#PART 10 >KEMARAHAN BUNGA ANINDYA<

2080 Kata
Bunga Lilyana lega karna adiknya sudah baik-baik saja, tapi meski demikian, dia tidak akan tinggal diam, takut jika hal buruk terjadi lagi, pada Bunga Lilyana sendiri tidak peduli, tapi jika pada Santos Lilyana?! Kehidupan Bunga tak ada artinya, dia lebih memilih tiada daripada adiknya yang terluka. Malam sudah menampakkan pesonanya, bintang bertaburan di langit dan hewan malam mulai bersenandung memamerkan suara indahnya, desa tempat Bunga tinggal sangatlah sepi, jika malam atau bisa dibilang sore ini, aktifitas warga sudah tidak ada lagi, sepi. Mereka istirahat di rumah masing-masing dan jarang sekali nongkrong atau sekedar keluar malam. Bunga melihat jam di ponsel masih menunjukkan pukul setengah delapan malam, ingin menghubungi Bhadra tapi takut membuatnya tidak nyaman, tapi jika tidak dihubungi ... apa yang akan terjadi pada adiknya nanti?! Berusaha berani, Bunga menghubungi Bhadra, hatinya gelisah sekaligus cemas tak bisa apa-apa memikirkan nasibnya. Mungkin tadi dia masih selamat, jika ada lain kali, Bunga tak mengerti apa yang akan terjadi. "Hallo, kau baik-baik saja?" tanya Bhadra, saat Bunga secara tak sengaja menekan tombol memanggil di salah satu akun pribadi miliknya. "Aku ... " Bunga bingung harus berkata apa?! Memulai darimana?! Pria itu sama sekali tidak mengenalnya. "Video call!" perintah Bhadra, membuat Bunga sedikit merasa keberatan. "Tidak usah, Tuan. Aku ..." "Kenapa?!" sahut Bhadra, tidak sabar ingin melihat wajah Bunga. "Wajahku ..." "Rusak, bukan?! Perlihatkan saja! Aku ingin memeriksanya!" paksa Bhadra, tidak mau dibantah Bunga. "Tapi, Tuan ..." "Lakukan saja, Bunga! Sekarang!" perintah Bhadra, tenang. "Bagaimana kalau ..." "Se-ka-rang!!" tegas Bhadra, mau tidak mau Bunga memperlihatkan wajahnya yang penuh luka, pria itu gemetar hatinya. "Sangat cantik," pikirnya. "Tuan? Kau tidak apa-apa?" tanya Bunga, mengamati Bhadra yang memang sangat tampan rupawan wajahnya, wajar jika banyak para wanita mengejarnya, hanya saja ... kenapa pribadinya dingin?! Terserahlah! Bagi Bunga Lilyana, pria itu sudah mau menolong adiknya saja bersyukur pada Yang Maha Kuasa. "Cukup parah! Kau sudah periksa?" Bhadra mengatasi kekagumannya dengan menatap ke arah lain. "Su-sudah, Tuan Bhadra. Dan untunglah ... tidak apa-apa," jawab Bunga, sopan pada Bhadra. Ingin bicara mengenai Santos Lilyana tapi tidak enak. "Ada yang kau pikirkan?" tebak Bhadra, kembali menatap Bunga. "Em ... tidak, Tuan. Maaf, tidak apa-apa," Bunga kembali terluka, maukah pria itu merawat adiknya?! Siapkah dia berpisah dengan Santos Lilyana?! Dan apakah orangtuanya akan marah padanya jika memberikan Santos Lilyana pada orang lain?! Berkecamuk isi dalam pikiran Bunga. Tak tahu harus berbuat apa?! "Katakan sesuatu, Bunga!" Bhadra mengerti kondisi Bunga, terlihat dari mimik mukanya, gadis itu membutuhkan pertolongannya. "Em ... Tuan, apakah bisa saya meminta pertolongan?" harap-harap cemas Bunga Lilyana menatap Bhadra. "Katakan! Kau butuh, uang?! Mana nomor rekeningmu?! Biar aku isi!" seru Bhadra, tidak bermaksud menghina Bunga, semua orang yang dekat dengannya, pasti karna hartanya, bukan karna kasih sayang tulus mencintainya. "Kau salah paham, Tuan. Bukan uang yang aku inginkan, tapi perlindungan," jelas Bunga, berkaca-kaca melihat adiknya masih tertidur pulas. "Maksudmu?!" Bhadra semakin tidak mengerti. "Maksudku ... " Bunga menarik nafas dan memejamkan mata barang sejenak. Setelah menghembuskan nafasnya, Bunga kembali berbicara. "Maukah kau mengadopsi adikku?! Aku yakin dia akan aman tinggal bersamamu! Kau orang penting, tidak ada yang berani melukaimu, aku percaya! Jika Santos bersamamu, dia akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Tenanglah! Aku pasti akan mengembalikan biaya perawatannya jika keadaan sudah baik-baik saja, di sini semua orang seakan ingin membunuhku, Tuan Bhadra. Percayalah!" jelas Bunga, tak tahan meneteskan air mata, batinnya terluka, terlebih ... ayah dan ibunya sudah tiada, jika dia ikut tiada, maka Santos akan menderita jauh lebih parah dari pada dirinya. Bunga Lilyana tidak mau sesuatu yang buruk menimpa adik kecilnya, cukup dirinya sendiri saja. Bunga bertekad akan membuat Santos bahagia, aman dan tanpa ancaman orang. "Kau mau lari dari tanggung jawab?" Bhadra sedikit kesal pada Bunga, tak percaya ada seorang kakak tega memberikan adiknya pada orang lain. "Tidak!! Kau jangan salah paham, Tuan Bhadra. Aku dulunya aman-aman saja, sangat bahagia. Tapi sekarang?! Semua seolah berubah! Aku dianiaya tanpa sebab, dibenci calon suamiku sendiri tanpa kumengerti. Dan rumahku?! Selalu terkunci! Entah kenapa tiba-tiba bapak kepala desa bisa masuk kamar dan menyebabkan semua rencana pernikahanku gagal berantakan, bukan kebahagiaan yang kudapatkan, melainkan hukuman, hukuman yang tidak pernah sekalipun aku lakukan. Kalau memang iya, itu hanya karna jatuh cinta pada pria bren9sek yang saat ini jadi suaminya Aira saja. Selebihnya tidak ada, entah jika tanpa kusengaja, namanya manusia pasti ada salah dan dosa. Sekarang aku menanggung beban derita. Ayahku tiada, adikku tidak bisa berbicara karna trauma, dan tadi?! Saat akan lapor polisi aku juga dihajar oleh beberapa pemuda desa," jelas Bunga, tak paham apa yang membuat semua orang benci padanya. "Boleh ceritakan lebih awal?! Siapa orang yang sudah menggagalkan pernikahanmu?!" selidik Bhadra, barangkali bisa membantu Bunga. "Ibu Mirna," jawab Bunga, menatap datar ke arah Bhadra. "Apa alasannya?!" meski Bunga sudah pernah bercerita mengenai dirinya, Bhadra ingin lebih memastikannya, secara langsung. "Dia bilang aku telah selingkuh dengan suaminya, padahal usia kami jauh berbeda, jangankan berhubungan cinta, membayangkannya saja aku tidak pernah, sangat menjijikkan, pria itu memang datang ke kamar, tapi aku pukul dengan sesuatu yang membuatnya kabur mendobrak pintu. Anehnya ... kenapa rumah tangganya sekarang tampak baik-baik saja?! Bukankah jika suami berkhianat istri akan marah?!" tanya Bunga, gelisah. "Atau jangan-jangan ... ini sudah direncanakan?! Tapi ... apakah benar itu, Aira?! Huft ... Aku tidak percaya, Tuan Bhadra. Meski membenciku, dia adalah adikku! Sejak kecil tinggal denganku! Aira tidak mungkin sejahat itu," gumam Bunga, menerka-nerka siapa orang yang sudah menyiksa dirinya hingga membuat ayah kandungnya tiada. "Kau sangat lemah dan mudah dibodohi, Bunga. Meski saudara! Juga ada pikiran buruk di hatinya, manusia tiada yang sempurna, meski saudara kandung kita sekalipun," nasehat Bhadra, ingin Bunga lebih waspada. "Aira memang pernah mengatakannya, tapi aku tidak percaya, Tuan Bhadra." "Dan pemikiran tidak percayamu itulah yang membuat ayahmu tiada, bisa jadi ... adikmu juga!" tekan Bhadra, gemas ingin membalas dendamkan Bunga Lilyana. "Tidak!! Adikku Santos tidak akan kenapa-kenapa!! Aku akan melindunginya dan membunuh siapa saja yang sudah menyakitinya, termasuk Aira sekalipun!!" marah Bunga, tidak sengaja membentak Bhadra, setelah sadar, Bunga kembali terdiam. "Maaf," gumamnya lelah. "Tidak masalah, minum dulu, Bunga!" perintah Bhadra, membuat Bunga mengambil gelas berisikan air putih dan meminum setengahnya, setelah puas, dia kembali menatap Bhadra. "Apa sudah mendingan?" Bhadra sabar menghadapi Bunga, selama hidupnya, ini pertama kali di sabar menghadapi wanita. "Ya," jawab