4. Rahasia di balik Amnesia

1372 Kata
“Apakah Alicia mengalami kecelakaan yang parah? Dari mana ia jatuh? Apakah cukup tinggi?” suara Juan terdengar dingin bercampur marah, langkahnya terhenti ketika hendak keluar, lalu berbalik menghampiri Ana. Diam-diam, Alicia melirik dari balik tatapannya yang kosong, namun segera kembali memasang wajah bingung agar sandiwara amnesianya tidak mencurigakan. “Maaf, Tuan Juan… saya tidak sempat melihat jelas,” jawab Ana dengan suara bergetar. Ia menunduk dalam, tubuhnya kaku karena rasa takut. Juan menatapnya tajam. “Tapi bukankah kamu bilang kepalanya berdarah? Sepertinya jatuh dari tempat yang cukup tinggi.” Ana menelan ludah, suaranya melemah. “Iya, Tuan. Saat itu memang tampak seperti itu.” Mendengar ucapan itu, hati Alicia sedikit lega. Setidaknya, Juan tidak akan langsung mencurigai dirinya. Sandiwara amnesia ini masih aman. Namun, nada Juan kembali meninggi, penuh kegeraman. “Bagaimana bisa hal seperti ini terjadi? Apakah ada rekaman CCTV? Atau mungkin ada seseorang yang dengan sengaja ingin mencelakakan Alicia?” Ana semakin menunduk, kedua tangannya saling menggenggam gelisah. “Maaf, Tuan… di bagian itu memang tidak ada kamera. Tempat itu hanya digunakan sebagai jalan lewat, jadi tidak dipasang CCTV.” Hening seketika melingkupi ruangan. Ana gemetar menahan napas, Juan berdiri tegak dengan wajah dingin penuh selidik. Perlahan, tatapannya bergeser ke arah ranjang. Mata tajam itu berhenti tepat pada Alicia, seakan menembus balik kebingungan yang sedang ia perlihatkan. Alicia menahan napas. Untuk sesaat, ia tidak tahu, apakah Juan benar-benar percaya pada sandiwaranya, atau justru mulai melihat retakan di balik topeng yang ia pakai. Alicia sudah bisa melihat dengan jelas wajah Juan kali ini, ia tidak melihat perubahan berarti pada wajah itu. Hanya beberapa garis tipis yang muncul seiring bertambahnya usia, namun justru membuat Juan terlihat semakin matang dan dewasa. Hening itu terasa menusuk. Alicia bisa merasakan tatapan Juan menancap di dirinya, begitu tajam hingga hampir menyingkap apa yang ia sembunyikan. Jantungnya berdegup lebih kencang, tetapi wajahnya tetap kosong, penuh kebingungan seperti orang yang benar-benar kehilangan ingatan. Jangan sampai goyah! Alicia meneguhkan hati dalam diam. Jika aku ingin bertahan di sisinya, aku harus terus meyakinkan semua orang, terutama Juan, bahwa aku tidak ingat apa-apa. Namun tatapan Juan tidak kunjung beralih. Rasanya seolah pria itu sedang menguliti pikirannya, menunggu celah sekecil apa pun untuk mengungkap kebohongan yang ia bangun. Apa dia mulai curiga? bisik batin Alicia. Atau… justru dia takut jika aku benar-benar akan mengingat masa lalu itu? Alicia menunduk pelan, pura-pura lemah. Tapi di balik kepura-puraannya, ia tahu satu hal, permainan baru saja dimulai, dan lawan di hadapannya bukan orang biasa, melainkan pria yang telah berpengalaman dan sepertinya memiliki kekuasaan. ***** Juan melangkah semakin dekat, langkahnya mantap, sorot matanya tidak pernah lepas dari Alicia. Jantung Alicia berdegup semakin kencang, seolah hendak meledak dari dalam dadanya. Tiba-tiba, tangan Juan terulur cepat, mencengkeram dagu Alicia dan memaksa wajahnya menghadap ke arahnya. Jarak di antara mereka hanya sehela napas. “Pandang aku! Kamu pasti mengenal siapa aku!” titah Juan, suaranya tajam, penuh tekanan. Alicia berusaha keras menahan debaran jantungnya, takut suara itu terdengar hingga ke telinga Juan. Tatapan mata pria itu menghunjam lurus ke matanya, begitu dalam, seakan ingin menembus ke relung hatinya. Perlahan, Alicia menggeleng. Tangannya berusaha menepis genggaman Juan, suaranya lirih namun dipenuhi kepanikan. “Apa maumu? Aku tidak mengenalmu! Jangan sakiti aku!” Dengan tubuh bergetar, Alicia merapatkan diri ke ujung ranjang. Kedua kakinya dipeluk erat, seperti ingin melindungi diri. Tangis pun pecah, deras dan memilukan. Ia menggali bayangan pahit tentang ayahnya yang tewas malam itu, menjadikannya sumber kekuatan untuk membuat tangisannya begitu nyata. Air mata membanjiri wajahnya hanya dalam hitungan detik. Alicia tampak rapuh, seolah benar-benar ketakutan. Sandiwaranya begitu sempurna, sulit dibedakan dari kenyataan. “Temukan aku dengan keluargaku… aku ingin bertemu mereka. Aku mohon!” suara Alicia bergetar, seolah penuh keputusasaan. Ana yang melihat itu menunduk, hatinya teriris. Walau selama ini ia kaku, Alicia sudah seperti bagian dari hidupnya. Perlahan ia mendekat, menyentuh bahu Alicia dengan lembut. “Jangan takut, Alic… kami keluargamu,” ujarnya, berusaha menenangkan. Alicia mengangkat wajahnya, mata tampak bingung dan basah oleh air mata. “Alic? Apakah… itu namaku? Aku tidak mengingat apa pun…” suaranya lirih, nyaris seperti bisikan. Juan yang sejak tadi mengamati setiap gerak-gerik Alicia menahan napasnya. Tatapannya tajam, penuh selidik. Ia menunggu, mungkin ada celah, mungkin ada kepura-puraan. Namun yang terlihat hanyalah seorang gadis dengan wajah pucat, mata kebingungan, dan air mata yang jatuh tanpa henti. Kerutan halus di kening Juan perlahan mengendur. Untuk sesaat, tatapan keras itu berganti dengan keraguan. Ia menarik napas panjang, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Apakah mungkin gadis ini benar-benar kehilangan ingatannya? Sementara itu, Alicia menunduk dalam-dalam, memeluk kedua lututnya. Dalam hatinya ia tersenyum tipis, mengetahui sandiwaranya mulai berhasil. “Apa kata dokter?” tanya Juan dengan tatapan tajam ke arah Ana. Ana menelan ludah, mencoba menenangkan diri. “Kata dokter, Alicia seharusnya sudah tidak apa-apa setelah dirontgen. Tapi… tadi sempat histeris. Aku menduga mungkin Alicia mengalami amnesia, Tuan.” Juan mengerutkan kening. “Apa sebaiknya kita minta dokter periksa sekali lagi?” usul Ana ragu. “Tidak perlu,” potong Juan cepat. “Kalau hasil rontgen baik-baik saja, sebaiknya kita bawa pulang saja.” Ana menatapnya cemas. “Tapi bagaimana dengan amnesianya?” tanyanya hati-hati. Juan menghela napas berat, matanya menyapu sekeliling. “Kamu tahu aku paling tidak suka berada di tempat umum seperti ini,” ujarnya datar, lalu memberi isyarat agar Ana mengikutinya menjauh dari ranjang Alicia. Jelas ia tidak ingin gadis itu mendengar percakapan mereka. Begitu jarak terasa cukup, Juan menurunkan suara. “Kupikir… ada bagusnya juga kalau dia benar-benar amnesia. Setidaknya, dia bisa melupakan kejadian buruk yang pernah menimpanya.” Ana menoleh, bingung. “Jadi sekarang aku bawa dia pulang ke rumah saja?” Juan menggeleng pelan, matanya berkilat penuh kewaspadaan. “Jangan. Aku takut ada yang sengaja ingin mencelakakan Alicia. Kalau tidak, bagaimana mungkin dia bisa tiba-tiba jatuh seperti itu?” Nada suaranya mengeras, jelas menunjukkan rasa curiga. Juan sadar betul ia memiliki banyak musuh di dunia yang digelutinya. “Jadi… apa yang harus kulakukan, Tuan?” Ana bertanya hati-hati. Juan menatapnya lekat. “Mulai sekarang, kau jadi ibunya. Bawa dia ke mansion ku. Kau akan mengisi posisi kepala pelayan di sana, dan semua orang harus mengenalnya sebagai anak angkatmu. Aku ingin Alicia berada di bawah pengawasanku langsung.” Ana menunduk patuh. “Baik, Tuan.” Juan mendekat sedikit, suaranya turun menjadi bisikan penuh tekanan. “Ingat! Jangan pernah memberitahu istriku tentang asal-usul Alicia. Tidak seorang pun boleh tahu.” Ana segera mengangguk, wajahnya penuh kesungguhan. “Baik, Tuan. Jangan khawatir. Aku akan menjaga rahasia ini seutuhnya, sesuai perintah Tuan.” Sejak dulu, Ana memang orang kepercayaan Juan. Itulah alasan ia ditugaskan menjaga Alicia selama ini dan kali ini, tanggung jawabnya baru saja bertambah besar. Di dalam mobil yang melaju tenang, suasana begitu hening. Hanya deru mesin dan sesekali suara napas berat Juan yang terdengar. Ana duduk di depan, sesekali melirik ke kaca spion untuk memastikan Alicia baik-baik saja. Alicia bersandar di kursi belakang, tubuhnya tampak lemah, namun matanya berkilat diam-diam. Senyum tipis terselip di sudut bibirnya. Rencanaku berhasil, batinnya. Juan benar-benar membawanya, dan bukan ke rumah Ana, melainkan ke sebuah tempat yang lebih besar tetapi jauh dari keramaian. Saat mobil berbelok ke arah jalan besar, Alicia melihat gerbang besi tinggi yang megah, dengan hiasan lambang keluarga terpampang jelas. Mobil itu masuk melewati pintu gerbang otomatis yang terbuka lebar. Di hadapannya berdiri sebuah mansion megah, begitu besar dan mewah, memancarkan aura kekuasaan dan rahasia yang tersembunyi. Jantung Alicia berdebar, bukan karena takut, melainkan karena tekadnya semakin membara. Bagaimanapun caranya, aku harus mendekat pada Juan. Dia tidak peduli apa pun risikonya. Mobil berhenti perlahan di pelataran luas. Seorang pelayan membukakan pintu dengan sopan, sementara Juan turun lebih dulu. Ana menyusul dengan langkah hati-hati. Alicia, dengan wajah pura-pura bingung, ikut turun sambil berpura-pura masih lemah. Namun seketika langkahnya terhenti. Di depan pintu mansion, berdiri seorang wanita anggun dengan tatapan dingin. Mata tajam itu langsung mengarah pada Alicia, penuh curiga, seakan ingin menelanjangi rahasia yang disembunyikannya. Di samping wanita itu, seorang pria muda berdiri tegak. Usianya nyaris sebaya dengan Alicia, wajahnya tampan namun sorot matanya tajam dan penuh kesombongan. Senyum tipis yang ia tunjukkan justru terasa menusuk, tatapan yang seakan meremehkan dan menantang sekaligus. Alicia terpaku, hatinya bergemuruh. Ia tahu, permainan baru saja dimulai. Sepertinya bukan hal yang mudah untuk mendekati Juan. Bersambung…
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN