Di meja makan, semua orang terlihat tidak secerah biasanya. Tentu saja semua orang mengkhawatirkan tentang Starla yang mengatakan akan tetap pergi ke kantor setelah semalam sakit seperti itu. Tasya dan Roni sudah mencoba untuk menghentikannya, tapi Starla mengatakan tidak apa-apa dan bersikeras pergi dengan bibir yang tersenyum lebar.
"Ibra akan ke kantor menyusul bunda nanti." Kata Ibra sebelum memakan omelette telur buatan bundanya.
"Kalau begitu bunda akan menunggu dan meminta mas Ares untuk menyiapkan makan siang untuk Ibra nanti." Jawab Starla yang langsung saja membuat Ibra tersenyum lebar saat mendengarnya.
Sarapan pun berlangsung begitu cepat, Ibra pergi dengan supir keluarga dan Starla pergi dengan jemputan mas Ares. Untuk Tasya dan Roni tentu saja masih di rumah karena sebenarnya Tasya memiliki jadwal terbang pagi ini untuk mengecek kembali perusahaan luar yang sudah beberapa Minggu tidak ia kunjungi, tapi semua itu ia batalkan karena Starla yang sakit.
"Apa tidak apa-apa jika seperti ini? Dia demam semalaman, Ibra juga tidak memiliki waktu tidur yang cukup, kenapa mereka bersikeras untuk pergi." Tanya Tasya dengan penuh kekhawatiran.
"Mungkin dengan bekerja itu membuat Starla lupa akan ketidakhadiran Gibran, dan untuk Ibra, mungkin dia tidak ingin membuat bundanya khawatir. Kedua orang itu memiliki sedikit kemiripan dan siapa yang kamu larang? Gibran saja tidak akan bisa menghentikannya istrinya sendiri." Balas Roni yang saat ini tengah duduk di ruang keluarga dengan meminum teh yang disediakan untuknya.
"Tapi apakah itu masuk akal? Gibran bahkan belum ketemu juga setelah empat bulan, dan mereka masih percaya jika Gibran akan kembali, sebenarnya siapa yang tidak waras di sini? Aku tiba-tiba merasa menjadi ibu yang jahat karena hal ini." Kata Tasya lagi.
Terlihat sekali jika saat ini Tasya frustasi akan semuanya. Tidak ada jejak yang ditinggalkan oleh Gibran. Bahkan jika anak itu hidup, setidaknya dia harus menghubungi orang rumah agar tidak membuatnya berpikir jika anak itu sudah pergi untuk selama-lamanya. Lalu untuk putranya sendiri, anak itu bahkan tidak bisa pulang karena jadwalnya yang sangat sibuk.
"Mereka percaya karena mereka belum melihat jasad Gibran kembali ke rumah ini. Bahkan setiap hari ada saja jasad yang ditemukan, jadi mereka tidak salah jika mengatakan masih mempercayai kembalinya Gibran." Jawab Roni lagi.
"Apa kamu melakukan penyelidikan sendiri? Kamu terlihat tenang meskipun tahu putramu pergi. Apa kamu menemukan sesuatu?" Tanya Tasya yang saat ini memilih untuk curiga dengan suaminya.
"Aku memang melakukan penyelidikan, tapi belum mendapatkan kabar yang baik. Kamu hanya berfokus pada lautan luas, untuk itu aku mengirim beberapa orang untuk mencari dibeberapa tempat yang tidak jauh dari laut itu. Aku masih berharap jika Gibran baik-baik saja dan kemungkinan dia ditemukan oleh seseorang saat itu." Jawab Roni pada akhirnya memberitahu istrinya.
Tasya yang mendengarnya pun hanya diam dan mengerti kesalahannya. Seharusnya dirinya bisa memikirkan itu, tapi apa yang ia pikirkan sampai saat ini? Semuanya benar-benar sangat kacau.
