Ada rasa membuncah saat aku tahu jika si Rumah Belanda mulai melunak. Ternyata benar, sekeras dan sekejam apapun seorang ibu, ia akan tetap luluh demi kebahagiaan anaknya. Ya mungkin demikian pula dengan si Rumah Belanda. Akhirnya ia menyerah pada kami. "Sani, kapan kamu mau pindah ke rumah ini lagi?" Pak Adit memelukku dari belakang. Meniup lembut leher belakangku. Geli. "Kenapa harus pindah?" tanyaku. "Lho, kan sekarang kita sudah bersama lagi." Pak Adit menghirup rambutku. Untung saja aku sudah keramas. "Kita bersama lagi tapi belum menikah, Pak." Serumah lagi dengannya memang menyenangkan, tapi bahaya juga. Kemarin saja beberapa kali hampir kelabasan. "Kalau begitu, secepatnya kita harus menikah." "Menikah gak sesederhana itu, Pak. Harus persiapan. Apalagi saya belum sidang." P