6 : Tanggung Jawab

1616 Kata
“Kenapa?” mobilnya Cadillac XTS Limousine Alita…” “Apa??!! Ya Tuhan kakak…” “Kamu mengerti kan kenapa aku terlihat bingung, aku menganggap yang terjadi padaku dan Reno sudah takdir Tuhan, bagaimanapun aku berusaha mempertahankan hubungan, kami tidak ditakdirkan satu sama lain. Walau pada kenyataannya aku sedih dan terpukul tapi entah kenapa aku juga senang.” “Senang? Kenapa?” “Karena Tuhan sudah menyelamatkan aku dari pria b******k seperti Reno.” “Aku tahu pasti berat bagi kakak, kapan kakak berencana mnengatakan semua pada papa, lalu ganti rugi kerusakan limo itu bagaimana?” tanya Zalita. “Mau tidak mau, mungkin kakak akan menjual mobil aja.” “Tapi kak, itu hasil kakak menabung beberapa tahun dari hasil keringat kakak.” “Tapi kakak harus tetap bertanggung jawab kan Alita, kakak tidak mau papa tahu tentang hal ini dan malah ikut menanggung ganti rugi. Tolong rahasiakan ini ya, untuk mengatakan tentang Reno pada mama dan papa, kakak akan mencari waktu yang tepat.” “Baiklah terserah kakak saja, ayo turun, papa memintaku naik untuk mengajak kakak makan malam, mama dan papa sudah menunggu.” “Iya baiklah ayo.” Zahira dan Zalita kemudian keluar dari kamar Zahira dan turun ke ruang makan. Oooo---oooO Arsen duduk di meja makan untuk sarapan pagi, dua orang art sedang menghidangkan beberapa menu sarapan pagi di meja makan yang cukup besar itu. Seorang gadis memakai seragam SMA berjalan masuk dalam ruang makan kemudian duduk di depan Arsen yang tersenyum melihat kedatangan putrinya yang beranjak dewasa. “Selamat pagi Kirana sayang,” sapa Arsen. “Pagi pa,” Kirana meminta art mengambilkan menu sarapan pagi untuknya. Tak berapa lama kemudian seorang anak laki laki yang berusia 10 tahun masuk dalam ruang makan, ia duduk di samping Kirana. “Selamat pagi pa,” sapa anak itu yang adalah Alaric, anak kedua Arsen, mereka memang tinggal bersama Arsen, tidak ikut bersama Nilam. “Hari ini, papa antar kalian ya ke sekolah?” Kirana dan Alaric yang sedang makan menghentikan makan mereka dan menatap Arsen bingung, keduanya memang sudah terbiasa diantarkan oleh sopir saat pergi ke sekolah, walau sekolah keduanya satu arah, mereka diantarkan oleh dua mobil berbeda. Dari sejak kedua orangtua mereka bersama sampai berpisah, sejak awal mereka sudah mandiri saat berangkat sekolah tidak pernah diantar Arsen dan Nilam. Kesibukan Arsen membuat waktunya bersama keluarga sangat terbatas, bahkan terkadang untuk sarapan pagi bersama saja jarang tapi semenjak berpisah dengan Nilam, Arsen menyempatkan sarapan pagi bersama anak anaknya jika ia sedang ada di rumah. Wajah Kirana dan Alaric berbinar, untuk pertama kalinya papanya menawarkan diri mengantarkan mereka ke sekolah, tentu saja keduanya sangat senang. “Papa serius?” tanya Kirana dengan wajah senang. “Tentu saja, selesaikan sarapan kalian.” Arsen senang bisa melihat binar bahagia di wajah anak anaknya, dulu ia sudah melewatkan kebersamaan dengan anak anaknya karena kesibukan pekerjaan, tapi kini ia tidak ingin putra putrinya tumbuh ditangan sopir, art dan pengurus rumah tangga. Sebagai seorang ayah ia sudah lalai tapi ia akan memperbaikinya mulai sekarang, anak anaknya masih butuh kasih sayangnya walau tanpa kasih sayang seorang ibu. Setelah selesai sarapan Arsen bersama Kirana dan Alaric keluar