"Starla, biarkan dia mempercayai apa yang dia mau. Sefrustasi apapun dia, dia tidak akan tega meninggalkan Ibra sendirian, jadi kamu jangan terlalu mengkhawatirkan hal itu, kamu bertambah kurus hanya dalam beberapa bulan." Lanjut Roni memberitahu istrinya dengan suara yang pelan agar mudah dimengerti.
"Dia memiliki kondisi yang mengharuskan aku untuk khawatir, aku takut jika Ibra memiliki trauma yang sama dengan Gibran dulu, bagaimana bisa aku tenang dan tidak memikirkan itu." Balas Tasya seraya mengusap wajahnya pelan karena frustasi.
Keduanya pun kembali diam karena tidak tahu harus melakukan apalagi. Jika dipikir-pikir, semuanya memang terjadi begitu saja dan tidak ada yang tahu akan ada hal seperti ini. Tapi Tasya benar-benar sangat marah pada Tuhan yang sudah membuat semuanya menjadi seperti ini.
Siang hari, Starla keluar dari ruangannya dan menyapa sekretaris suaminya dengan ramah. Ada beberapa kursi yang kosong karena mereka memilih untuk mengundurkan diri setelah kabar tentang suaminya tersebar, meksipun begitu Starla merasa sedikit lebih baik karena ada juga orang yang bertahan dan berjuang bersamanya.
"Apakah anda akan keluar?" Tanya seorang sekretaris yang bisa dikatakan baru masuk ke dalam perusahaan.
"Aku hanya menunggu putraku datang, kalian makan siang lebih dulu agar tidak terlalu fokus." Jawab Starla dengan ramah.
"Apa ibu sudah mendengar beritanya?" Tanya sekretaris bername tag Dilla itu lagi.
"Berita apa?" Tanya Starla penasaran.
"Kepala sekretaris Ares, saya dengar dia menyukai ibu dan rela meninggalkan istrinya untuk ibu." Jawab Dilla lagi yang langsung saja membuat sekretaris Joe memukau pelan sekretaris Dilla dengan cepat.
Starla yang melihatnya tentu saja hanya tersenyum tipis, biasanya sekertaris suaminya selalu laki-laki tapi sembilan bulan yang lalu suaminya terpaksa merekrut sekertaris wanita karena tidak menemukan sekertaris laki-laki seperti yang ia inginkan.
"Bicaralah yang sopan, kenapa kamu mengatakan hal seperti itu." Marah sekretaris Joe yang langsung saja membuat Dilla menundukkan kepalanya dan meminta maaf padanya.
"Mas Ares tidak akan seperti itu kok, saya tidak bisa dibandingkan dengan istrinya yang sangat setia itu. Jika mas Ares menjadi suami saya, saya pasti akan meninggalkan dia lebih awal, sebenarnya yang ia tahu hanyalah kerja dan membantu atasannya sebaik mungkin, bahkan dia melupakan keluarganya, benar-benar kepala keluarga yang buruk." Kata Starla sembari mencibir Ares yang terlihat berjalan ke arahnya dengan membawa sesuatu yang ada di tangannya.
"Apa anda membicarakan saya seperti itu?" Tanya Ares yang kembali dan memberikan es kopi pada sekertaris Joe dan juga sekertaris Dilla dengan tatapan yang tidak ada ramah-tamahnya.
"Bukankah itu benar? Anda benar-benar buruk untuk dijadikan sebagai suami." Jawab Starla lagi dengan tersenyum lebar.
Sekertaris Dilla dan juga sekertaris Joe tentu saja hanya diam. Sekertaris Joe pikir, Starla atau kepala sekertaris Ares akan marah karena mereka sudah membicarakan keduanya dengan gamblang, tapi ternyata tidak seperti itu. Keduanya justru menanggapi hal itu dengan candaan yang sangat renyah.
"Benar, tapi terima kasih untuk saran anda kemarin. Karena saran anda saya dan istri saya baik-baik saja, jika anda tidak menyadarkan saya, saya pasti sudah diceraikan oleh istri saya." Jawab Ares seraya sedikit membungkukkan badannya untuk berterima kasih pada istri dari atasannya yang memang sangat baik itu.
"Sama-sama, sudah seharusnya saya mengingatkan hal itu. Lagipula mas Gibran juga sangat peduli dengan saya meskipun dia sibuk, jadi tidak ada alasan bagi anda untuk terus bekerja lembur dan membiarkan istri anda di rumah dengan pikiran yang penuh dengan hal negatif tentang anda dan saya." Kata Starla lagi dengan tersenyum lebar.
"Bunda ...." Suara putranya akhirnya terdengar setelah cukup lama ia menunggu.
Starla yang melihat putranya berlari dengan tas punggung yang terus bergerak di belakangnya tentu saja membuat Starla tertawa kecil dan langsung duduk di bawah untuk menyambut pelukan putranya.
"Apa bunda menunggu lama?" Tanya Ibra setelah berada dalam pelukan bundanya.
"Tidak apa-apa, ayo masuk ke dalam dan makan siang." Jawab Starla yang langsung saja berdiri dan memegang tangan Ibra dengan hangat.
"Apakah paman Ares sudah membelikan makan siang? Terima kasih paman Ares." Tanya Ibra pada Ares, diikuti oleh ucapan terima kasih yang terdengar sangat baik.
"Sama-sama, makanlah yang banyak agar tumbuh lebih cepat." Jawab Ares seraya melambaikan tangannya ke arah Ibra yang langsung berjalan masuk ke dalam ruangan bundanya setelah mengucapkan terima kasih.
Ares tersenyum tipis saat melihatnya, bagaimanapun juga yang namanya anak kecil sangat menggemaskan dan membuat dirinya ingin memilikinya sendiri dengan istrinya.
"Saya sering mendengar jika istri dari pak Gibran sangat baik, dan semua itu memang benar. Saya pikir dia akan marah saat sekertaris Dilla mengatakan hal seperti itu." Kata Sekertaris Joe membuka suaranya.
"Meskipun dia terlihat sedikit sulit untuk dijangkau, dia selalu baik pada semua orang yang baik padanya. Bisa dikatakan dia penyelamat untuk pak Gibran, untuk itu pak Gibran sangat mencintai istrinya lebih dari siapapun." Balas Ares memberitahu sedikit cerita tentang kebenaran itu.
"Bukankah dia menikah dengan pak Gibran karena uang?" Tanya Dilla yang lagi-lagi tidak bisa menahan bibirnya untuk tidak bertanya.
Ares yang mendengarnya tentu saja langsung menatap ke arah sekertaris Dilla dengan tatapan menusuk. Sekertaris Dilla yang mengetahui kesalahannya pun langsung menundukkan kepalanya dengan cepat.
"Dia realistis, memangnya wanita mana yang mau menikah dengan laki-laki miskin yang hanya menjadi beban untuknya?" Balas Ares yang langsung saja pergi ke kursinya sendiri dan memakan sesuatu yang tadi ia beli dari luar.
Dilla pun menepuk kepalanya pelan karena kebodohannya itu, berbeda dengan sekertaris Joe yang hanya mengangguk dan memikirkan tentang apa yang baru saja ia dengar. Semua hal itu memang tidak salah, karena dirinya sendiri pun baru saja ditinggal menikah oleh kekasihnya yang memilih laki-laki dengan status sosial yang lebih tinggi darinya. Benar-benar sangat memalukan. Lebih dari itu, sekertaris Joe sedikit kesal dengan dirinya yang tidak memiliki cukup uang untuk menahan kekasihnya. Sepertinya dirinya akan bekerja lebih keras lagi agar bisa membuktikan jika dirinya bisa lebih baik dari suami mantan kekasihnya itu.
Sekertaris Joe kembali duduk dan meminum es kopi yang dibelikan oleh kepala sekertaris, matanya melirik ke arah sekertaris Dilla yang masih sibuk memilah-milah berkas yang ada di atas mejanya.
"Minum dulu es kopinya, jangan biarkan dia membasahi dokumen penting itu." Kata sekertaris Joe mengingatkan Dilla yang cukup ceroboh saat bekerja.
Tbc