enam

1010 Kata
Di rumah sakit, Tasya hanya duduk diam. Menatap ke arah menantunya yang terbaring lemas di atas ranjang rumah sakit. Starla baru saja membaik, dan saat ini sudah dikejutkan dengan kabar putranya yang berada di dalam pesawat hilang kontak. Tasya tidak tahu bagaimana keadaan putranya saat ini, yang pasti dirinya benar-benar takut jika terjadi sesuatu dengan putranya dan juga menantunya. "Nenek, apa bunda sakit lagi?" Suara Ibra yang terdengar membuat Tasya memejamkan matanya, saat ini bahkan dirinya bingung untuk mengatakan apa pada anak yang mudah sekali menangkap apa yang terjadi disekitarnya. "Bunda hanya lelah, Ibra sudah makan siang?" Jawab Tasya mencoba untuk tersenyum tipis. "Sudah, tadi paman Ares langsung mengajak Ibra makan di luar setelah menjemput Ibra pulang." Jawab Ibra dengan cepat. "Anak pintar, kalau begitu Ibra istirahat di sini dulu nggak papa ya? Nanti kalau kakek sudah pulang, Ibra baru istirahat di rumah." Kata Tasya mencoba untuk berbicara hati-hati. "Tidak apa-apa, Ibra akan terus di sini menemani bunda." Jawab Ibra dengan tersenyum lebar. Setelah itu Tasya hanya bisa melihat anak itu yang berlari ke arah sofa dan melepaskan tas punggungnya lalu meletakkannya di atas sofa. "Nenek makan dulu, biar Ibra yang jagain bunda." Kata Ibra lagi seraya kembali dengan membawa sebuah buku di tangannya. "Ibra ada tugas sekolah?" Tanya Tasya dengan suara pelan. "Hanya sedikit, akan selesai setelah nenek selesai makan siang. Jadi lebih baik nenek makan dulu." Jawab Ibra yang langsung saja membuat Tasya bangun dari duduknya dan memeluk cucunya dengan erat. "Anak pintar, anak baik." Gumam Tasya pelan. Setelah kepergian Tasya, Ibra pun duduk di samping brankar bundanya dengan mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru di sekolah tadi. Sebenarnya tadi Ibra juga dengar jika sekertaris ayahnya mengambilkan cuti sekolah untuknya, tapi Ibra tetap ingin mengerjakan tugasnya dengan baik. Ibra juga mendengar jika ayahnya tengah mengalami kecelakaan pesawat hari ini, hanya saja Ibra pura-pura tidak mengerti, agar bundanya tidak terlalu khawatir tentangnya. Karena Ibra tahu, kepintarannya terkadang juga membuat bundanya kesulitan. Gerakan tangan bundanya membuat Ibra turun dari kursi dan meletakkan bukunya di atas nakas. Setelah itu Ibra kembali dan memegangi tangan bundanya dengan tangan kecilnya. "Bunda sudah bangun? Apa bunda haus?" Tanya Ibra yang langsung saja membuat Starla terdiam dan menatap ke arah putranya dalam diam. Ibra yang tidak mendapatkan jawaban apapun langsung saja melepaskan tangannya dan mengambil air putih yang ada di atas nakas. Tentu saja Ibra menggeser kursi dan naik ke atasnya agar bisa menjangkau bundanya yang masih berbaring di atas ranjangnya itu. "Bunda minum dulu." Pinta Ibra yang langsung saja membuat Starla menangis saat melihatnya. Ibra yang melihat bundanya menangis tentu saja hanya diam, tangan kecilnya terulur dan mengusap air mata bundanya dengan pelan. "Tidak apa-apa, bunda pasti sembuh nanti. Jadi jangan nangis." Kata Ibra lagi yang langsung saja membuat Starla semakin menangis saat mendengarnya. Putranya benar-benar sangat dewasa dan membuat dirinya sedih sendiri saat melihatnya. "Ayah kerja jauh, kalau bunda terus menangis seperti ini nanti jadi kurus dan ayah akan marah." Kata Ibra lagi yang langsung saja membuat Starla tersenyum tipis saat mendengarnya. Bener, suaminya berpamitan untuk pergi, jadi dia pasti akan kembali dengan baik-baik saja. "Maafin bunda." Gumam Starla pelan, meminta maaf pada putranya karena sudah membuat putranya menjadi dewasa diusianya yang bahkan masih anak-anak. Seharusnya dirinya tidak melakukan hal itu, tapi banyak hal yang ada pada dirinya hingga membuat putranya bersikap seperti itu. Salah satunya adalah penyakitnya ini. Ibra pun mengangguk, lalu mengulurkan gelas air pada bundanya dan membantu bundanya untuk meminumnya. Setelah itu, Ibra turun dari kursi dan meletakkan lagi gelas yang ada di tangannya ke atas nakas. "Ibra panggil dokter untuk bunda ya?" Tanya Ibra seraya menoleh ke arah Starla yang masih menangis dalam diam itu. Starla yang mendengarnya langsung saja menggelengkan kepalanya cepat, air matanya terus keluar tanpa bisa ia cegah. Starla hanya ingin diam sebentar dan hanya ingin bersama dengan putranya saja. Tasya yang ada di luar ruangan pun mengusap air matanya cepat. Sebenarnya Tasya sudah sampai sedari tadi, hanya saja dirinya memilih untuk menghentikan langkahnya dan mengawasi interaksi menantunya dengan cucunya dari luar. Seperti yang ia duga, cucunya memang sekuat itu jika di depan semua orang. Setelah berhasil menghentikan air matanya, Tasya mengusap air matanya dan masuk ke dalam ruangan menantunya dengan tersenyum lebar. Tidak ingin memperlihatkan kesedihannya di depan dua orang yang ia sayangi. Selain itu, dirinya tidak ingin membuat menantunya semakin kepikiran karena dirinya ikut-ikutan menangis. "Nenek," panggil Ibra yang hanya dijawabi anggukan oleh Tasya. Tasya pun mendekati cucunya dan juga ranjang Starla. "Ibra sudah menyelesaikan tugasnya? Jika belum Ibra selesaikan dulu, biar bunda nenek yang jagain." Tanya Tasya yang langsung saja dijawabi anggukan oleh Ibra, Ibra tidak ingin menolak karena Ibra tidak mau jika bundanya terus menangis karena melihat dirinya. Ibra mengambil bukunya dan kembali duduk di atas sofa untuk mengerjakan soal-soal yang ada di dalam bukunya. Ibra juga mengerjakan beberapa soal yang memang tidak seharusnya ia kerjakan, karena Ibra tidak ingin kembali menghadapi bundanya dalam waktu dekat. Ibra takut membuat bundanya semakin kepikiran tentang dirinya. Tasya mendekati ranjang menantunya dan mengulurkan tangannya untuk mengelus pipi Starla. Tasya tahu jika menantunya sangat terkejut hari ini, tapi Starla juga tidak ingin membuat menantunya menjadi lebih lemah setelah hari ini. Karena bagaimanapun juga masih ada Ibra yang harus mereka pikirkan, anak itu mungkin saja terlihat baik-baik saja, tapi tidak dengan pemikirannya yang sudah dewasa. "Kamu harus jaga kesehatan kamu, Gibran tidak akan suka kalau dia lihat kamu seperti ini." Kata Tasya dengan suara pelan. "Ibra, bagaimana dengan Ibra nanti?" Tanya Starla lagi-lagi dengan air mata yang keluar dari matanya yang terlihat memerah. "Ibra anak yang kuat, kamu jangan khawatirkan dia, dia pasti lebih kuat daripada kamu." Jawab Tasya dengan yakin. "Jika kamu sakit seperti ini, maka Ibra akan sedih. Dia paling sayang sama kamu, jika kamu seperti ini maka dia tidak akan baik-baik saja. Kamu harus bertahan untuk Ibra." Kata Tasya lagi, mengingatkan menantunya jika saat ini dia tidak sendirian. Starla yang mendengarnya tentu saja langsung diam dan menganggukkan kepalanya pelan. Meskipun di dalam hati Starla sedih karena kepergian Gibran, tentu saja Starla tidak bisa mengabaikan putranya yang bahkan terus memikirkan tentang dirinya dengan baik. Tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN