Lorong rumah sakit mewah itu berbau antiseptik dan terlalu terang bagi mata Sophia yang kacau. Langkah-langkah pengawal di belakang dan di depannya terdengar seperti gema ketukan palu godam di kepala. Jantungnya berdetak cepat dan tidak beraturan, napasnya tertahan-tahan di tenggorokan, dan telapak tangannya sudah basah oleh keringat dingin sejak mereka turun dari mobil. Sial. Sial. Sial. Itulah satu-satunya kata yang berulang-ulang menggema dalam benaknya. Sambil berjalan, matanya menyapu seluruh area— mencari celah, pintu darurat, toilet, lorong lengang, apa pun yang bisa jadi jalan pelariannya. Tapi sialnya, Catherine berjalan di belakangnya, dengan pandangan tajam menusuk seperti belati, dan dua pengawal di sisi kiri-kanannya seperti bayangan kelam yang terus mengintai. Tak ada jala