Dengan sorot mata bagai belati, Ambar menatap Kirana. Kebenciannya begitu pekat, tapi yang paling menyakitkan adalah rasa tersinggungnya—bagaimana mungkin dia, Ambar, dikalahkan oleh perempuan seperti Kirana? Perempuan yang tak ada apa-apanya dibandingkan dirinya. Selama ini, berapa banyak wanita yang dihadapkan padanya, tapi Bramasta tak pernah goyah. Kini, segalanya berubah. Dia memalingkan muka ke Bramasta. Ada sesuatu yang berbeda pada pria itu. Di samping Kirana, dia terlihat begitu hidup, penuh gairah, sesuatu yang tak pernah ia tunjukkan dalam rumah tangga mereka. “Apa dia melayanimu dengan sangat istimewa sampai kau lupa siapa dirimu, Bram?” sergah Ambar, suaranya penuh sarkasme. “Baru sekarang kamu sadar bahwa yang kau lakukan padaku, pada pernikahan kita selama belasan tahun,

