Nancy duduk di ruang makan tengah malam, menikmati semangkuk mie goreng. Hanya mengenakan celana pendek dan tank top ketat, kulitnya yang mulus terkena cahaya lampu dapur yang remang. Ia menggigit sendoknya pelan, menunggu hingga suhu mie cukup untuk disantap, ketika tiba-tiba suara langkah kaki terdengar dari belakangnya.
Vincent berjalan ke dapur, ekspresinya terlihat lelah. Dia tidak menyangka ada orang lain yang masih terjaga. Ketika pandangannya menangkap sosok Nancy, dia tertegun sejenak. Gadis itu menoleh dengan senyum menggoda, matanya berbinar seolah menikmati keterkejutan Vincent.
Nancy meletakkan sendoknya, lalu dengan gerakan perlahan, ia berdiri dari tempat duduknya dan berjalan ke arah Vincent. Langkahnya ringan, penuh percaya diri, dan matanya tidak pernah lepas dari wajah pria itu. “Om butuh sesuatu?” tanyanya dengan suara lembut, sedikit manja.
Vincent menelan ludah, berusaha menjaga ekspresinya tetap netral. “Aku lapar,” jawabnya singkat.
Nancy tertawa kecil, suaranya terdengar jenaka namun ada nada lain di dalamnya—sesuatu yang lebih dalam dan sulit dijelaskan. “Duduk saja, Om. Aku buatkan mie rebus,” katanya seraya melangkah ke kompor.
Vincent mengangguk, lalu mengambil tempat di meja makan, mengalihkan pandangan ke arah lain. Namun, sesekali matanya tak bisa menahan diri untuk mencuri pandang pada Nancy. Tank top yang menempel ketat di tubuhnya, celana pendek yang memperlihatkan kakinya yang panjang dan jenjang. Vincent langsung mengalihkan pandangannya ke meja, mencoba fokus pada sesuatu yang lain.
Nancy, yang merasakan tatapan curi-curi Vincent, tersenyum penuh kemenangan. Semakin Om Vincent menghindar, semakin ia ingin menggoda.
Saat air mulai mendidih di dalam panci, Nancy berbalik, bersandar santai di meja dapur. “Om belum tidur?” tanyanya, berpura-pura berbasa-basi.
Vincent berdeham. “Baru selesai kerja. Lapar, jadi aku ke sini.”
Nancy mengaduk mie dalam panci dengan gerakan perlahan, sengaja membuat Vincent tetap memperhatikannya. “Om pasti capek, ya? Tante Sophia sudah tidur?” tanyanya, berpura-pura tidak tahu.
Vincent mengangguk pelan. “Iya, dia sudah tidur.”
Nancy menoleh sekilas, senyumnya melebar. “Kasihan Om Vincent, pasti butuh yang perhatian.”
Vincent menarik napas panjang. “Nancy…” katanya, dengan nada peringatan, tapi Nancy hanya terkikik pelan.
Tak lama, mie rebus pun matang. Nancy menuangkan mie ke dalam mangkuk, lalu membawanya ke meja. Ia meletakkannya tepat di depan Vincent, lalu, tanpa segan, ia menarik kursi dan duduk di sebelahnya—lebih dekat dari yang diperlukan.
Vincent mengambil sendoknya, berusaha mengabaikan keberadaan Nancy yang duduk di sisinya. Namun, Nancy tidak berniat membiarkan Om Vincent melewatkan malam ini dengan begitu saja. Gadis itu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, pura-pura ingin melihat mie yang ada di dalam mangkuk Vincent.
“Kelihatannya enak, ya?” bisiknya, suaranya terdengar menggoda.
Vincent menegang. Ia harus segera menyelesaikan makanannya dan pergi sebelum situasinya semakin tidak terkendali. Namun, semakin ia mencoba mengabaikan Nancy, semakin kuat daya tarik gadis itu. Dan Nancy tahu itu.
Gadis itu menyeringai dalam diam. Ini baru permulaan.
Vincent terbatuk keras saat mie panas menyentuh lidahnya. Rasa panas yang tiba-tiba membuatnya tersedak, tubuhnya sedikit membungkuk sementara tangan kanannya menutupi mulutnya. Nancy, yang duduk di sebelahnya, dengan sigap mengambil segelas air dari meja dapur. Dengan sengaja, dia membungkuk begitu dekat ke arah Vincent saat menyerahkan gelas itu, membiarkan tubuhnya hampir menyentuh pria itu.
“Om, minum dulu,” katanya dengan suara lembut, matanya penuh perhatian—atau mungkin lebih dari sekadar perhatian.
Vincent, yang masih terbatuk, segera menerima gelas itu dan meneguk air dengan cepat. Namun, saat matanya secara tidak sengaja menatap Nancy dari sudut yang begitu dekat, ia baru menyadari betapa berbahayanya posisi ini. Pandangannya jatuh pada d**a Nancy yang terbuka oleh tank topnya yang ketat.
Ia mengerjapkan matanya berulang kali, berusaha mengalihkan fokusnya. Dengan buru-buru, ia menghabiskan air di gelas lalu segera berdiri dari tempatnya, mencoba mengendalikan situasi.
Nancy mengangkat alisnya, sedikit bingung. “Om, kenapa berdiri? Mienya belum habis,” tanyanya dengan nada polos yang dibuat-buat.
Vincent menegakkan tubuhnya, menatap ke arah lain. “Aku sudah kenyang. Aku mau tidur.” Suaranya terdengar kaku, seolah sedang berusaha menekan sesuatu dalam dirinya.
Tanpa menunggu respons lebih lanjut, Vincent segera melangkah pergi, menaiki tangga dengan cepat menuju kamarnya.
Nancy tetap duduk di tempatnya, bibirnya melengkung membentuk seringai kecil. Matanya mengikuti punggung Vincent hingga menghilang di lantai atas.
“Menarik sekali, Om tampan,” gumamnya pelan, penuh kepuasan. Ini baru permulaan. Karena Nancy begitu yakin sekali, dia bisa untuk memiliki Om Vincent. Dia sudah lama tertarik dengan Om Vincent.
Dan Tante Sophia … wanita itu tidak pantas bersanding dengan Om Vincent yang tampan juga gagah perkasa.