7 : Sakit Hati

1392 Kata
“Iya sih Ra, semoga saja pak Arsen mengerti, kita hanya pegawai kecil, gaji juga tidak lebih dari sepuluh juta karena kita hanya staf office biasa.” Zahira kembali ke mejanya, ia kembali bekerja tapi ia tak dapat konsentrasi lagi, apalagi memikirkan ia akan kena marah habis habisan oleh atasannya. Zahira tetap mengerjakan pekerjaannya walau dengan hati gelisah, ia merasa waktu sangat cepat berlalu dan jam istirahat sudah tiba. “Ra… ayo lunch, ada café baru di seberang hotel ini, pasti ada promo, yuk,” ajak Nada. “Nggak deh Da, aku ada urusan,” jawab Zahira. “Bertemu pak Chiko ya?” Zahira hanya tersenyum walau tidak mengiyakan ucapan Nada. “Ya udah deh aku sama teman teman lunch dulu ya, kamu juga jangan lupa makan siang. Semoga saja kamu tidak ganti rugi terlalu besar.” “Iya.” Zahira menghela napas panjang, ia berdiri dari mejanya dan berjalan keluar dari office. Ia berjalan menuju lift dan akan naik ke lantai dua karena ruangan manager, kepala divisi dan pimpinan ada di lantai dua. Lantai dua tidak ada kamar sama sekali, hanya dipakai untuk ruang para petinggi hotel. Dalam lift, jantung Zahira berdetak tak beraturan, memikirkan konsekuensi apa yang akan ia terima saat bertemu pemilik hotel yang mobilnya sudah ia tabrak. Tapi Zahira bingung kenapa pemilik hotel malah mau bertemu dengannya, bukan menentukan ganti rugi dan meminta Chiko, asistennya untuk mengurus semuanya malah langsung menemuinya. Zahira takut ia dirinya akan dipecat tapi ia berpikir lagi, tidak mungkin ia dipecat karena yang ia lakukan bukan masalah pekerjaan karena ia sudah melakukan pekerjaannya dengan baik. Pintu lift terbuka di lantai dua, dengan perasaan was was Zahira keluar dari lift dan menyusuri Lorong. Ia memang tidak pernah naik ke lantai dua karena ia hanya staf biasa, hanya pimpinan tim saja yang akan memberikan laporan pada kepala divisi masing masing dan kepala tim di office tempat Zahira bekerja adalah Bella. Zahira menghentikan langkahnya saat sebuah ruangan terbuka, ia terkejut melihat Reno dan Anita keluar dari ruangan tersebut yang adalah ruangan manager, ruang kerja Reno. Reno dan Anita pun tak kalah terkejut melihat Zahira ada di lantai dua, dimana tidak seharusnya dia berada disana. “Kamu mau kemana Ra?” tanya Anita sinis, “mau cari ruangan Reno ya? Ingat dia sekarang suami aku, jangan coba coba deh mendekatinya lagi.” “Kalian jangan salah sangka aku hanya…” “Zahira…” Zahira, Anita dan Reno menoleh pada sumber suara, Chiko berjalan mendekati mereka dan berhenti dihadapan mereka. “Pak Chiko…” “Anda mau makan siang pak Reno, bu Anita?” tanya Chiko. “Benar pak, tapi kami bertemu staff ini yang tidak seharusnya ada di lantai dua ini yang khusus direksi,” ucap Anita melirik sinis pada Zahira. “Dia ada urusan dengan saya, mari,” ajak Chiko kemudian berbalik dan berjalan, Zahira buru buru mengikuti langkah Chiko sebelum mendengar ucapan pedas lainnya dari Anita. “Kamu ada masalah apa dengan mereka? Sepertinya mereka tidak menyukai kamu,” tanya Chiko saat Zahira sudah berjalan di belakangnya. “Hanya masa lalu pak Chiko.” “Masalah di masalalu jangan sampai mempengaruhi kinerja kamu,” ucap Chiko kemudian. Zahira tertegun, ia membenarkan ucapan Chiko, ia memang masih sangat sakit hati pada Reno dan Anita tapi seharusnya ia tidak menyimpan rasa dendam itu. “Saya usahakan pak.” Chiko berhenti di depan pintu sebuah ruangan, pintu ruangan itu berbeda dengan pintu pintu ruangan lain yang dilewati oleh Zahira dan Chiko. Pintunya terbuat dari kayu ukir yang indah, dengan tulisan di depan pintunya, Direktur(founder). “Kamu masuk, pak Arsen sudah menunggu kamu.” “Hah…mmm… pak Chiko tidak ikut masuk?” tanya Zahira, ada rasa takut menyelinap dalam hatinya. Ia belum pernah bertemu pemilik hotel, ia takut jika pemilik hotel benar benar memecatnya. “Tidak, saya ada pekerjaan,” Chiko berjalan menuju meja yang memang ada di depan ruangan itu, meja dengan lemari berkas di belakangnya, dan di depan meja da sofa set dan display refrigerator yang berisi minuman dingin. Dengan gemetar, Zahira membuka pintu besar ruangan Arsen dan melangkah masuk. Sedangkan Chiko masih berpikir kenapa Arsen malah mau bertemu dengan Zahira, masalah kecil seperti ini biasanya dirinya lah yang meng handle, tidak perlu Arsen yang turun tangan karena Arsen sudah sangat sibuk dengan pekerjaannya. “Apakah pak Arsen mengenal gadis ini? Atau ada motif lain?” gumam Chiko. Sedangkan Zahira berjalan ke tengan ruangan, ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Baru kali ini ia masuk dalam ruangan pemilik hotel, dan mungkin saja ia satu satunya staff yang datang ke ruangan pemilik hotel. Zahira tampak kagum, ruangan itu sangat luas, lebih luas dari ruang office dimana ia dan teman temannya bekerja. Meja kerja yang besar, sofa set, mini bar, hiasan hiasan mahal, hal yang membuat Zahira kagum. Sebuah pintu terbuka dan seorang pria berjalan keluar dari ruangan itu, awalnya Zahira bersikap biasa saja karena ia tahu itu adalah pemilik hotel dimana ia bekerja. Zahira tersenyum dan mengangguk tanda hormat tapi saat menyadari wajah pria itu yang familiar, jantungnya seperti mencelos keluar dari tempatnya karena menyadari siapa pria itu sebenarnya. “Anda….pak Arsen….” Suara Zahira bergetar, ia bingung, takut dan perasaan yang tidak dapat ia ungkapkan. “Hai… kamu ingat aku?” Arsen berdiri tak jauh dari tempat Zahira berdiri. Zahira diam, lidahnya kelu, ia tak dapat berkata kata mendapati kenyataan ia sudah tidur dengan pimpinan dimana ia bekerja. “Kamu pasti terkejut, aku awalnya juga seperti itu tapi aku harus menyelesaikan masalah ini dan meluruskannya. Bisa kita bicara tentang… malam itu?” “Tidaaak,” pekik Zahira sembari menutup telinganya dan memejamkan matanya, ia shock. “Aku tahu kamu shock, tapi kita tetap harus bicara,” Arsen berjalan menuju lemari es dan mengambil satu botol air mineral dan sebotol minuman rasa coklat, ia kemudian berjalan mendekati Zahira. “Minum dulu,” Arsen menyodorkan sebotol minuman rasa coklat pada Zahira, Zahira membuka matanya dan melihat Arsen berdiri dihadapannya menyodorkan sebotol minuman. Dengan ragu ia menerimanya sedangkan Arsen kemudian berjalan menuju sofa set dan duduk disana. Zahira membuka tutup botol minuman rasa coklat itu dan meminumnya beberapa teguk, perasaannya sedikit tenang, ia memejamkan matanya sejenak, memang benar ia dan Arsen harus meluruskan semuanya dan menyelesaikan masalah agar tidak ada yang mengganjal nantinya di kemudian hari. Zahira kemudian melangkah menuju sofa set dan duduk di hadapan Arsen. “Waktu itu…jika kamu mau aku bertanggung jawab, akan aku lakukan,” ucap Arsen. Zahira menatap Arsen tak percaya, ia sudah mendengar tentang perceraian pria itu dengan mantan istrinya yang sudah belasan tahu, dan perceraian itu baru beberapa bulan. “Bertanggung jawab seperti apa maksud pak Arsen?” tanya Zahira. “Tentu saja kita menikah, aku tahu saat itu you’re still virgin….” Zahira mendelik mendengar ucapan Arsen yang frontal, dan Zahira merinding mengingat sudah kehilanga keperawanannya. “So… jika kamu ingin aku menikahimu, ayo menikah.” “Hah… apa anda pikir semudah itu.” “Lalu… kamu mau apa? Uang?” Zahira kembali dibuat shock dengan ucapan Arsen. “Baiklah… saya jadi inga tapa tujuan saya datang ke ruangan anda ini, untuk ganti rugi kerusakan mobil pak Arsen. Berapa yang harus saya ganti?” “Tidak perlu…” “Tidak perlu? Maksud anda tidak perlu itu apa?” “Itu… e…” Zahira berdiri dengan marah, “saya mengerti, anda menghargai keperawanan saya dengan uang, dan untuk mengganti kerugian mobil anda, begitu bukan?” “Bukan itu maksudku?” “Apa lagi kalau bukan itu.” “Aku minta maaf atas kekhilafan aku waktu itu, jika kamu minta ganti rugi, silahkan, apapun, berapapun.” “See… anda menghargai kesucian saya dengan uang.” “Aku tidak bermaksud begitu, tapi…” “Sudah jelas maksud anda seperti itu! Anda dengar pak Arsen yang terhormat, saya tahu waktu itu anda khilaf, itu juga kesalahan saya karena mabuk sendirian, jadi saya anggap semuanya kecelakaan yang tidak perlu diingat selamanya, anggap kita tidak pernah bertemu dan melakukan itu. Anggap kejadian itu tidak pernah ada, dan tolong hitung kerugian kerusakan mobil anda, ratusan juta sekalipun akan saya bayar,” ucap Zahira berapi api dan keluar dari ruangan Arsen dengan wajah emosi. Zahira sakit hati jika Arsen menghargai kesuciannya dengan uang, uang sebanyak apapun tidak akan bisa mengganti semua yang terjadi, sakit hati karena ditinggalkan Reno dan kehilangan kegadisannya tidak sebanding dengan penghinaan yang dilakukan Arsen saat ini yang menghina dirinya dengan berusaha “membeli” keperawanannya. Lynagabrielangga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN