Rayya tidak punya tempat tujuan. Setidaknya untuk saat ini.
Ia tidak bisa kembali ke rumah keluarganya karena satu alasan besar yang masih bercokol di hatinya. Dan ia tidak punya tempat tinggal lain. Satu-satunya tempat yang ada dalam pikirannya adalah hotel ini.
Hotel ini bukan hanya sekedar hotel bintang lima belaka. Melainkan, hotel yang masih menjadi favoritnya ketika ingin menyendiri saat sebelum menikah dengan Harris. Dan kini ia kembali lagi dengan suasana hati yang tak jauh berbeda.
Rayya kembali menenggak minumannya saat berada di bar and lounge yang melantunkan musik jazz dan hanya terdapat beberapa pengunjung saja. Tadi malam ia mengalami kesulitan tidur dan ia berharap dengan bantuan wine ini bisa membuatnya tidur nyenyak tanpa dibayang-bayangi oleh Harris dan apa yang terakhir kali pria itu perbuat kepada dirinya.
Bukan berarti Rayya menyesal karena telah meninggalkan pria itu. Tentu bukan. Malahan ia sendiri heran kenapa ia masih mau memberikan kesempatan kedua kepada pria itu untuk membuktikan ucapannya.
Tapi, bukan berarti juga segala jenis perasaannya terhadap Harris langsung sirna begitu saja. Maka dari itu, Rayya perlu sedikit dorongan minuman berjenis wine agar bisa membuatnya tertidur malam ini.
“Benar-benar lima tahun yang terbuang sia-sia,” gumam Rayya kesal.
Setengah jam kemudian, Rayya berjalan keluar. Berniat untuk kembali ke kamarnya. Efek alkohol sudah menyebar ke seluruh tubuhnya. Sudah lama ia tidak menyentuh minuman itu sehingga toleransinya menjadi rendah.
Sekuat tenaga Rayya berjalan meski harus terhuyung-huyung. Dirinya seperti berjalan di atas kapal yang sedang terombang-ambing ombak besar.
Kepalanya terasa berat tapi tubuhnya terasa ringan. Sebuah kombinasi yang aneh. Bahkan Rayya sampai tidak menyadari bahwa ia sudah kehilangan keseimbangan ketika ada seseorang yang merengkuhnya sebelum kepalanya menghantam lantai.
‘Siapa pria ini? Tampak tidak asing.’
***
Sudah berhari-hari, Baskara berada di hotel dengan penjagaan ketat. Untuk sementara waktu, ia tidak bisa kembali ke rumah atau bahkan ke apartemen pribadi miliknya karena dikhawatirkan para wartawan ada yang nekat hanya demi mendapatkan berita langsung dari mulutnya.
Malam itu, sesudah bertemu dengan Risjad, sahabat karibnya yang merangkap menjadi rekan bisnisnya, Baskara tampak berjalan keluar dengan santai karena hasil dari bisnis kecil-kecilan yang sedang ia jalankan itu tampak membuahkan hasil yang bagus.
“Setidaknya ada satu kabar baik di tengah kabar buruk yang melandanya.”
Lorong yang menghubungkan antara bar and lounge menuju lift yang terletak di ujung tampak sepi. Hanya ada satu orang wanita yang sempat ia lihat sebelumnya saat menemui temannya di bar.
Wanita itu tampak sendirian. Pundaknya tertunduk lemas dan jalannya terlihat sedikit sempoyongan. Berbeda dengan Baskara yang memang tidak menyentuh minuman beralkohol selama mengobrol dengan temannya.
Baskara tadinya tidak ingin terlalu memperhatikannya. Namun, ketika wanita itu sudah berhasil menuju lift dan menekan tombolnya hingga lift itu terbuka dalam keadaan kosong. Langkahnya kembali terhuyung dan ia jelas-jelas sudah kehilangan keseimbangan.
Baskara yang sudah berada dekat wanita itu pun dengan sigap menahan tubuh mungilnya sebelum menyentuh lantai.
“Are you okay?” tanya Baskara dengan suara baritonnya yang menyiratkan kekhawatiran itu.
Wanita itu mendongak dan kini Baskara bisa melihat dengan jelas wajah wanita yang berumur kisaran akhir 20-an sedang menatap dan meneliti wajahnya.
Wanita itu adalah Rayya. Yang baru saja menghabiskan beberapa saat di bar and lounge untuk menenangkan pikirannya yang terlalu berisik.
“Sorry,” jawab Rayya kemudian berusaha melepaskan diri dari rangkulan Baskara yang menahan bobot tubuhnya.
Kepalanya yang terasa pening membuatnya mengerang dan kembali terhuyung.
“Sepertinya kamu butuh bantuan.” Baskara kembali menahannya dan menyandarkan tubuh mungil itu ke dinding yang ada di belakangnya.
“I’m ok, jangan khawatirkan aku.”
Ia kembali melangkah dan memencet tombol lift yang untungnya langsung terbuka. Tapi keseimbangannya tampak tidak memihak kepadanya. Rayya tersandung dan kepalanya terbentur sisi pintu lift yang masih terbuka.
“Aduh!” Rayya mengaduh kesakitan dan mengelus keningnya.
Baskara langsung merengkuh bahu Rayya dan membantunya berdiri tegak kemudian membimbingnya memasuki lift dan beberapa saat kemudian pintu lift tertutup.
“Kamu mau ke lantai berapa?”
Rayya menoleh dan menatap Baskara heran. Kemudian tubuhnya menggeliat, berusaha untuk kembali melepaskan diri dari Baskara.
Pria itu mendesah dan membiarkan Rayya bertopang pada kakinya sendiri yang hanya bertahan selama beberapa detik. Kemudian ia pasrah menyandarkan tubuhnya pada sisi lift.
“Kamarmu. Lantai berapa? Apakah kamu seorang diri atau ada yang menemani?”
Rayya menyipitkan matanya. “Jangan berusaha menggodaku.”
“Jangan salah paham. Kalau bukan karena tidak ada orang lain selain aku. Aku akan mengabaikanmu.”
“Kalau begitu kenapa bertanya apa aku sendirian atau sedang orang lain?”
“Untuk menentukan langkah yang selanjutnya. Kalau kamu sedang bersama orang lain, cepat telepon dan katakan kamu ada disini. Aku akan menunggu sampai orang itu datang.”
“Jangan pedulikan aku. Aku bisa mengurus diriku sendiri.”
“Yakin? Untuk berdiri saja kamu nggak sanggup.” Pria itu mengangkat dagunya menunjuk posisi Rayya yang setengah bertumpu pada dinding lift.
Rayya mendesah kesal.
“Kalau kamu masih khawatir, aku hanya akan mengantarkanmu keluar dari lift di lantai tempat kamarmu berada dan melihatmu dari jauh sampai kamu benar-benar masuk ke kamar.”
Rayya masih terdiam.
“Jangan sampai ada berita seorang wanita mengalami cedera berat hanya karena terjatuh karena mabuk dan terlihat aku mengabaikanmu sebelumnya.”
“Jangan berlebihan.”
“Cepat sebutkan lantai berapa?”
“Dua puluh tiga.”
Ia menekan tombol 23 dan lift melaju ke atas. Selama beberapa detik keheningan menyelimuti mereka. Rayya sudah tampak terpejam sepenuhnya dan tubuhnya sudah hampir terjatuh. Dengan gesit ia menangkap tubuh Rayya yang kali ini tidak memberontak sama sekali.
Lift terbuka beberapa saat kemudian.
“Hei, kita sudah sampai.”
Rayya tidak menjawab, matanya tetap terpejam.
Pria itu kembali mendesah dan memandang sekitarnya yang tampak sepi tidak ada siapapun yang berlalu lalang bahkan staff hotel pun tidak ada. Ia kembali melihat Rayya dengan penuh pertimbangan.
Mau tidak mau. Tidak ada cara yang lain, pikirnya.
“Kalau kamu tidak bangun juga, aku terpaksa menggendongmu sampai ke kamarmu. Jangan berteriak apalagi memukulku, oke?” Baskara kembali menggendong Rayya ke dalam pelukannya dan mulai berjalan melewati lorong panjang tanpa kesulitan sedikitpun.
“Berapa nomor kamarnya?”
Rayya hanya menjawab dengan gumaman tidak jelas. Tapi tangannya menunjuk ke sebuah kamar yang letaknya tak jauh.
“Apa? Katakan lagi, kurang jelas.”
“Dua… tiga… nol… tiga…” Rayya bergumam pelan.
“Baiklah, keluarkan kunci aksesnya.”
Rayya tidak menjawab lagi ketika Baskara sudah tepat berada di depan pintu kamarnya. Pria itu berdecak pelan lalu menurunkan Rayya dan mendudukkannya di atas lantai dengan hati-hati.
Matanya tertuju pada tas kecil yang tersampir di tubuh Rayya yang mungil dan menunggu reaksinya. Rayya masih berupaya merogoh tasnya dan tampak cukup kesulitan.
“Biar aku bantu ambilkan.”
Begitu menemukan benda pipih berlogo hotel dan membuka pintu. Setelah pintu terbuka pria itu kembali mengangkat tubuh Rayya memasuki kamar.
***