Pelangi mendongak menatap lautan bintang yang menghiasi Langit. Menatap Langit malam adalah kebiasaan yang tidak bisa di tinggalkan olehnya. Pelangi merasa tenang saat malam menyambut datang. Rasanya Langit sedang memeluknya di kala hatinya gundah. Langit, harusnya Saudara laki-lakinya itu ada disini menemaninya. Mengingat masa dimana Langit pergi membuat Pelangi sempat mengalami depresi. Bayangkan mereka kembar, kemana-mana slalu bersama tapi karena kesalahan dan Takdir keduanya harus terpisahkan. Terkadang Pelangi merasa jika Tuhan jahat karena mengambil satu persatu orang yang disayanginya. Tapi Xavier lagi-lagi menggagalkan pikiran buruknya.
"Hah! