“Aku seperti pernah melihat mobil yang berpapasan dengan kita tadi Ko, tapi mobil siapa, seperti familiar,” ucap Arsen.
Chiko melirik spion melihat mobil yang dimaksudkan oleh Arsen, “Saya tidak lihat apa apa pak.”
“Memang, mobilnya sudah belok keluar kompleks ini.” Wajah Arsen terlihat khawatir.
“Kenapa pak Arsen masih terlihat khawatir? Bukankah Aric sudah pulang dengan keadaan baik baik saja.”
“Tentu saja aku senang Ko, hanya saja masih ada sesuatu mengganjal, tentang hal lain.”
“Saya sudah pernah bilang, pak Arsen boleh bercerita tentang masalah bapak, siapa tahu saya bisa membantu.”
“Iya, nanti ayo bicara, aku juga bingung menyelesaikan masalahku yang satu itu. Kita temui Aric dulu.”
Mobil sport Arsen yang dikemudikan Chiko berbelok ke area rumah, security yang melihat mobil Arsen segera membuka gerbang tinggi rumah Arsen agar mobil bisa masuk. Setelah Chiko menghentikan mobil, Arsen segera keluar dan bergegas masuk dalam rumah mencari keberadaan Alaric.
“Aric dimana bik?”
“Den Aric naik ke kamarnya bersama non Kirana tuan.”
“Makasih bik.” Arsen kemudian berjalan menaiki tangga menuju lantai dua dimana kamar Kirana dan Aric berada. Arsen berjalan cepat menuju kamar Aric dan masuk, ia melihat kedua anaknya duduk di sofa set kamar Aric.
“Syukurlah kamu baik baik saja sayang,” ucap Arsen mendekati Aric dan duduk di sampingnya, ia memeluk Aric. Alaric masih memakai pakaian sekolahnya dan belum berganti pakaian, Arsen melihat tidak ada tanda tanda rasa takut di wajah putranya itu.
“Kamu pulang naik apa nak?”
“Aric diantar kak Aira pa,” Kirana ikut menjawab.
“Kak Aira? Siapa itu?”
“Orang yang Aric temui di dekat minimarket pa, lalu dia menawarkan untuk mengantarkan Aric pulang.”
“Hah? Serius kamu bertemu orang sebaik itu, apakah dia minta sesuatu sebagai jasa mengantarkan Aric pulang.”
“Tidak pa, malah dia menolak saat Kiki ajak masuk, dia langsung pulang katanya ditunggu keluarganya di rumah.”
“Oh…”
“Tidak semua orang yang melakukan sesuatu minta balasan pa, papa jangan negative thinking pada orang lain, masih banyk orang yang tulus membantu,” ucap Kirana.
Arsen tersenyum, “ucapan kamu sudah seperti orang dewasa sayang.”
Kirana terkekeh.
“Ya sudah Aric mandi dulu, kalau lelah, biar bibik antar makanan Aric ke kamar. Kiki sayang ayo turun untuk makan malam.”
“Siap pa.”
Arsen dan Kirana keluar dari kamar Aric dan turun menuju ruang makan.
~~~
~~~
Arsen sudah memakai pakaian santai, celana pendek bahan dan T shirt press body yang menunjukkan badannya yang sempurna, ia berjalan menuju sebuah ruangan di samping ruang keluarga yang adalah ruang kerjanya saat di rumah.
Disana sudah menunggu Chiko, sebagai asisten, jam kerja Chiko memang tidak menentu, ia harus stand by saat Arsen membutuhkannya. Di rumahnya itu Arsen memberikan fasilitas kamar tidur untuk Chiko jika Chiko terlalu malam untuk pulang, ia bisa menempati kamar tersebut.
“Kamu sudah makan malam Ko? Tadi kenapa tidak makan malam sama aku dan Kirana?”
“Tadi saya sedang menyiapkan berkas yang harus pak Arsen periksa, sudah saya tata dimeja,” tunjuk Chiko pada berkas berkas di meja Arsen.
“Banyak sekali,” Arsen memijit dahinya, wajahnya masih tampak rasa khawatir.
“Bapak boleh cerita pada saya agar lebih meringankan hati dan pikiran pak Arsen.”
Arsen menghela napas panjang, ia menatap Chiko yang sedang berdiri di samping meja kerjanya.
“Duduklah.”
Chiko kemudian duduk di hadapan Arsen, ia melihat bosnya itu dengan seksama. Tidak mungkin Arsen masih galau akan perceraiannya karena itu sudah beberapa bulan lalu, apalagi Nilam selingkuh dan Arsen tidak mentolelir perselingkuhan.
“Aku sudah tidur dengan seorang gadis Ko,” ucap Arsen tiba tiba.
“Apa?! Siapa pak?”
“Kamu tidak akan menyangkanya.”
“Bagaimana kejadiannya?”
“Kamu ingat saat aku pergi ke night club waktu itu? Aku tidak jadi minum karena bertemu seorang gadis yang sedang mabuk di area parkir dan bodohnya aku malah membawanya ke kamar hotel tempatku biasa menginap di De Kirana Hotels. Aku…aku tidak bisa menahan diri saat, entah setan apa yang merasuki aku saat itu.” Arsen mengacak rambutnya frustasi.
“Gadis itu minta pertanggungjawaban pak Arsen?”
Arsen menggeleng, “parahnya lagi, dia masih perawan Ko.”
Chiko mengernyitkan keningnya, “dari mana pak Arsen tahu?”
“Aku lihat sendiri, darah di sprei dimana ia terbaring walau saat aku bangun dia sudah pergi. Tapi masalahnya dia… dia pegawai kita di hotel.”
“Apa?!”
“Benar… dan kamu tahu siapa dia? Dia gadis yang menabrak mobilku.”
“Zahira?”
“Iya, dia.”
“Sangat kebetulan sekali, apakah dia menabrak mobil pak Arsen karena marah karena kalian tidur bersama?”
“Sepertinya tidak karena saat dia menemuiku ia sangat terkejut, aku baru mengatakan sekarang karena aku bingung. Saat aku memintamu untuk dia menemuiku, aku sudah tahu dia yang tidur bersamaku.”
“Lalu bagaimana selanjutnya pak?”
“Long story short, sepertinya aku menyakiti hatinya Ko.”
“Maksud pak Arsen?”
“Aku menawarkan uang sebagai ganti rugi untuknya, dan dia tidak perlu membayar ganti rugi akan kerusakan mobilku. Apa aku salah melakukan itu?”
Chiko berpikir sejenak, “Saya juga tidak tahu pak, saya tidak mengenal Zahira secara pribadi, dan tidak tahu sifatnya tapi dari yang pak Arsen katakan mungkin dia memang sakit hati, harga dirinya terluka karena ucapan anda. Walau jaman sekarang sudah jarang gadis yang masih menjaga keperawananya, tapi mungkin Zahira ini salah satu gadis yang masih mempertahankan itu untuk diserahkan pada suaminya kelak.”
“Dan aku sudah menghancurkan impiannya itu,” ucap Arsen pelan.
“Mungkin pak Arsen harus bicara dengan Zahira, yang pertama jelas pak Arsena harus minta maaf, dan selanjutnya terserah Zahira apa yang dia inginkan.”
“Menurut kamu begitu?”
“Ya itu jalan satu satunya untuk menyelesaikan masalah pak Arsen.”
“Aku rasa juga begitu, tapi setelah ucapanku itu apakah dia masih mau bertemu denganku untuk bicara?”
“Saya yang akan atur semuanya, pak Arsen jangan khawatir, saya ada untuk menyelesaikan masalah anda.”
“Thanks Ko, walau masalah ini belum selesai, paling tidak aku sudah merasa sedikit tenang.”
“Kalau begitu saya pamit pulang pak.”
“Iya.”
Oooo---oooO
Zahira membuka matanya, hari sudah siang karena matahari sudah bersinar terang. Walau kamar Zahira masih tertutup tirai tapi Cahaya matahari sudah menerobos ke dalam kamar, Bukannya bangun Zahira menarik selimutnya dan kembali tidur. Apalagi sekarang adalah weekend, Zahira lebih sering menghabiskan waktu weekend di rumah karena ia ingin istirahat dari pekerjaannya yang melelahkan juga kemacetan jalan raya yang setiap hari ia temui.
Tirai jendela kamarnya terbuka membuat Zahira memejamkan matanya kembali, ia membuka matanya perlahan dan melihat mamanya yang membuka tirai.
“Mama… kenapa dibuka?”
“Kamu anak gadis, bukannya bangun pagi, malah masih tidur, ayo bangun Ra, sudah siang.”
“Ma… ini kan weekend, Aira mau istirahat.”
“Sarapan pagi dulu baru tidur lagi Ra.”
“Mama ah…” Zahira kemudian duduk, ia menggeliat. Mama Zahira mematikan AC dan membuka jendela kamar Zahira, memang setiap hari mama Zahira akan membuka semua jendela di rumah agar sirkulasi udara di rumah itu berganti.
“Sana mandi lalu turun sarapan pagi.”
“Papa dan Alita sudah di meja makan?”
“Papa ada urusan ke Surabaya, semalam berangkat, kalau Alita pergi ke car free day.”
“Yaaa kenapa Alita nggak ajak Aira sih?”
“Kamu molor mulu begitu, sudah sana mandi, mama tunggu di ruang makan,” bu Mirna kemudian keluar dari kamar Zahira, Zahira bangkit dari ranjang dan masuk dalam kamar mandi.
Saat keluar dari kamar mandi, Zahira mendengar ponselnya berdering, masih memakai handuk yang melingkar di tubuhnya, Zahira kemudian mendekati meja nakas dimana ponselnya ia letakkan. Ia melihat nomor tak dikenal menghubunginya, ia menatap layar ponselnya hingga panggilan itu berakhir.
Zahira kemudian berganti pakaian dengan pakaian santai, hotpants dan T shirt, ponselnya kembali berdering, Zahira meraih ponselnya, masih nomor yang sama.
“Ck… siapa sih niat banget,” Zahira kemudian menggeser tombol hijau di layar ponselnya.
“Halo…”
“Kak Aira?”
“Iya… siapa ya?”
“Ini aku Kiki…”
“Kiki… kiki siapa?” Zahira mengingat ingat, ia tidak memiliki teman bernama Kiki.
“Ini aku kak, Kirana, kakaknya Aric, ingat kan?”
“Kiki… Kirana… Aric…” Zahira masih mengingat ingat nama yang baru disebutnya.
“Oh Aric, yang kemarin aku antar pulang?”
“Iya kak akhirnya ingat. Kak Aira ada acara hari ini?”
“Mmmm… nggak ada sih Kirana…”
“Panggil Kiki aja kak.”
“Iya Kiki, aku nggak ada acara, kenapa?”
“Bagus, bisa kita bertemu?”
“Hah? Untuk apa?”
“Mmm… Aric mau ajak makan siang sebagai ucapan terima kasih, bisa ya kak?”
“Gimana ya Ki… kaka Aira malas mengemudi, macet.”
“Kita jemput kok, jadi kak Aira tidak perlu mengemudi sendiri.”
Zahira berpikir sejenak, Tidak ada salahnya ia mengikuti keinginan Aric dan kakaknya, ia juga sudah lama tidak jalan jalan di weekend.
“Memangnya mau kemana?”
“Ke mall, atau kak Aira mau ke tempat lain?”
“Pantai lucu kali ya.”
“Oke deh, kita ke Pantai.”
“Tapi kalian tidak perlu jemput deh, aku naik ojol aja, nanti pulangnya baru diantar, gimana?”
“Nggak apa apa nih kak Aira naik ojol?”
“Nggak apa apa lagi, ya udah aku siap siap deh, kamu share location aja deh kita bertemu disana.”
“Oke kak, see you.”
Zahira menatap layar ponselnya yang sudah terputus sambungan telepon dengan Kirana, ia menggelengkan kepalanya, “kenapa putus dari Reno aku malah gaul sama bocil sih,” gumam Zahira.
Zahira kemudian mengganti pakaiannya, ia memakai celana jeans selutut, T shirt dan jaket denim, memasukkan dompet dan ponsel dalam tas kecil dan turun ke ruang makan dimana bu Mirna menunggunya untuk sarapan pagi walau waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi.
Lynagabrielangga.