hanya perlu fokus pada putra keduanya itu. Ia menganggap Ryan sudah cukup besar sehingga tak perlu terlalu diperhatikan. Namun Ayu jelas keliru. Usia berapapun seorang anak, ia tetap butuh kasih sayang yang utuh dari kedua orang tuanya. Maka tak heran jika sejak kecil, Ryan sudah akrab dengan istilah ‘mengalah’ karena dirinya adalah seorang anak sulung. Ryan dan Nina sudah tiba di ruang makan. Surya baru saja bergabung. Makan malam pun dimulai. “Kenapa Papa nyuruh kita datang?” tanya Ryan di sela makan. “Soal adikmu. Aku ingin kita bicara dengan kepala dingin. Untuk sekarang, makan saja dulu.” Ryan mengangguk, menurut. Tak banyak yang bisa ia lakukan jika papanya sudah berkata demikian. Ia hanya melirik Nina yang makan dengan tenang. Jika papanya menyuruhnya mengajak Nina, pembicaraan yang dimaksud Surya pasti ada hubungannya dengan Nina. “Kapan wisudamu, Nina?” Ayu membuka obrolan dengan sang menantu. “Oh, bulan depan, Tan– eh, Ma.” Nina meringis. Hampir saja ia keceplosan memanggil Ayu dengan sebutan ‘tante’ seperti yang biasa ia lakukan. “Tanggal berapa?” “Tanggal 25.” “Kamu bisa, Yan?” Ryan mendongak. “Bisa apa?” tanyanya bingung. Ayu berdecak sekilas. “Kamu bisa mendampingi Nina wisuda? Masa sudah punya suami masih didampingi orang tuanya? Kamu juga harus datang dong.” “Eh, nggak usah, Ma. Kalau mas Ryan sibuk nggak apa-apa biar papa dan mama Nina yang datang,” timpal Nina cepat. Sejujurnya ia malas harus mengajak Ryan ke kampusnya. Ia agak malu karena menikah dengan seorang duda. Yah, meski Ryan tergolong duda tampan dan mapan. “Kenapa? Kamu takut pacarmu patah hati karena kamu datang sama suamimu?” sindir Ryan enteng. Nina melotot, ia menginjak kaki Ryan di bawah meja. Namun Ryan berhasil berkelit. Pria itu tetap makan dengan tenang. “Loh, memangnya Nina punya pacar?” Ayu justru menanggapi ucapan putranya dengan serius. “Hah? Enggak, Ma! Mas Ryan asal bicara aja itu. Nggak ada, Nina nggak deket sama siapa-siapa di kampus,” jelas Nina agak belepotan. “Nah, kalau begitu biar Ryan ikut mendampingimu wisuda, ya?” Nina melirik suaminya. “Memangnya… kamu bisa?” “Tanggal 25 bulan depan? Bisa.” “Beneran?” tanya Nina memastikan. “Iya.” Ryan menyahut enteng. Seolah asal bicara saja. “Ya sudah, aku bilang orang tuaku kalau kamu juga mau datang, ya? Soalnya undangannya cuma boleh buat dua orang. Kalau kamu datang, mungkin nanti papa atau mama aja yang ikut. Nggak bisa dua-duanya.” Ryan mengangguk. “Iya, bilang aja.” Makan malam kembali berlanjut, dihiasi oleh obrolan ringan seperti tadi. Hingga di pukul delapan malam, ruang makan itu telah kembali sepi. Nina, Ryan dan kedua orang tuanya telah berada di ruang tengah. Begitu juga dengan Evan yang duduk di salah satu sofa tunggal. “Apa yang mau kamu katakan tadi, Evan?” Surya membuka pembicaraan. Evan mendongak, menatap kakaknya sengit. Ryan menegakkan punggung, ia mengerti apa yang diinginkan adiknya. “Kak, aku nggak mau basa-basi. Aku mau bicara langsung ke intinya saja.” Evan mulai bicara. Ryan diam. Ia menyedekapkan tangan di depan d**a. Menatap adiknya datar. Sementara di sebelahnya, Nina juga hanya diam. Bedanya, ia mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Ada gelegak emosi yang sejak Evan bergabung tadi, mulai memenuhi dadanya. Evan memperbaiki duduknya, kembali berbicara. “Kak, sejak awal Nina adalah perempuan yang dijodohkan denganku. Jadi, aku mau kakak menceraikan Nina dan biarkan aku memenuhi permintaan papa dan om Donny untuk menikahi Nina.” Belum sempat seorang pun merespons kalimat kurang ajar Evan, Nina sudah berdiri dari duduknya. Ia berjalan cepat ke arah Evan, lantas plak! Sebuah tamparan yang amat keras mendarat di pipinya. Ayu terbelalak, ia menutupi mulutnya dengan tangan. Tak percaya bahwa Nina akan menampar putranya di depan matanya langsung. Sementara Surya dan Ryan memiliki ekspresi yang sama, terkejut dengan menaikkan sebelah alis mereka. “Apa lo bilang? Ceraikan gue? Nikah sama lo?” Nina mendesis, menatap Evan jijik. “Sampai mati gue nggak akan mau nikah sama lo. Dasar pengecut!” Nina kembali mendaratkan satu tamparan keras di tempat yang sama. Evan tersungkur ke sisi kanan kursi sambil memegangi pipinya. Sementara Nina memegangi tangannya yang juga terasa sakit. Namun hatinya jelas jauh lebih sakit daripada tangan yang barusan menghantam pipi Evan. “Lo pikir gue barang, hah?! Seenaknya dilempar ke sana sini! Lo pernah mikir nggak waktu lo kabur ke Amerika sana, gimana nasib gue, nasib orang tua gue, nasib orang tua lo?!” Tubuh Nina bergetar menahan amarah. Daripada sedih, ia lebih membenci pria di hadapannya. Evan menatap Nina ngeri. Ia tak percaya akan dimaki dan ditampar oleh wanita yang terlihat lemah itu. Ayu segera menghampiri Nina, mencoba menghentikan menantunya. “Nak, duduk dulu, ya? Kita bicara dengan tenang saja.” Nina menoleh. “Maaf, Ma. Tapi Nina nggak setuju sama konsep bicara dengan kepala dingin. Laki-laki seperti anak Mama ini nggak bisa diajak ngobrol dengan normal. Entah otaknya terbuat dari apa, tapi yang jelas dia nggak bisa mikir pake kepalanya.” Ayu menelan ludah. Mendadak kehabisan kata-kata demi melihat kilat amarah di mata menantunya. Nina lebih dari tahu bahwa apa yang ia lakukan sekarang mungkin akan menyakiti hati kedua mertuanya. Namun ia tak bisa diam saja melihat pria pengecut itu terus bicara omong kosong. Dan ia yakin, orang tua Ryan tidak akan bisa banyak menentangnya. Mereka membutuhkan bantuan Donny untuk menyelamatkan bisnis mereka. Karena itulah Nina bertindak nekat seperti sekarang. “Masih untung kakak lo mau nikahin gue. Coba kalau enggak, lo pikir acara yang udah disusun berbulan-bulan sebelumnya itu bakal batal karena tingkah pengecut lo, hah?!” Nina berteriak di depan wajah Evan. “Kalau tahu lo semenjijikkan ini, sejak awal gue lebih mau dijodohin sama kakak lo daripada lo!” Nina mengangkat tangannya, kali ini terkepal. Lantas ia melayangkan satu tinjunya ke pipi Evan yang satunya. Pria itu kembali tersungkur, mengaduh kesakitan. Wajahnya babak belur. Ayu yang berdiri di belakang Nina hanya bisa terhenyak dan segera memeluk putra bungsunya. Mengusap pipi putranya yang memar. Nyeri akibat tamparan Surya tadi pagi saja masih terasa, kini ditambah oleh Nina. Rasa sakit dan perihnya pun semakin menjadi-jadi. Nina mendengus kasar, berbalik, dan kembali ke sisi suaminya. Ryan tersenyum tipis. “Ternyata kamu keren juga,” pujinya dengan suara lirih. “Diem lo!” hardik Nina kesal. Ryan mengedikkan bahu, tak peduli dengan kalimat ketus istrinya. Melihat suasana sudah tak kondusif, akhirnya Surya membubarkan pertemuan itu. Ia juga menelpon dokter keluarga untuk membantu mengobati Evan. Ayu memohon pada suaminya untuk menemani Evan di dalam kamar, ia tak tega melihat putra bungsunya kesakitan begitu. “Ryan, malam ini tidur di sini?” Surya bertanya sesaat sebelum naik ke kamarnya. Ryan menoleh pada Nina. “Gimana? Kamu mau nginap di sini?” “Eh? Tapi kita nggak bawa baju ganti.” “Aku ada baju perempuan di atas,” ujar Ryan santai. Nina mengernyit, kemudian ia tersadar. “Oh, mungkin itu pakaian mendiang istri Ryan.” “Nginep aja, ya? Mamamu pasti lebih suka kalau kalian menginap di sini. Mumpung sudah di sini juga.” Surya memberi saran. “Gimana? Kalau kamu nggak mau nggak apa-apa, kita balik sekar–” “Eh, nggak apa-apa, kok. Ayo nginap di sini aja. Mumpung sudah di sini.” Nina menyergah cepat. Ia tak enak jika terlihat enggan menginap di rumah mertuanya, apalagi setelah keributan yang ia buat barusan. Ia merasa perlu berbicara dengan Ayu besok pagi. Lagi pula mereka hanya akan menginap semalam, harusnya bukan masalah. Sayangnya, itu adalah keputusan yang akan segera disesali oleh Nina.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD