11 : Aric Pergi

1477 Kata
“Apa saran kamu Ko, apa yang harus aku lakukan?” tanya Arsen, ia sedang bersama Chiko di ruang kantor hotel di lantai dua. Mereka sedang membicarakan masalah Arsen dan Zahira. “Bagaimana kalau bos bicara dengannya sambil makan malam, tidak di hotel ini karena pasti akan menjadi gossip bagi semua pegawai.” “Begitu? Kalau dia tidak mau?” “Memang sepertinya sulit pak, tapi hanya ini jalan satu satunya, dari yang pak Arsen katakan saya menebak dia bukan gadis matrealistis, dan bukan seperti gadis jaman sekarang yang bisa dibujuk dengan barang mewah. Tapi itu satu satunya cara pak, agar perasaan pak Arsen tidak dikejar rasa bersalah.” “Kamu benar, kamu atur saja kapan dan dimana aku dan dia makan malam dan bicara.” “Siap bos, saya yakin dia juga tidak suka ke restoran mewah, jadi saya akan booking restoran tingkat menengah saja.” “Terserah kamu, hari ini ada meeting Ko?” “Meeting dengan direksi jam sebelas siang disambung makan siang bersama.” Arsen melirik jam dinding digital di ruangannya, masih jam sepuluh pagi, berarti satu jam lagi.” “Baiklah, aku cek and ricek laporan beberapa divisi dulu.” “Baik pak, saya kembali ke meja saya.” Chiko kemudian berjalan keluar dari ruangan Arsen dan duduk di mejanya yang berada di luar ruangan Arsen. Oooo---oooO Arsen duduk di ruang tamu rumahnya, di hadapannya duduk Nilam, mantan istrinya bersama kekasihnya. “Aku mau Aric ikut aku,” ucap Nilam memulai pembicaraan. “Pengadilan memutuskan hak asuh anak anak ada ditanganku Nilam.” “Its not fair mas, aku juga ibu mereka yang berhak atas Kiki dan Aric, jadi aku mau Aric ikut aku, dia paling dekat denganku.” Arsen menghela napas panjang, ia tidak bisa melepaskan Aric tinggal bersama Nilam, apalagi Nilam tinggal dengan kekasihnya tanpa ikatan pernikahan. “Aku tetap tidak mengijinkan,” ucap Arsen bersikeras. “Aku mau tinggal sama mama pa.” Arsen dan Nilam menoleh, mereka melihat Arsen sudah menarik koper bersamanya, wajah Nilam terlihat senang. “Aric… sayang… kamu mau tinggal sama mama? See mas, Aric mau tinggal sama aku.” “Tipu daya apa yang kamu pakai untuk membujuknya,” geram Arsen tak menyangka Aric malah sudah berkemas untuk tinggal bersama Nilam, walau ia tidak rela tapi Aric yang menginginkannya dan ia tidak mau Aric sedih saat ia menolak keinginannya. Arsen berdiri dan mendekati Aric, membelai kepala putranya itu. “Aric benar mau tinggal sama mama? Tidak ada yang memaksa Aric kan?” “Tidak ada pa, Aric kangen mama, Aric mau tinggal sama mama.” “Baiklah jika itu keinginan Aric, tapi rumah ini selalu terbuka jika Aric mau tinggal lagi disini, oke.” “Iya pa, makasih sudah mengerti keinginan Aric.” Setelah Aric dan Nilam pergi, Arsen masih duduk di ruang tamu, matanya menerawang, ia benar benar merasa kehilangan walau Aric bukan pergi jauh melainkan tinggal bersama mamanya. Tiba tiba Kirana berjalan masuk dalam ruang tamu dan duduk di depan Arsen. “Papa kenapa mengijinkan Aric tinggal sama mama? Seharusnya papa mencegah Aric.” “Sayang… papa hanya ingin Aric bahagia, jika Aric bahagia dengan tinggal sama mama, papa rela, walau sebenarnya hati papa tidak rela, tapi demi kebahagiaan Aric. Papa tidak ingin Aric tertekan dan itu tidak baik untuk mentalnya sayang, kamu mengerti kan?” “Iya pa, Kiki mengerti.” “Ya sudah, kamu istirahat, sudah malam.” Arsen mondar mandir dalam kamarnya, sesekali ia melihat keluar melalui jendela kamarnya. Arsen mengkhawatirkan keadaan Aric, sudah hampir dua minggu Aric tinggal bersama mamanya dan dalam dua minggu itu pula ponsel Aric tidak dapat dihubungi sama sekali. Kirana juga tidak bisa menghubungi adiknya, saat Arsen menghubungi Nilam, Nilam berdalih jika Aric sibuk belajar dan memperlihatkan video Aric sedang belajar, tapi tetap saja Arsen khawatir. Dua minggu ini Arsen tidak tenang dalam bekerja juga ia tidur dengan tidak nyenyak, itu karena ia memikirkan Aric, ia bahkan meminta Chiko menunda rencana pertemuan dengan Zahira sebelum ia tenang melepaskan Aric bersama mamanya. Oooo---oooO Zahira menggeliat dan menutup telinganya dengan bantal saat ponselnya berdering dengan nyaring, beberapa kali ponselnya berdering hingga ia putuskan bangun dari tidurnya. Zahira melihat jam dinding dan melihat waktu masih jam sebelas malam dan dia baru saja tidur. “Ya Tuhan… siapa sih malam malam begini telepon, ganggu orang tidur aja,” gerutu Zahira, ia meraih ponselnya yang terus berdering dan melihat siapa yang menguhubungi terus menerus diwaktu hampir Tengah malam begini. Nama di layar ponselnya membuat kantuk Zahira menghilang seketika, nama Aric tertera jelas di layar ponsel Zahira. “Aric? Kenapa dia menghubungi aku di jam seperti ini. Halo Aric…” “Kak Ai… bisa jemput aku?” “Hah? Kamu dimana? seharusnya kamu sudah tidur jam segini, besok kan sekolah.” Tidak ada jawaban dari Aric di ujung telepon, hanya bunyi napas Aric saja yang terdengar. Zahira segera melompat dari ranjang hingga ia hampir jatuh, ia meraih jaketnya dan berlari menuruni tangga. Suasana rumahnya sepi karena Zalita sudah tidur dan kedua orangtua mereka sedang ke Bali karena akan membuka cabang restoran di Denpasar. “Mau kemana non malam malam begini?” tanya security rumah Zahira yang membukakan pintu gerbang agar mobil Zahira bisa keluar, Zahira memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi ke arah tempat yang di share oleh Aric. Zahira tahu Aric dalam masalah, tapi Zahira bingung kenapa lokasi yang dikirim Aric sangat jauh dengan lokasi rumahnya dimana Zahira pernah mengantrakan Aric pulang. Bahkan lokasi tersebut lebih dekat dengan rumah Zahira, dalam waktu dua puluh lima menit Zahira sudah sampai di lokasi yang diberikan Aric. Zahira menepikan mobilnya dan mencari keberadaan Aric, Zahira melihat Aric berdiri di tepi jalan sebuah gedung apartemen. Dengan langkah lebar Zahira mendekati Aric yang membawa tas punggung besar. “Aric… kamu kenapa ada disini?” “Maafkan Aric kak Ai… kakak harus datang kesini menjemputku.” “Tidak apa apa, kamu kenapa? kenapa kamu disini?” “Aric…” “Ya udah kita bicara di mobil,” Zahira menarik tangan Aric berjalan menuju mobilnya. Zahira melajukan mobilnya perlahan meninggalkan area tersebut, ia melirik Aric yang diam dan meremas kedua tangannya. “Kak Ai antar kamu pulang ya?” “Kak… bisa tidak kita ke rumah kakak aja dulu.” Zahira menoleh, ia bingung kenapa Aric malah ingin ke rumahnya bukan pulang ke rumah papanya. “Ya sudah, baiklah.” Zahira melajukan mobilnya menuju rumahnya. “Maaf sudah merepotkan kak Ai.” “Tidak apa apa Aric, its fine,” jawab Zahira sambil menguap karena ia memang mengantuk. “Sebenarnya Aric dua minggu ini tinggal sama mama Aric.” “Oh Aric tinggal sama mama, pasti seneng dong ya, waktu itu kan Aric bilang kangen mama.” “Seharusnya, tapi… semua tidak seperti bayangan Aric kak, tidak seperti yang Aric harapkan, tidak seperti yang Aric inginkan.” “Semua hal tidak akan selalu sesuai keinginan kita Ric, itu hukum alam.” “Iya kak.” ~~~ ~~~ “Kak… kata bibik ada anak kecil tidur di kamar tamu? Siapa?” “Itu Aric.” “Aric siapa?” “Anak yang pernah kakak ceritakan itu, yang kaka kantar pulang.” “Oh yang rumahnya Pondok Indah?” “He em.” “Bagaimana ceritanya?” “Panjang ceritanya, kamu kuliah pagi?” “Aku libur hari ini.” “Ya udah titip Aric ya, aku juga belum begitu paham apa masalah Aric, tapi nanti aku mau cari tahu.” “Kasih tahu orangtuanya dulu kalau dia disini, takutnya mereka lapor polisi.” “Iya nanti, aku berangkat kerja dulu.” “Hati hati.” Zahira bergegas keluar dari rumah dan berangkat kerja, sampai di hotel ia lupa untuk menghubungi Kirana sebagai kakak Aric jika Aric ada di rumahnya. Apalagi pekerjaan Zahira cukup banyak hari ini. Sedangkan Arsen sedang fokus memeriksa berkas dari Chiko, ponsel Arsen berbunyi, sebuah panggilan dari Nilam. Takut terjadi sesuatu dengan Aric, Arsen segera menjawab telepon dari Nilam. “Halo…” “Kamu ini bagaimana sih mas Arsen, kenapa kamu jemput Aric?” “Siapa yang menjemput Aric? Dia kan mau tinggal sama kamu, kenapa aku menjemputnya?” “Kamu jangan bercanda mas, Aric sama kamu kan?” “Apa? Aric tidak ada di apartemen kamu? Lalu kemana dia?” “Aku pikir kamu jemput dia kembali ke rumah kamu.” “Gila… lalu kemana Aric Nilam?” “Aku tidak tahu, pagi ini dia sudah tidak ada di kamarnya, kopernya masih disini.” “Astaga Nilam, pantas saja aku selalu khawatir kepada Aric, ternyata kekhawatiran aku sangat beralasan. Makanya aku ragu mengijinkan Aric tinggal sama kamu, cari dia sampai ketemu atau aku akan membuatmu menyesal,” Arsen segera mengakhir sambungan teleponnya dengan Nilam, wajahnya terlihat khawatir, kemana Aric pergi, kenapa dia tidak pulang. Aric sudah cukup besar untuk pulang sendiri naik taksi, dompet digital juga tidak sedikit di ponsel Aric, Arsen berusaha menghubungi Aric tapi ponsel Aric mati membuat Arsen semakin khawatir. Lynagabielangga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN