“Jaga bicaramu, Ambar! Sekesal apapun, tidak bisakah kamu bicara dengan sopan?” geram Bramasta, suaranya rendah namun penuh ancaman. Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, berusaha menahan diri sekuat tenaga. Bagaimanapun, dia bukan tipe lelaki yang bisa menyakiti perempuan, betapapun panas amarahnya. Meski mata Bramasta memancarkan kobaran api kemarahan yang hampir tak terbendung, ia hanya menarik kerah baju rumah sakit Ambar dengan gerakan tegas. “Awas, jangan bicara semaumu!” “Kita bisa tes DNA, apakah Sheila benar-benar darah dagingmu?” tantang Ambar dengan tatapan penuh provokasi. Tapi Bramasta tak mau terpancing. “Kamu dan selingkuhanmu…” Ambar tertawa getir, suaranya seperti pisau yang mengiris-iris. “…kalian sudah melakukan kesalahan terbesar dalam hidup!” Mendengar itu, tel

