“Pak… istri Anda bunuh diri,” kata Dirga dengan suara tercekat. “Dan dia meninggalkan surat wasiat yang mengatakan kematiannya disebabkan oleh Anda… karena lebih memilih selingkuhan Anda, hanya karena dia mendonorkan darahnya.” Tangan Bramasta mengepal keras. Ia menoleh pada Kirana. Kalau mereka memang suami istri, seharusnya reaksinya adalah panik—syok, mungkin histeris. Tapi tidak. Bramasta hanya terdiam, terkejut, tanpa amarah atau kepanikan. Mungkin, perasaan itu pernah ia coba pupuk agar tumbuh. Namun, setelah Ambar menginjak-injaknya hingga mati dan membusuk, yang tersisa kini hanyalah kebekuan. Reaksi Bramasta bukan lagi duka, melainkan seperti bertanya dalam hati: “Drama apa lagi ini?” “Sekarang aku punya alasan kuat untuk menikahimu, Kirana,” ucap Bramasta tiba-tiba. Kirana m