dari rumah besar mereka, menuju mobil Arsen yang sudah siap. Dua mobil untuk mengantar Kirana dan Alaric juga sudah siap dengan sopir masing masing yang menunggu di samping mobil. “Kalian di rumah saja, saya yang antar anak anak sekolah, kalian nanti yang jemput,” ucap Arsen. “Baik pak,” ucap di driver bersamaan. Arsen akan membuka pintu mobil untuk anak anaknya. “Mobil papa kenapa?” tanya Kirana. Arsen ingat akan mobil yang ditabrak seorang gadis, dan ia mengenal gadis itu. “Diserempet mobil orang, ayo masuk. Ko kamu duduk di depan ya,” pinta Arsen karena ia ingin me time dan ngobrol bersama anak anaknya.” “Baik pak.” Arsen dan kedua anaknya masuk dalam mobil, Arsen duduk berhadapan dengan Kirana dan Alaric. “Bagaimana sekolah kalian, ada masalah di sekolah?” “Pa… kamu tanya aku seperti bertanya tentang pekerjaan ke bawahan papa,” protes Kirana. Arsen tergelak, “maafkan papa ya Ki… dari dulu papa kurang memperhatikan kalian, papa ingin jadi ayah yang baik buat kalian, ingin dekat dengan kalian.” “Kiki senang papa mau melakukan ini.” “Aric juga senang pa,” tambah Alaric. “Teman Kiki semua baik pa, tidak ada yang bully Kiki karena papa dan mama bercerai. Tidak ada yang mengejek Kiki juga, mereka baik baik dan perhatian.” “Kalau Aric, suka berkelahi nggak di sekolah?” “kadang kadang pa,” jawab Alaric. Arsen menatap Alaric, Kirana juga. “Kamu sering berkelahi?” tanya Kirana. “Bukan berkelahi sih pa, hanya beda pendapat, terkadang saling dorong hehehe…” “Tapi kamu tidak terluka kan?” tanya Arsen khawatir. “Tidak apa apa kok pa, Aric kan laki lagi, Tangguh seperti papa,” jawab Alaric. Arsen dan Kirana tertawa mendengar ucapan Alaric yang seperti orang dewasa. “Papa harap jika kalian ada masalah, atau apapun, kalian bisa bicarakan dengan papa, sesibuk apapun papa, papa akan berusaha mendengarkan.” “Janji?” Kirana neyodorkan jari kelingkingnya pada Arsen, Arsen menatap Kirana, kemudian menatap tangan Kirana. “Apa ini?” tanya Arsen. “Papa harus melakukan seperti ini,” jawab Alaric menautkan jari kelingkingnya ke jari kelingking kakaknya, “itu artinya papa sudah berjanji dan harus menepatinya.” Alaric menarik tangannya kembali. Arsen kemudian menautkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Kirana, “papa janji, sama Kiki juga Aric papa akan menyempatkan waktu untuk kalian betapa sibuknya papa.” Wajah Kirana dan Alaric terlihat bahagia, dalam seumur hidup mereka, papa mereka tidak pernah sekalipun memberikan waktu untuk bicara seperti ini, bahkan kebersamaan mereka bisa dihitung dengan jari, begitu juga dengan mama mereka yang sibuk pergi sana sini. Setelah mengantarkan kedua anaknya, Arsen kemudian langsung menuju hotel. Mobil terparkir di tempat khusus yang terletak agak kedalam area hotel, Arsen keluar dari mobil, begitu pula Chiko. Tanpa sengaja Chiko melihat bekas tabrakan di sisi kiri mobil hingga ia ingat Zahira yang sudah menabrak mobil tersebut. “Pak Arsen, saya mau memanggil gadis yang menabrak mobil ini, walau saya tahu dia akan kesulitan mengganti kerugian, tapi dia tetap harus bertanggung jawab atas perbuatannya,” ucap Chiko. Arsen terhenyak, ia teringat akan perbuatannya, dan apakah ia bertanggung jawab karena merampas kesucian Zahira? Arsen merasa tertampar dengan ucapan Chiko. “Sudahlah Ko, tidak perlu, ada asuransi yang