Hana tersenyum dalam hati melihat bibir Ray sekarang belepotan dengan kotoran ayam tetangga. Puas sekali dia melihat tampang Ray yang terlihat jijik namun masih tetap mencium sandal kotor itu.
'Kenapa Hana tidak membalas ciumanku? Kenapa dia pasrah begini? Rasanya kurang jeder bila tanpa perlawanan.'
Saat bibir Ray bergerak maju, dia merasakan menyentuh sisi kasar seperti parutan. Apakah bibir lembut Hana sekasar ini? Dia pun membuka mata.
Akh! Ray tersentak kaget dalam jeritan jijik setelah melihat dirinya salah mencium. Bukan Hana yang dia cium, melainkan mencium sesuatu di luar imajinasinya.
Ray mengusap kasar bibirnya setelah tahu yang menempel di bibirnya bukanlah lipstik Hana, melainkan kotoran ayam yang baunya menyengat hidung sampai membuatnya ingin muntah. Ini sama artinya dia mencium b****g ayam, bukan? Menjijikkan sekali! Terlanjur dia menikmati, rupanya bukan bibir Hana yang dia reguk, tapi sandal dengan kotoran ayam.
Hoek! Ray merasa perutnya mual sekali bagai diaduk dan hampir muntah. Bau tak sedap itu juga bekasnya bukannya hilang dari bibir, dia malah meratakannya sampai separuh wajah.
"Hana, tega sekali kamu padaku. Kenapa kamu tak memberikan racun saja untukku? Itu akan lebih baik." ucap Ray dengan memelas.
Hana sejak tadi tertawa tak bisa berhenti sampai mulas perutnya dibuat melihat tampang menyedihkan Ray saat ini. "Terserah! Kamu pikir kamu bisa merasakan bibirku dengan bekas bibirmu yang sudah berulang kali dicium wanita lain? Berharap saja! Bagaimana, enak bukan?"
Ray merasa makan kotoran ayam saja saat bicara. Sumpah demi apapun. Sekarang perutnya semakin mual dan tak bisa ditahan lagi.
Hoek! Ray muntah di tempat karena tak tahan dengan aroma menyengat kotoran di muka yang mungkin saja tertelan walaupun sedikit. Rasanya seluruh tubuhnya penuh dengan kotoran menjijikkan ini.
Tanpa bicara lagi dia pun berlari pergi dari rumah Hana.
"Kuharap kamu jera. Aku tahu terlalu sadis padamu. Tapi itu harus kamu rasakan sebagai akibatnya setelah membuatku sakit hati." Hana benar-benar puas melihat Ray yang masih muntah di jalan raya sana.
Dia melipat tangan di depan dengan puas lalu masuk ke rumah.
***
"Paket!" Suara Gavin menyapa dan berhenti di depan sebuah rumah.
Pria bermata tegas ini membawa sebuah paket sembari menunggu penerima paket keluar dari rumah. Beberapa kali dia menatap motor yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri. Tas wadah paket yang tersampir di motor terlihat hampir kosong.
Seorang wanita berlari keluar dari rumah setelah seseorang membunyikan bel yang kemudian membuka pagar dengan cepat.
"Terima kasih, Mas." Wanita tadi menerima paket yang diulurkan Gavin.
"Minta tolong berikan ulasan yang bagus ya, Mbak." Bagi Gavin ulasan untuknya sangat penting sekali. Itu sebagai penilaian dirinya yang juga berpengaruh untuk ekspedisi nya.
"Siap, Mas."
Gavin kembali ke motor. Dia melihat isi tas. Masih ada lima paket tersisa yang harus dia kirim. Dengan menarik napas panjang, Gavin melaju motor untuk mengirim sisa paket hari ini. Dia harus selesaikan tugasnya hari ini agar bisa bersantai setelahnya.
Lima paket sudah terkirim. Kini Gavin mau kembali ke kantor. Di tengah jalan, dia berpapasan dengan seorang pria yang kondisinya mengenaskan. Kotor dan bau mirip kotoran ayam dengan wajah berantakan.
"Kenapa pria itu naik motor dalam keadaan kotor? Apa dia seorang peternak ayam mungkin, ya?" gumamnya iba. Dia sama sekali tidak tahu bila pria itu adalah eks tunangan Hana.
Terdengar suara bel motor dari arah belakang motor Gavin.
Gavin kemudian melihat kaca spion. Dari sana terlihat seorang pengendara sepeda motor yang juga membawa tas berisikan paket rupanya.
Motor itu kemudian menambah kecepatan dan melaju berjajar di samping Gavin. "Kamu sudah selesai antar paket apa masih ada yang mau diantar lagi?"
"Kamu rupanya. Aku sudah selesai, kamu sendiri?"
"Sama. Mau ngobrol santai sebentar?"
"Boleh, dimana?"
"Di depan sana saja." Kurir itu menunjuk sebuah kafe.
Gavin dan kurir tadi kemudian menuju ke sebuah kafe yang berjarak 200 meter dari tempat mereka berada. Mereka kopi darat di sana. Sesama kurir meski berasal dari beda ekspedisi biasanya kalau bertemu sering kopi darat.
Gavin hanya pesan minuman saja, soda gembira untuk membersihkan paru-parunya, meski dia tidak mempunyai riwayat penyakit paru-paru.
"Bagaimana pekerjaanmu di kantor ekspedisi tempatmu bekerja?" lontar Gavin sembari menyesap pelan cairan berwarna merah jambu itu.
"Ya begini-begini saja jadi kurir. Kapan ya dapat kerjaan lebih mapan daripada kurir?"
"Ya, semua kerjaan sama menurutku. Bila kamu pandai mengatur uang maka akan sisa banyak. Gaji banyak pun bila kamu konsumtif, akan langsung habis."
"Mana mungkin nggak habis, kecuali bila uangnya dilaminating."
Gavin dan temannya ini kemudian tertawa bersamaan meski candaan mereka garing. Hanya dengan tertawa bersama seperti ini bisa mengurangi beban dan lelah usai bekerja.
Sampai satu jam ke depan Gavin bercanda dengan temannya ini.
***
Terdengar suara bel yang berdenting nyaring di kontrakan Hana. Baru saja wanita ini setengah jam berbaring di sofa malas, sudah harus menegakkan diri kembali menuju ke pintu. Siapa lagi kali ini yang datang? Dia berharap itu bukan tamu menyebalkan seperti sebelumnya. Dia berharap itu bukan ibunya. Bila ibunya datang pasti dia akan pusing.
"Sebentar," ucap Hana kala bel kembali ditekan nyaring. Entah siapa sebenarnya yang datang, kenapa tak berhenti membunyikan bel seperti ini.
Hana cepat menarik pintu sebelum bel kembali ditekan yang membuat telinganya berdengung nyeri.
"Hana, lama sekali kamu membuka pintu."
"Ibu?" pekik Hana terhenyak mundur seketika melihat siapa yang datang. Dia pikir yang datang adalah tamu dari mana begitu, rupanya yang datang tamu yang sangat tak diinginkan kehadirannya sama sekali. "Ada apa Ibu mendadak datang?" Rasanya Hana ingin kembali menutup pintunya rapat agar wanita yang banyak bicara dan panjang kalau ngomong ini tak masuk ke rumah.
"Ibu mampir ke sini setelah berkunjung ke rumah Anggrek." Tanpa dipersilahkan masuk oleh Hana, ibunya ini masuk begitu saja kemudian menutup pintu dengan santai meninggalkan Hana yang masih bengong.
"Memang ada masalah dengan Anggrek, Bu, sampai berkunjung ke sana?"
Biasanya ibunya ini memang sering berkunjung ke rumah Hana dan Anggrek. Entah namanya itu perhatian ataukah kepo, tapi ibunya ini selalu tahu bila putrinya ada masalah. Apakah mungkin Anggrek berulah?
"Adikmu itu habis ketipu online. Makanya Ibu mau cek apa hal itu benar?"
"Ketipu online, bagaimana bisa?" Saat Hana menginap saja, Anggrek tidak cerita padanya bila sedang ada masalah. Atau mungkin adiknya itu menyembunyikan masalah darinya agar tidak terendus oleh ibunya?
"Ya, bisa saja. Namanya juga orang. Nyatanya kamu saja yang dosen bisa ketipu. Apalagi adikmu yang hanya seorang guru TK. Lebih parah lagi." Hana hanya diam saja karena dirinya mulai disebut. Dia tak mau saja masalah adiknya itu kemudian merembet pada dirinya yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali.
Sebenarnya dia penasaran dengan masalah adiknya,ketipu online jenis apa? Bagaimana kronologisnya? Dan ketipu berapa? Semua pertanyaan itu hanya berputar di kepalanya saja.
"Hana, apa kamu bisa bantu adikmu? Kamu bisa mengembalikan uang adikmu yang hilang?"
"Biasanya kalau ketipu online uangnya sudah amblas tak bisa kembali, Bu."
"Dicoba saja belum kamu sudah bilang begitu. Bila kamu tak bisa bantu coba sekarang panggil pacar barumu itu untuk membantu adikmu. Barangkali saja dia bisa."
Mata Hana melebar seketika. Kenapa sekarang ibunya ini minta dirinya memanggil Gavin? Apa urusannya? Dia sendiri bahkan tidak tahu apa Gavin bisa membantunya? Dia ragu akan hal itu!
"Coba telepon sekarang dan panggil dia datang kemari," ulang ibunya Hana dengan tatapan mengintimidasi yang tak bisa dibantah lagi dan sangat mendominasi. Dia tidak tahu Ibunya sebenarnya ingin mengetes Gavin, seperti apa pria itu? Apakah dia layak menjadi menantunya?
Terpaksa, Hana pun mengambil ponsel kemudian menghubungi nomor Gavin.
"Halo, Gav ... apa kamu bisa datang ke rumahku sekarang? Ada masalah, tolong aku," pintanya dengan suara serak.