Kirana pulang ke apartemennya dengan mood yang hancur. Setiap pertemuan dengan mantan mertuanya selalu meninggalkan rasa pahit dan lelah yang dalam. Namun, saat dia membuka pintu apartemen, pemandangan tak terduga menyambutnya—Bramasta sedang menyiapkan makan malam di meja makan, dengan apron sederhana yang terikat longgar di pinggangnya. Lelaki ini sama sekali tidak tampak seperti atasan yang otoriter di kantor. Di sini, dalam ruangan yang hangat dengan aroma masakan yang menggugah selera, dia lebih menyerupai seorang suami yang penuh perhatian. Ini gila, batin Kirana, aku seperti memiliki suami lagi. Hatinya yang semula dingin perlahan menghangat oleh ketulusan Bram. Yang dilakukan Kirana sekarang adalah penyangkalan—penolakan terhadap perasaan yang mulai tumbuh. Dia berusaha mati-mati

