"Sial! Kenapa sekarang ganti aku yang ketiban sial?" racau Gavin kesal. Dia tak mengejar kekasihnya karena menurutnya percuma bila dikejar pun keputusan itu tetap tak bisa dirubah lagi. Watak kekasihnya keras.
Dalam sekejap dia putus dengan kekasihnya. Dan dalam waktu singkat pula memainkan peran sebagai kekasih bayaran Hana selama sebulan. Padahal dia tak kekurangan uang, tapi kenapa sampai rela membantu Hana meski dia sendiri tidak tahu alasannya, bersedia membantu. Rumit sekali masalah hidupnya sekarang.
Gavin tidak mood sekarang berada lama di kafe. Padahal dia niatnya ingin agak lama berada di tempat ini baru pulang. Tapi setelah apa yang terjadi, mood-nya hancur.
Dia pun memutuskan untuk pulang saja mengendarai motor matic menuju ke kantor ekspedisi.
"Pak, ada apa seperti habis terkena topan badai. Apa ketemu mendung sebelumnya?" sapa seorang staf di kantor.
"Tidak ada apa-apa. Hanya lelah saja," sangkal Gavin tak ingin ada yang mengetahui kemelut hatinya saat ini, siapapun itu.
Gavin terus berjalan menuju ke ruangan. Hatinya masih sedih dengan putusnya hubungan cintanya. Selama ini dia memang sibuk dengan urusan pekerjaan. Urusan di kantor ini sungguh menyita waktunya. Ini kantor baru dan dia banyak menghabiskan waktu untuk kantor ini.
Gavin kemudian duduk di kursi yang ada di sudut ruangan. Dia hanya menunduk dengan wajah sendu meratapi nasibnya.
***
"Lihat, itu Miss Hana," tunjuk seorang dosen dari kejauhan di tempat parkir.
"Dosen Pelakor datang. Dia mukanya tebal, terlihat seperti tidak melakukan dosa apa-apa, padahal dia sudah merusak rumah tangga orang."
"Anak muda sekarang, suka bertindak semaunya, tak memakai otaknya dulu sebelum melakukan sesuatu."
Dosen wanita yang bergosip itu bungkam seketika kala Hana berjalan keluar dari tempat parkir.
'Pasti mereka membicarakanku. Kenapa tatapannya berbeda saat aku datang?'
Hana sekilas mengamati wajah empat dosen yang kini berjalan di sampingnya. Dia yakin mereka membicarakan dirinya karena ada perubahan mendadak pada sikap dan mimik mereka.
"Bu, hari apa ada senam bersama?" tanya Hana pelan.
Di kampus ini setiap hari Jumat diadakan acara rutin senam bersama. Semua dosen dan staf di kampus ini bisa mengikuti. Tapi terkadang satu kali dalam sebulan libur, karena instruktur senamnya berhalangan.
"Oh, itu, tidak tahu. Aku baru juga datang. Bagaimana bila lihat sendiri di lokasi?" Seorang dosen menjawab.
"Baik, Bu. Duluan bila begitu." Hana bersikap seperti biasanya seperti tanpa ada masalah. Dia pun berlari ke lapangan basket, tempat biasanya senam bersama diadakan.
Dia malas berlama-lama dengan mereka yang bermuka dua. Mereka benar lebih senior daripada dirinya, tapi sikap mereka tak ubahnya seperti anak SMA yang suka bergosip menggunjingkan keburukan seseorang.
Hana tiba di lapangan basket. Di sana ada suara bombastis sound system yang memanggil peserta senam seperti biasanya. Namun stage yang biasa dipakai oleh instruktur kosong.
"Miss Hana, kemari." Tedy melambaikan tangan melihat Hana.
Hana pun mendekat pelan pada dosen Psikologi itu. "Pak, hari ini senamnya kosong?"
"Kelihatannya begitu, Miss."
Hana menatap temannya ini yang terlihat biasa saja seperti biasanya, tidak seperti dosen lain yang memberinya tatapan tajam.
"Ada apa Miss, menatapku begitu? Jangan bilang kamu naksir aku, Miss." Nada bicara Tedy terdengar tenang tanpa penekanan dan emosi.
Hana bengong sejenak dengan perkataan Tedy, lalu tertawa setelahnya. "Kalau aku naksir kamu bagaimana, Pak? Maukah kamu menikah denganku?"
Suara Hana dan tatapannya terlihat serius. Membuat Tedy yang awalnya bercanda kini takut menatap Hana. Entah, dosen kewarganegaraan ini sedang dalam mode bercanda apa serius? Baginya yang terdengar tadi seperti serius.
"Miss, kamu tahu aku ini suka makan jengkol. Aku takut saja kamu tidak tahan bila pergi ke kamar mandi dan ada bau jengkol tertinggal di sana sebagai residu."
"Kalau begitu mudah, tinggal kasih pengharum ruangan saja hilang baunya." Hana terlihat makin tersenyum lebar.
Sedangkan Tedy terlihat semakin mengkerut takut. Takut bila Hana benar-benar serius dengan ucapannya. Jelas, dia tidak siap sama sekali bila harus menikah dengan Hana.
"Pak Tedy, aku hanya bercanda. Kenapa menganggapnya serius begitu?" Hana tersenyuk lebar.
Tedy yang wajahnya pucat mendadak terlihat tenang kembali seperti sebelumnya dan ikut tertawa bersama Hana.
***
"Ada apa dia mengajakku bertemu? Kemarin aku sudah bertemu dengannya." Hana mengakhiri panggilan yang masuk dari Gavin.
Padahal baru saja dia masuk ke rumah setelah pulang dari kampus. Inginnya dia menyandarkan punggungnya sejenak, namun karena telepon dari Gavin, dia pun kembali duduk di motor kemudian melaju motor itu menuju ke sebuah taman kota.
"Dimana dia? Kenapa mengajak ketemu di sini, bukan di kafe saja?" Hana berjalan masuk ke taman, menoleh ke sekitar mencari keberadaan Gavin.
"Hey, di sini!" Gavin dari kejauhan melihat kedatangan Hana, melambaikan tangan.
"Di sana, kamu rupanya." Hana mengunci pandangan pada tangan yang melambai padanya kemudian bergeser ke sana.
Gavin duduk di sebuah bangku kosong dekat kolam ikan, Hana kemudian duduk di sampingnya masih lengkap membawa tas ranselnya. Hari ini dia mengajar beberapa kelas, jadi bawaannya agak banyak dan tak muat bila membawa tas biasa.
"Ada apa?" Hana bertanya dengan sebelah alis terangkat.
Terlihat wajah murung Gavin yang sejak tadi diam, sekarang bicara.
"Kemarin waktu kita bicara di kafe, kekasihku melihat kita dan salah paham lalu memutusku."
"Lantas?"
"Dia salah paham denganmu." Terlihat letupan api di mata Gavin seolah protes pada Hana juga meminta pertanggungjawaban.
Hana menghela napas berat. Dia sendiri ada masalah menumpuk, bila dia diminta untuk menyelesaikan masalah Gavin, dia angkat tangan. Lagipula dia tak kenal dengan kekasih Gavin.
"Bila aku menjelaskan menurutmu dia akan semakin salah paham tidak?" tanggap Hana bukan bermaksud lari dari masalah.
"Sudah terlambat. Biarlah, putus ya putus." Gavin terlihat lemas berdaya. Sebenarnya dia datang kemari memanggil Hana bukan untuk meminta pertanggungjawaban padanya, tapi untuk sekadar mendengar ceritanya, untuk mendengarkan keluh kesah, juga menghiburnya.
"Lantas bila tak ada yang bisa kulakukan untukmu kenapa kamu memanggilku kemari?" tandas Hana semakin bingung dengan kedua bahu terangkat ke atas.
Gavin tak menjawab hanya menatap Hana dengan wajah muram saja. Membuat Hana jadi bingung sendiri.
'Apa sebenarnya yang dia minta?'
Hana putar otak mencoba memahami maksud dari Gavin memanggilnya kemari. Dia pun kemudian berpikiran bila pria itu hanya ingin memanfaatkan dirinya. Salahkah dia berpikiran demikian? Gavin hanyalah seorang kurir. Gajinya pasti tidak terlalu besar, meski gaji dosen sendiri tidak wah tapi masih lebih baik.
Hana mengeluarkan dompet dari dalam tas. Dia ingat berapa isinya dalam dompet tanpa perlu menghitungnya. Dia juga hafal berapa saja yang dikeluarkan belum lama ini.
Hana mengambil lima lembar uang kertas dari dalam dompetnya kemudian diserahkan pada Gavin. "Ambil ini untuk tambahan. Aku tidak tahu bagaimana solusi untuk masalahmu. Kuharap ini bisa sedikit membantu."
"Apa ini?" Gavin menatap lembaran uang di tangannya. Sebenarnya bila dipikir jumlah yang diberikan Hana saat ini sama jumlahnya dengan kekurangan p********n paket yang dibatalkan sebelumnya.
Bagaimana mengatakannya sekarang? Sama saja Hana melunasi p********n paket, bukan bayaran untuknya.
Melihat reaksi Gavin yang masih cengo tanpa suara, membuat Hana kembali dilanda rasa bingung. "Apakah kurang segitu? Itu adalah DP, sisanya aku lunasi nanti satu minggu sebelum kesepakatan kita berakhir."
Gavin masih terdiam menatap lembaran uang kertas di tangannya. Bingung mau diapakan uang itu. Dilema. Mau dikembalikan sayang, mau dibawa kurang.
Hana pun mulai kesal dengan aksi Gavin, tinggal ambil dan simpan uangnya saja tak buru-buru dilakukan. Dia pun dengan cepat mengambil lagi uang di tangan Gavin.
Di saat dia mau memasukkannya kembali dalam dompet, Gavin menahannya. "Kenapa diambil kembali?"
"Bukannya kamu tidak mau?"
"Siapa bilang aku tidak mau. Aku hanya berpikir berapa kurangnya yang harus kamu bayarkan padaku."
Saat itu terjadi aksi tarik-menarik uang antara Gavin dan Hana tepat di saat angin berembus kencang. Hana melepaskan tangan, namun Nahas uang tertiup angin hingga beterbangan.