bisa kita klaimkan.” “Tapi pak… walau dia karyawan hotel ini, tetap saja harus ada pembicaraan tentang ini.” “Terserah kamu, tapi jangan minta ganti rugi padanya, katakan saja jika hati hati kalau mengemudi jangan melamun.” “Pak Arsen terlalu baik,” gerutu Chiko. “Aku tidak sebaik itu Ko,” gumam Arsen, perasaan bersalah kembali menggelayut dalam hati dan pikirannya, bagaimana tidak, di era modern seperti ini, kebanyakan gadis sudah tidak memperdulikan tentang kesucian dan keperawanan tapi Zahira masih menjaganya walau ia kehilangan itu sekarang. Arsen melangkah meninggalkan Chiko tapi baru beberapa langkah, Arsen menghentikan langkahnya dan berbalik. “Hari ini kita ada meeting diluar?” tanya Arsen. “Tidak ada pak, kita stay di hotel ini, besok baru sidak hotel cabang.” “Oke… mmm… jam istirahat, minta gadis itu menemuiku, aku mau bicara dengannya,” ucap Arsen, ia kemudian melanjutkan langkahnya walau dalam hatinya bingung apakah yang ia lakukan ini sudah benar. Tentu dirinya harus bicara dengan Zahira tentang apa yang terjadi dan minta maaf, dan jika memungkinkan jika Zahira minta ganti rugi, akan ia berikan. Chiko kemudian berjalan masuk dalam lobby hotel dan menuju office dimana ruang kerja Zahira dan teman temannya berada, ia masuk dan mencari keberadaan Zahira. Chiko menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan dan melihat Zahira sedang fokus bekerja di depan laptop. “Pak Chiko? Ada yang bisa saya bantu pak?” tanya Sasa yang melihat kedatangan Chiko, meja Sasa memang paling dekat dengan pintu masuk office. “Saya mau bicara dengan Zahira…” “Oh Zahira, sebentar, silahkan duduk dulu pak Chiko,” ucap Sasa. “Tidak perlu, saya hanya sebentar.” “Baiklah.” Sasa kemudian berjalan menuju meja Zahira dan berdiri di samping meja. “Ra… kamu ada urusan apa dengan pak Chiko?” tanya Sasa. “Pak Chiko? Pak Chiko siapa?” “Pak Chiko asisten pak Arsen, pemilik hotel ini,” ucap Sasa. Zahira berpikir sejenak dan teringat kejadian kemarin, ia menepuk dahinya, “Ya Tuhan…iya…” “Ada apa?” “Aku kemarin menabrak mobil pak Arsen Sa.” “Ya Tuhan Zahira, pasti pak Chiko mau minta ganti rugi sama kamu.” “Ya begitulah.” “Ya sudah temui dia itu,” Sasa menunjuk ke pintu office. Jantung Zahira berdegup kencang, membayangkan nilai yang harus ia ganti rugi dan membayangkan akan kehilangan mobilnya. Zahira berdiri dan berjalan menuju pintu office dimana Chiko menunggunya. “Pak Chiko mencari saya?” tanya Zahira hati hati. “Iya, jam istirahat kamu datang ke ruangan pak Arsen.” “Saya?” “Iya, sepertinya beliau mau membicarakan ganti rugi.” “Baiklah pak.” Chiko kemudian meninggalkan office, wajah Zahira terlihat muram, ia berjalan kembali ke meja kerjanya dan sudah membayangkan betapa marahnya pemilik hotel itu kepadanya. “Kenapa Ra?” tanya Nada yang melihat Zahira bicara dengan Chiko. “Hhhh…” “Kok malah menghela napas sih?” “Zahira menabrak mobil pak Arsen, pasti pak Chiko mau Zahira mengganti perbaikannya,” sambar Sasa. “What? Kamu menabrak mobil pak Arsen? Kapan?” “Kemarin.” “Kamu tahu harga mobil pak Arsen berapa? Ratusan milyar dan biaya perbaikan tidak mungkin satu atau dua juta Ra, kamu tidak hati hati saat mengemudi?” “Iya aku tahu, tapi bagaimanapun juga aku harus bertanggung jawab kan Da?” Lynagabrielangga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN