Starla memakan makanannya dengan tenang, meskipun saat ini dirinya tidak bisa benar-benar tenang karena suaminya, tetap saja dirinya harus terlihat baik-baik saja di depan putranya.
"Apa bunda akan bekerja?" Tanya Ibra yang langsung saja membuat Starla menghentikan gerakan tangannya dan menatap ke arah putranya yang tengah menatapnya dengan tatapan mata penasaran.
"Apakah itu lebih baik? Bunda tidak tahu harus melakukan apa saat ini." Balas Starla yang malah berbalik tanya pada putranya.
Ibra yang mendengarnya tentu saja tertawa pelan, dan meminta bundanya untuk makan lagi.
Sebenarnya di sekolah Ibra mendapatkan banyak sekali kata-kata yang sedikit menggangunya. Banyak yang mengatakan jika ayahnya sudah m*ti dan di makan ikan di lautan sana. Selain itu, anak-anak lainnya juga mengatakan jika perusahaan milik ayahnya tidaklah sekuat dulu setelah ayahnya dikabarkan ikut menjadi korban pesawat itu. Ibra tidak tahu teman-temannya mendengar hal itu dari siapa tapi yang pasti Ibra benar-benar tidak membenarkan hal itu karena Ibra percaya pada bundanya yang selalu mengatakan jika ayahnya hanya pergi kerja dan pastinya akan pulang.
"Bunda selalu bilang pada Ibra untuk menjadi anak yang baik seperti ayah, apa Ibra harus berhenti sekolah dan menemani bunda di rumah? Ibra khawatir jika meninggalkan bunda sendirian." Tanya Ibra yang lagi-lagi membuat Starla diam saat mendengarnya.
"Bunda sudah mengganggu kamu ya?" Tanya Starla balik.
Ibra pun langsung mengangguk dengan ekspresi wajah yang sedikit tidak enak hati.
"Bunda selalu menenangkan Ibra dengan kata ayah akan pulang dengan baik-baik saja, tapi bunda malah terus menyendiri dan menangis sendirian." Kata Ibra mengatakan semua hal yang ia dengar dan ia lihat.
"Ibra sedih melihatnya, apalagi bunda juga sering sakit. Bagaimana jika bunda ikut pergi dan meninggalkan Ibra sendirian di dunia ini?" Lanjut Ibra dengan menundukkan kepalanya.
Starla yang mendengarnya pun langsung berdiri dan mendekati kursi putranya. Dengan sedih dan juga bersalah, Starla memeluk putranya.
"Maafkan bunda, bunda tidak bermaksud seperti itu. Bunda pasti tidak akan membuat Ibra berpikiran seperti itu lagi." Bisik Starla pelan.
Starla benar-benar sangat marah pada dirinya sendiri yang membuat putranya berpikiran seperti itu. Selain itu, bagaimana jika putranya menjadi seperti Gibran dulu? Dirinya pasti akan sangat menyesal dan sedih karena telah meninggalkan putranya begitu saja.
"Kalau begitu, bunda makan yang banyak, setelah ini temani Ibra belajar." Pinta Ibra dengan semangat.
Starla pun mengangguk cepat dan kembali ke kursinya untuk meneruskan makanannya.
Seperti yang diinginkan oleh Ibra, saat ini keduanya berada di kamar Ibra untuk belajar.
"Ibra kenapa belajar ini?" Tanya Starla saat melihat tumpukan kertas yang bukan buku belajar untuk anak-anak sekolah.
"Kakek memberikan ini untuk Ibra kemarin, dia bilang Ibra harus mempelajari dasar-dasarnya jika ingin membantu bunda dan juga yang lainnya." Jawab Ibra memberitahu bundanya.
"Jangan belajar ini, kamu harus belajar pelajaran sekolah. Biarkan bunda yang mengurusnya. Kamu fokus sama sekolah dan bermain saja." Jawab Starla yang langsung saja mencoba untuk mengambil semua berkas-berkas yang ada di atas meja belajar putranya.
Ibra menatap ke arah bundanya yang terlihat khawatir dengan tersenyum tipis, Ibra tahu jika bundanya sangat menyayangi dirinya dan tidak ingin membebani dirinya ataupun orang lain. Untuk itu bundanya sering kali menutupi rasa sakitnya di depan semua orang agar tidak membuat orang lain khawatir.
"Mulai hari ini, bunda harus berbagi semua hal dengan Ibra. Entah itu rasa sakit atau apapun masalahnya, Ibra pasti akan menjadi pendengar yang baik untuk bunda." Kata Ibra yang langsung saja memeluk bundanya dengan erat.
Air mata Starla pun mau tak mau jatuh karena ulah putranya yang sangat dewasa itu. Starla tidak tahu bagaimana jadinya jika tidak ada putranya disekitarnya. Pasti dirinya akan semakin terpuruk dan memperburuk keadaannya sendiri.
Setelah hari itu, Starla pun mulai aktif berangkat ke kantor suaminya untuk membantu mertuanya menggantikan pekerjaan suaminya. Sedikit demi sedikit Starla mencoba untuk mempelajari semua hal yang biasa dikerjakan oleh suaminya. Beberapa perusahaan memilih untuk memutuskan kontrak dan membayar denda daripada menunggu Gibran ditemukan. Meksipun begitu Starla dan Tasya pun hanya menyetujuinya dan masih sibuk mengerjakan pekerjaan yang terus menumpuk setiap harinya.
"Mbak Starla istirahat saja, jangan sampai kelelahan hanya karena bekerja." Kata Ares mengingatkan Starla yang memiliki masalah pada jantungnya.
"Tidak apa-apa, seharusnya mas Ares yang istirahat. Maafkan saya jika sudah menyusahkan mas Ares disaat anda memiliki masalah pribadi dengan keluarga anda." Balas Starla yang sebenarnya tidak enak hati.
Sudah hampir tiga bulan setelah dirinya turun dan menggantikan pekerjaan suaminya. Mertuanya sudah menyerahkan semuanya pada dirinya dan memilih untuk mengurus perusahaan luar yang juga dipegang oleh suaminya. Meskipun di luar ada Vian yang ikut membantu, tetap saja mertuanya tidak bisa melepaskan hal itu begitu saja. Karena bagaimanapun juga tugas Vian saat ini adalah belajar tentang kedokteran dan menjadi dokter terbaik saat kembali nantinya, bukan malah ikut mengurus hal-hal seperti ini.
"Anda pasti tidak nyaman saat mendengar gosipnya di kantor." Kata Ares dengan suara pelan.
Saat ini Ares tengah menjadi supir untuk mengantarkan Starla pulang ke rumah. Tentu saja Starla bisa membawa mobilnya sendiri, tapi semua orang rumah khawatir dan tidak membiarkan dirinya pergi sendirian. Untuk itu mereka semua memilih untuk mempercayakan keselamatannya pada Ares yang saat ini bekerja lebih keras dari siapapun dalam mempertahankan perusahaan yang sudah sedikit membaik daripada beberapa bulan yang lalu.
"Iya." Jawab Starla pelan.
"Mas Ares benar-benar tidak berpikiran untuk menyukai saya bukan?" Tanya Starla yang langsung saja membuat Ares terdiam saat mendengarnya.
Beberapa waktu yang lalu, beberapa orang kantor melihat jika sekertaris suaminya bertengkar hebat di sekitar gedung perusahaan. Istri dari mas Ares marah-marah lantaran mas Ares selalu pulang telat dan menuduh mas Ares selingkuh dengan dirinya. Lebih mengejutkannya lagi, mas Ares bahkan tidak menyangkal tuduhan dari istrinya dan malah membenarkannya. Untuk itu, di perusahaan tengah tersebar rumor jika mas Ares menaruh hati padanya dan ingin menggantikan posisi suaminya.
"Saya tidak berani melakukannya." Jawab Ares dengan suara pelan.
Starla yang mendengarnya pun langsung tersenyum tipis dan mengucapkan terima kasih pada sekertaris suaminya yang sudah membantu banyak itu.
"Mas Ares sudah tahu bukan jika aku menikah dengan Gibran karena uangnya, bahkan sampai Gibran menghilang pun aku belum pernah mengatakan kata-kata jika aku mencintainya." Kata Starla bercerita.
Ares langsung saja menelan ludahnya saat mendengarnya, bagaimanapun juga Ares tidak akan melupakan hal itu. Karena dirinya juga sangat tahu akan kenyataan itu, untuk itu sampai kapanpun dirinya bahkan tidak berani untuk menyukai wanita yang memiliki pandangan yang bagus itu. Dari dulu, Ares memang mengagumi sosok Starla yang bisa menenangkan dan juga mendapatkan hati tuannya sepenuhnya. Padahal jelas-jelas tuannya saja tidak pernah sepenuhnya percaya pada wanita kecuali mamanya.
"Jangan pikir aku menurunkan pandanganku soal laki-laki setengah suamiku pergi, karena bagaimanapun juga aku akan menggapai laki-laki yang setara dengan suamiku jika aku ingin menikah lagi nantinya." Lanjut Starla yang sebenarnya lebih memberikan peringatan pada sekertaris suaminya itu.
Bagaimana dirinya bisa mencari laki-laki lain di saat dirinya masih percaya jika suaminya baik-baik saja saat ini? Starla tahu dirinya mungkin terlihat sangat menyedihkan karena mempercayai hal itu, di saat semua orang sudah menganggap jika suaminya sudah benar-benar pergi dan mengikhlaskannya. Tapi dirinya benar-benar tidak ingin ikut mempercayai hal itu, karena dirinya memiliki rasa percaya yang kuat untuk suaminya itu.
"Apa anda mau makan malam bersama saya? Saya membutuhkan sedikit saran untuk pernikahan saya." Tanya Ares dengan hati-hati.
Tentu saja Ares sudah berpikir beberapa kali sebelum menanyakan hal seperti itu. Beberapa kali Ares ragu dan pada akhirnya memilih untuk percaya. Mungkin saja istri dari tuannya itu bisa memberikan jalan keluar untuk dirinya.
Keduanya pun singgah di restoran yang tidak jauh dari rumah. Jika ada yang melihat keduanya pasti akan menyebar gosip yang lebih lagi. Tapi Starla sudah mengambil keputusan yang benar tentang hal ini.
"Sebenarnya akhir-akhir ini istri saya memang sering marah-marah tidak jelas. Anda pasti sudah mendengar bukan? Jika setelah kecelakaan waktu itu istri saya belum hamil lagi sampai sekarang, untuk itu setelah dia mendapatkan pertanyaan dari orang lain tentang seorang anak dia pasti akan langsung marah-marah dan meminta saya untuk mencari wanita lain." Kata Ares mulai menceritakan semuanya pada Starla.
"Setelah itu, saya sibuk dan sering pulang terlambat karena membantu perusahaan setelah kepergian pak Gibran. Untuk itu istri saya mengajak saya bertengkar di perusahaan beberapa waktu yang lalu." Lanjut Ares menundukkan kepalanya.
"Kalau begitu ambil cuti beberapa hari dan bawa istri anda berlibur. Itu masalah psikologis, dia akan terus berpikiran seperti itu di saat anda tidak ada disekitarnya. Dia takut anda meninggalkan dia karena dia belum memberikan seorang anak untuk anda." Jawab Starla menyarankan.
"Ah tidak, perusahaan lebih membutuhkan saya." Balas Ares pelan.
"Dia istri anda, dia yang akan menemani anda sampai anda tua nanti, jadi jangan katakan hal seperti itu." Jawab Starla lagi, mengingatkan pikiran yang salah pada sekertaris suaminya itu.
"Setelah hari ini, ayo pulang tepat waktu. Weekend jangan datang ke perusahaan dan bawalah istri anda jalan-jalan agar kesalahpahaman itu tidak melebar nantinya." Lanjut Starla lagi.
"Tapi, bagaimana dengan ...."
"Pernikahan anda lebih penting daripada keadaan perusahaan saat ini. Lagipula anda bekerja dan bukan pemilik. Jadi jangan berpikir mengorbankan pernikahan anda hanya karena masalah yang sebenarnya adalah tanggung jawab keluarga saya."
Starla memilih untuk memotong apa yang akan dikatakan oleh sekertaris suaminya itu dan mengingatkan sekali lagi hal yang seharusnya diingat oleh laki-laki yang duduk di depannya itu.
"Ayo pulang, Ibra pasti sudah menunggu di rumah." Ajak Starla seraya berdiri dari duduknya.
"Terima kasih atas sarannya." Gumam Ares yang hanya dijawabi anggukan oleh Starla.
Ares pun mengantarkan Starla pulang dan kembali ke rumahnya dengan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Setelah berpikir ulang, semua hal yang dikatakan oleh istri atasannya itu memang benar, dirinya hanyalah butuh komunikasi banyak dengan istrinya, seharusnya dirinya menenangkan istrinya dan bukan malah mengabaikannya seperti ini. Ares benar-benar akan meminta maaf pada istrinya tentang kesalahannya itu. Karena bagaimanapun juga Ares tidak pernah berpikir untuk berpisah dengan istrinya meskipun dulunya dia sering berganti-ganti pasangan. Bagaimanapun juga saat ini dirinya hanya ingin memiliki keluarga yang hangat untuk waktu yang sangat lama nantinya.
Tbc