Aku berharap Mas Galih tidak menolak keinginanku, mereka tidak boleh bertemu. Bagaimana kalau Benny memberitahu Mas Galih kalau dia sudah membunuh Arimbi beberapa bulan yang lalu, Mas Galih pasti curiga karena dia taunya Arimbi bersembunyi dari Benny bahkan mereka sempat bertemu saat pesta ulangtahun, dan aku yakin semua penyamaran yang aku lakukan akan terbongkar hari ini juga.
"Mas..." mintaku dengan wajah panik dan berharap, bukan berharap kami b******a tapi berharap dia mengabulkan keinginanku agar mereka tidak jadi bertemu. Bukan menjawab mau atau tidak, Mas Galih malah kembali duduk dan tertawa. Aku merasa di dalam tawanya itu ada sedikit kesinisan.
"Wah, hmmm boleh juga usaha kamu... oke aku nggak akan menolak kalau istriku sendiri yang meminta" lagi-lagi aku mendengar ucapannya penuh kata sindirian, Mas Galih kembali berdiri dan langsung menggendongku ala ala pengantin baru. Aku membuang napas lega untuk sementara aku bisa menghindarkan Mas Galih bertemu Benny, setelah ini selesai aku akan coba bicara dengan Benny, apa yang diinginkannya dan mau apa dia datang menemui Mas Galih.
Aku mengalungkan kedua tanganku di lehernya sambil memandang wajah Mas Galih yang terlihat keras, keningnya dipenuhi kerutan seperti ada yang menjadi beban pikirannya, dengan reflek aku mencium kening Mas Galih agar semua beban pikirannya hilang setelah aku menciumnya, dia melihatku dengan mata sedikit aneh, ada tatapan kesal, marah, cinta, dan juga sayang dimata itu.
Kami masuk kedalam kamar dan tak lupa aku mengunci pintu dan mematikan semua lampu, mungkin saja Zaka memang meletakkan CCTV disuatu tempat dikamar ini dan aku tidak mau memberinya tontonan gratis saat aku dan Mas Galih b******a.
"Kenapa dimatikan?" tanya Mas Galih.
"Nggak apa-apa, aku lebih suka gelap-gelapan hahaha lebih enak"kilahku asal, Mas Galih sama sekali tidak tertawa, yang ada dia malah mendekatiku dan memegang daguku.
"Kenapa? mungkin ada sesuatu hal yang kamu sembunyikan ditubuh kamu hingga nggak mau aku lihat?" ucapannya membuatku kaget, aku langsung menggeleng pelan.
"Apa sih maksud Mas, mana mungkin aku menyembunyikan sesuatu... bukannya selama ini Mas selalu tau setiap inci tubuhku" balasku dengan tenang agar dia semakin tidak curiga.
"Oke, kamu benar... aku terlalu tau apapun yang ada ditubuh kamu... apapun, termasuk bekas luka sebesar ujung kukupun.. baiklah kayaknya terlalu lama kita berbincang, tamu sepertinya masih menunggu untuk bertemu, kita main singkat atau pake foreplay dulu?" Mas Galih terlalu pinter menggombal, secinta-cintanya dia dengan Arum, mana mungkin dia hapal luka-luka ditubuh Arum. Baiklah lebih baik kami mulai dan aku harus mengulur waktu selama mungkin jadi Benny dan Mas Galih batal bertemu.
"Foreplay dulu..." balasku. Mas Galih langsung mendorongku ke ranjang dan dengan brutal dia melepaskan semua bajuku, sangat berbeda dibandingkan saat kami pertama b******a dulu penuh kelembutan dan kasih sayang, tapi kali ini Mas Galih seperti menyimpan marah dan nafsu, dia bahkan menciumku dengan kasar.
"Mas, sakitttt" erangku, bukannya berhenti Mas Galih semakin menyiksaku dengan ciuman serta sentuhan kasar.
"Sakit ya sayang? Maaf ya... aku terlalu mencintai kamu dan bodohnya aku seakan menutup mata dengan semuanya, sialllll!!!" dia bangkit dari posisinya diatasku lalu duduk membelakangiku, aku mendengar suara helaan napasnya dan dia menjambak rambutnya. Aku memeluknya dari belakang dan mencium pelan punggungnya.
"Kita lanjut ya, aku akan tahan semuanya... sesakit apapun, karena Mas pasti lebih sakit..." ya lebih sakit karena setelah berhari-hari akhirnya kali ini dia bisa melampiaskan nafsunya, mungkin itu juga penyebab dia semarah tadi.
Dia menatapku, mata marahnya berubah lagi... kali ini seperti banyak pertanyaan yang ingin ditanyakannya.
"Aku mau nanya dan aku harap kamu jawab dengan jujur" ujarnya, aku langsung mengangguk setuju.
"Apa tujuan kamu datang kerumah ini" pertanyaannya sukses membuatku terhenyak kaget, tapi aku akan jawab dengan jujur.
"Kerena dirumah ini aku bersama laki-laki yang aku cintai, dirumah ini aku memiliki keluarga yang tidak pernah aku miliki, dirumah ini aku merasa nyaman dan aman karena Mas selalu menjagaku"balasku dengan tulus, dia tertawa dan kembali melihatku.
"Begitukah? So sweet dan aku terharu mendengarnya..." dia kembali mendorongku dan kini posisinya kembali diatasku, dia kembali mencumbuku tapi kali ini sedikit lembut daripada tadi.
Aku dan Mas Galih bergelung dalam dosa yang semakin dalam aku masuki, setiap lenguhan napas kami berdua menandakan ketidak setiaan kami terhadap Arum, kakak kandungku. Aku begitu laknat menikmati setiap Mas Galih menyentuhku, aku hina dan murahan dan semakin lama rasanya aku semakin berat melepaskan peranku sebagai Arum, aku berdoa sampai ajal menjemputku statusku tetaplah Arum bukan Arimbi, aku ingin hidup sebagai Arum agar bisa menerima cinta Mas Galih... biarlah suatu saat Tuhan akan mendepakku ke neraka. Selama ini aku tidak pernah bahagia dan kali ini aku akan sedikit egois mempertahankan apa yang menjadi milikku.
"Arimbi....." samar-samar aku mendengar Mas Galih menyebut nama Arimbi ditelingaku, walau terdengar bagaikan cicitan burung tapi aku yakin dia menyebut nama Arimbi.
"Mas..." aku menahan gerakannya dan menatapnya penuh tanda tanya. Dia sepertinya tau kesalahannya dan kembali menciumku agar aku tidak bertanya lagi, sepertinya pikiranku membuatku mendengar hal yang tidak mungkin keluar dari mulut Mas Galih saat b******a denganku, dia tidak mungkin menyebut nama Arimbi.
****
Setalah membersihkan diri dan mengganti baju aku melihat jarum jam menunjukkan pukul 7 malam. 2 jam setelah kedatangan Benny, aku yakin dia sudah pulang. Mas Galih masih terlelap tidur, aku menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, aku tersenyum bahagia dan mencium keningnya pelan agar dia tidak bangun. Kejadian tadi sungguh luar biasa dan aku semakin mencintainya. Sangat mencintainya dan aku bisa merasakan dia juga mencintaiku, ya walau sebagai Arum tapi nggak apa-apa karena aku sudah bertekad sebelum semuanya berakhir aku akan tetap berperan sebagai Arum.
Aku keluar dari kamar untuk melihat keadaan diluar apakah Benny masih ada atau telah pulang, aku juga akan meminta Zaka menahan setiap Benny ingin bertemu Mas Galih. Saat aku turun aku melihat suasana rumah sepi, Mama dan yang lainnya sepertinya pergi. Aku membuka pintu ruang kerja Mas Galih dengan pelan, kosong dan itu artinya Benny sudah pulang, aku membuang napas lega dan berniat kembali menutup pintu.
Tapi pintu itu tertahan dan aku melihat Zaka berdiri di depanku, aku menutup mata karena kaget dengan kemunculannya yang tiba-tiba itu.
"Kamu membuat aku kaget"kataku, Zaka tetap diam dan beberapa saat kemudian dia menarik tanganku untuk masuk ke dalam ruang kerja.
"Puas kamu menyentuh suami Arum?" tanyanya penuh dengan sindiran.
"Aku terpaksa melakukannya agar Benny tidak bertemu Mas Galih" balasku tanpa rasa menyesal, dia semakin tertawa sinis.
"Benny? Benny kamu jadikan alasan pembenar dalam kebodohan yang kamu lakukan. Kamu melakukan gara-gara Benny atau kamu semakin tidak bisa melepaskan suami Arum? Kenapa Arimbi? Kamu semakin jatuh cinta dan ingin memilikinya? Ingat kamu bukan Arum dan tidak akan pernah bisa menjadi Arum, Arum bukan w************n yang rela memberikan tubuhnya kepada laki-laki yang bukan suaminya"
Plakkkkk
Suara tamparan di pipi Zaka terdengar diruangan hening ini.
"Aku tau ini dosa besar yang akan aku tanggung seumur hidup, tapi asal kamu tau... aku mencintai Mas Galih tulus, kamu benar aku dan Arum wanita yang sangat berbeda. Dia bisa menjaga dirinya dan cintanya sedangkan aku... aku merebut suaminya bahkan aku ingin memilikinya" balasku disela derai airmata.
"Aku pikir dengan memberitahu Tuan Galih kalau Benny datang, kamu akan sadar dan membuang pikiran untuk menyentuh Tuan Galih, tapi nyatanya kamu semakin masuk ke dalam jurang dan sepertinya aku tidak bisa lagi menolong kamu menutupi semua ini" ujarnya dingin.
"Maksud kamu apa?" kataku sambil mengcengkram tangannya.
"Benny tidak pernah datang ke rumah ini" jawabnya tanpa merasa bersalah dan lagi-lagi aku menamparnya, bahkan 2 kali karena kelancangannya membuatku melakukan hal gila seperti tadi.
"b******k!!!" makiku dengan keras, aku berniat meninggalkan ruang kerja ini dan mulai saat ini aku harus menghindari Zaka, dia berbahaya dan bisa-bisa dia melakukan apapun untuk menyudutkanku.
"Benny bisa saja tidak datang hari ini, tapi kedepannya siapa yang tau.. ingat aku melakukan ini agar kamu waspada, karena bukan hanya aku yang tau kalau Arum sudah mati tapi kemungkinan juga Benny" kata-katanya benar tapi aku tidak mempedulikannya, mulai sekarang aku akan menjaga diriku sendiri tanpa bantuan Zaka yang terlalu ikut campur dalam berbagai hal.
****
2 minggu setelah kejadian itu, hidupku mulai tenang ditambah hubunganku dengan Mama kian membaik meski kalau didepan Papa dia kembali menunjukkan topeng angkuh, Ara juga sepertinya menyerah menggoda Mas Galih. Zaka juga tidak pernah mendekatiku lagi karena aku meminta MAs Galih mencabut semua pengawal untukku karena kini aku focus menjadi ibu rumah tangga dan sepertinya memberikan pengawal membuatku sedikit risih.
"Galih, lusa ulang tahun perusahaan... Papa pikir sebaiknya kamu membuat pesta besar... dan pesta di kapal pesiar sepertinya rencana yang bagus" ujar Papa saat kami sedang sarapan pagi, Mas Galih melipat korannya dan menatap Papa.
"Kapal pesiar? Wah ide bagus pa... kita bisa bersenang-senang disana dengan para kolega" balas Mas Galih, Papa sepertinya senang idenya diterima Mas Galih, tapi entahlah hatiku sedikit tidak tenang. Seperti ada hal yang akan terjadi di kapal itu.
"Mas aku boleh ikut?" tanyaku, Mas Galih melihatku dan mengangguk.
"Tentu saja sayang, kamukan istri aku... Mama dan Ara juga boleh ikut, si kembar kita juga bawa... sekalian aku ingin menunjukkan sebuah pulau yang baru saja aku beli untuk hadiah ulang tahun pernikahan Mama dan Papa" balas Mas Galih.
"Makasih Mas" aku bersyukur diperbolehkan ikut, jadi aku bisa melihat gerak gerik Papa dan awas saja kalau dia berani mencelakai Mas Galih.
"Oh iya, kayaknya kamu terlalu lama memendam diri di rumah... lebih baik kamu jalan-jalan ke mall, bawa saja si kembar dan pelayan, Mas akan pulang telat hari ini" usulan Mas Galih boleh juga, sepertinya keadaan ini membuat kulit mukaku sedikit berubah.
"Baiklah aku akan pergi, tapi bertiga si kembar aja... Mas jangan kuatir, aku bisa jaga diri kok" balasku, dia mengangguk setuju.
Setelah Mas Galih pergi ke kantor, akupun bersiap untuk pergi ke Mall.
"Ayo nak, kita jalan-jalan" kataku dengan riang sesaat setelah kami tiba di mall, suasana Mall yang ramai membuat di kembar antusias, begitupun aku. Aku membeli beberapa barang kebutuhanku, kebutuhan Mas Galih dan juga si kembar.
"Lihat deh kayaknya sepatunya cocok untuk kalian, Bunda beli ya..." aku memilih dua pasang sepatu bermodel sama tapi beda warna untuk si kembar, saat akan membayar tiba-tiba mataku menangkap sosok yang paling aku hindari saat ini.
Benny!!
Siallll!!! Langkahku terlalu lama dan sepertinya dia menyadari keberadaanku, saat aku hendak lari tiba-tiba tangannya menahanku.
"Arimbi!!!!" aku menghempas tangannya.
"Maaf aku Arum" balasku dengan singkat meski jantungku berdetak tak karuan.
"Hahahahahah loe bisa membodohi semua orang dengan dandanan seperti ini, tapi gue yakin kalo lo itu Arimbi, mantan bini gue... mantan yang gue kira sudah mati tapi nyatanya lo disini sedang menikmati peran sebagai wanita kaya" dia melihat semua barang belanjaanku.
"Kamu salah orang" kataku bersikeras.
"Apa Galih tau kalau wanita yang membawa anak-anaknya ini adalah mantan gue, atau dia menganggap lo itu Arum... fiuhhhh rahasia besar yang bisa menghasilkan uang besar juga" balasnya tanpa malu.
"DIAMMMMMM!!!! Dasar pecundang, jangan pernah menemui Mas Galih atau gue bakal lapor lo karena memeras gue" ancamku balik.
"Oke nggak masalah, paling gue kena 1-2 tahun tapi lo bakal membusuk dineraka karena polisi pasti bakal menuduh lo membunuh Arum" ancamnya lagi, aku membuang napas.
"Oke oke berapa yang lo inginkan, asal lo bisa menutup mulut b******k lo itu" kataku tajam.
"Dua Ratus Juta tunai!!!, besok kita bertemu disini lagi.... Kalo lo ingkar, gue akan kirim rekaman suara ini ke kantor polisi dan Galih" aku melihatnya memegang ponsel dan aku mendengar suaraku yang direkamnya tadi, kepalaku langsung berputar dan kakiku yang bergetar membuatku salah tingkah. Tuhan apa ini saatnya aku berkata jujur?. AKu melihat Benny pergi dengan tawa liciknya yang berhasil mengancamku, kepalaku kian berputar dan sepertinya aku mulai tidak kuat menahan tubuhku. Pandanganku menghitam dan tak lama aku merasakan dinginnya lantai dikulit tubuhku.
****
Tbc