Kirana dan Bramasta berjalan beriringan melalui lorong hotel yang remang. Langkah Bramasta panjang, mantap, tapi Kirana bisa merasakan ketegangan di setiap otot lengannya yang menggenggam jemari Kirana. Bukan takut—tapi muak. Muak karena masalah yang seharusnya sudah selesai, kini muncul lagi dengan cara paling memalukan. Di depan pintu VIP, dua panitia membuka jalan. Bram tidak perlu mengatakan apa pun, auranya saja sudah membuat semua orang di area itu menunduk. Pintu terbuka. Dan di dalam… Ambar duduk seperti ratu tanpa kerajaan—anggun, berkelas, namun penuh racun yang membara di balik senyum tipisnya. Kakinya bersilang, tangan bertumpu pada sandaran sofa, seakan dua tamu yang masuk ini adalah pihak yang harus diadili. Bramasta menatapnya dingin, tanpa niat menyembunyikan rasa muak