Bunga, lemah. "Kau tadi bilang Mirna mengacaukan pernikahanmu, suaminya memperkosamu dan apa masih ada lagi?" tanya Bhadra, ingin mengulik masalah Bunga pelan-pelan. "Em ... ya!! Anaknya Mirna dan bapak kepala desa tadi meminta teman-temannya untuk menyiksaku! Apa kau mengetahui sesuatu?!" seru Bunga, terkejut menatap Bhadra. "Mau menuruti permintaanku?!" tanya balik Bhadra, serius jika menangani masalah. Jiwa kuatnya sebagai pemimpin nampak saat membantu Bunga. "Tentu saja! Kali ini aku mempercayaimu, Tuan Bhadra," jawab Bunga, melakukan segala cara demi adiknya. "Besok lapor polisi, bilang ada orang yang sudah mencemarkan nama baikmu, sebut saja orangnya adalah Mirna, dia kunci utama yang bisa memberitahu kita siapa dalang di balik rencana yang sudah membuatmu hancur sampai seperti ini. Percayalah Bunga, jika aku tahu orangnya, bakal aku penjara dan siksa," geram Bhadra, heran wanita seperti Bunga bisa dianiaya warga. "Tapi ... apakah aku tidak akan disiksa lagi?! Aku takut terluka lagi, Tuan Bhadra." "Tidak akan, percaya pada diri sendiri, Bunga. Tidak ada yang bisa menolongmu. Jangan bergantung pada orang lain. Dan ya! Berikan nomor rekeningmu! Aku akan transfer uang untuk kebutuhan adikmu dan dirimu, tidak usah sungkan, berita yang kau kirimkan kemaren ramai jadi perbincangan orang, ratusan perusahaan besar mengirim iklan, dan uangnya, itu hakmu," ucap Bhadra, membuat Bunga tidak enak menerima uang hasil jerih payahnya dihajar warga. "Tidak perlu, Tuan. Uangku masih ada, dan lagi ... Kau sudah cukup membantu kami, semangat darimu membuatku bangkit." "Jangan banyak bicara, uang itu anggap hadiah dariku untuk Santos." "Tapi, Tuan ...." "Berikan nomor rekeningmu!!" lagi-lagi Bhadra tidak mau dibantah. Dan seperti biasa pula Bunga Lilyana kalah. Di tempat lain .... Bunga Anindya menyiapkan makan malam untuk Bhadra, meski membenci Bhadra, itu harus Bunga Anindya lakukan karna paksaan dari bibi Lasmini. Lasmini memaksa Bunga Anindya agar lebih baik dari Larasati dalam hal mengurus suami, takut wanita itu merebut gelar Nyonya utama. Semakin rajin dan sering pula Lasmini memerintah Bunga, maka semakin besar pula cinta Bhadra pada istri pertamanya. Pikirnya. Laras datang dan tiba-tiba saja mengusir Bunga. "Pergilah!" serunya mengambil alih pekerjaan Bunga Anindya. "Kalau aku tidak mau," Anindya menatap sinis ke arah Laras. "Itu berarti kau buta mata hati, jangan jadi wanita munafik, jika tidak suka Bhadra, maka bersikaplah seolah-olah membencinya, jangan berpura-pura baik seperti ini! Aku mengandung anak dari Bhadra, Anindya," perjelas Laras, agar Bunga Anindya tahu posisinya. Wanita rapuh sepertinya sangat mudah sekali dicuci otaknya. "Jika kau mengandung anaknya, maka aku adalah istri pertamanya! Mau apa?! Dan lagi!! Siapa yang kau bilang munafik?! Aku?! Berkaca dan lihat diri sendiri dulu, maka kau akan tahu siapa yang sebenarnya munafik dan siapa yang sebenarnya jujur," lawan Bunga Anindya, perkara Laras sangat mudah baginya, hanya saja ... tidak mau mengusik wanita hamil. "Sudahlah! Pergi sana!! Biar aku yang mengurus calon suamiku, bukan kamu," marah Laras, seperti biasa tidak mau mengalah. "Kalau mau memasakkan Bhadra, masak sendiri! Jangan mengakui masakan orang lain sebagai masakan sendiri, kau bukan wanita munafik, bukan?!" ejek Bunga Anindya, mengambil makanan penutup tapi direbut langsung oleh Laras. "Mau apapun sikapku, jangan mengusikku, di sini memang kau istrinya, tapi cintanya Bhadra! Hanya untuk diriku sendiri saja!" Laras dengan bangganya menghina Bunga Anindya tapi saat akan menaruh makanan penutup di meja makan, kaki Laras terkilir. "Akhh ...." "Laras!!" Bunga Anindya mengambil makanan agar tidak terjatuh dan setelah selesai menaruh di meja makan, baru menolong Laras. "Kau tidak apa-apa?!" serunya lagi, panik. "Jangan digrubris, Nyonya Bunga. Siapa tahu dia sengaja cari masalah agar terjatuh, masak iya tidak berjalan kakinya bisa terkilir?!" seru Lasmi, memahami kelicikan Larasati. "Ada apa ini?!" seseorang dengan suara dingin bertanya pada Bunga Anindya, Larasati dan juga Lasmi. "Aakhh ... Sayang ... kakiku ..." Larasati manja mengadu pada Bhadra. "Laras?! Ada dengan kakimu?!" tanya Bhadra, khawatir. "Aku ... Aku hanya khawatir kak Bunga kelelahan makanya membantu menyiapkan makanan, tidak tahu ada masalah apa?! Kak Bunga Anindya sengaja menendang kakiku, aku hanya ingin membantu dia menyiapkan makan malam untukmu sebentar saja, Bhadra. Apakah salah?! Maaf ... mungkin aku hanyalah calon istri kedua, tapi kita?! Harus saling kerjasama, bukan?" Larasati sengaja agar Bhadra membenci istrinya. "Benar itu, Bunga Anindya?!" seru Bhadra, geram. "Tidak!! Aku malah menyuruhnya diam tapi dia tidak dengarkan! Aku hanya ..." "Baiklah! Kau menganggap aku sengaja membuat alasan, bukan?!" Laras menangis menatap Bunga Anindya. "Kau jangan memfitnahku, Laras!" seru Bunga, mulai tidak senang. "Aku sama sekali tidak pernah memfitnahmu, Kak. Aku tulus ingin membantumu, itu demi calon ayah dari anakku! Aku tahu kau cemburu! Tapi ... jangan menyakitiku! Setidaknya ... saat sedang hamil seperti ini," tangis Laras, ingin mendekati Bhadra tapi pura-pura jatuh dan langsung ditangkap oleh Bhadra. "Kau ..." "Cukup!! Apakah kau tidak lihat jika Larasati kesakitan?! Dibanding menyalahkannya, tidak bisakah kau mengobatinya, dasar tidak ada gunanya!!" kemarahan Bhadra lagi-lagi menimbulkan luka di hati Bunga Anindya. "Aku tidak ..." "Lagi pula apa-apaan ini?! Siapa yang memintamu menyiapkan makanan sebanyak ini?!" keluh Bhadra, tidak suka menatap Bunga Anindya sama sekali. "Aah ... Sayang ... kakiku sakit sekali!" seru Laras, memeluk tubuh Bhadra sangat erat. "Baiklah! Kita obati di kamar saja, Laras. Kau tidak apa-apa, kan?! Apa perlu diperiksa ke rumah sakit?!" cerca Bhadra, panik. Khawatir jika bayinya kenapa-kenapa. "Tidak perlu sampai sekhawatir itu, Sayang. Aku tidak apa-apa, hanya terkilir biasa, aah ... mungkin dipijat sebentar juga sembuh." "Baiklah! Aku pijat di kamar," Bhadra menggendong Larasati dan membuat Bunga Anindya lagi-lagi terluka hatinya, kenapa Bhadra sama sekali tidak mempercayainya?! Apakah rasa benci padanya begitu dalam?! Apa salah Bunga Anindya?! Selalu dan selalu saja menimbulkan luka. Lasmi yang tahu kesedihan Nyonya-nya, benci menatap Larasati. Sebelum sampai di kamar Bunga mendekati mereka dan bilang .... "Aku mau cerai!! Bhadra Bawika!! Kau dengar ucapanku, kan?! Aku mau cerai!!" seru Bunga Anindya, benci menatap suaminya. "Kau bebas menjalin cinta dengan wanita manapun dan di manapun! Tapi ... biarkan aku memilih jalanku sendiri!! Aku mau cerai!!" ulangnya berkali-kali karna sakit hati. Bhadra hanya diam saja memapah Larasati. "Kak Bunga!! Jangan gegabah!! Kau akan menyesal!!" seru Larasati, ketakutan, tapi dalam hatinya dia merasa puas. "Bagus, Bunga busuk!! Pergilah dari kehidupan suami tampanmu! Bhadra Bawika hanyalah untukku!! Wanita hina sepertimu!! Sebaiknya menjauh dari calon suami tampanku! Nak ... akhirnya kita akan hidup tenang dan damai bersama papa, hanya bertiga dan kita akan bahagia selamanya, aamiin ..." batin Larasati, tersenyum licik melirik Bunga Anindya, dan juga pembantu sialan Lasmini. Mereka tahu sendiri jika membuat masalah dengan diri Laras, bakal disesali setengah mati. TBC.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN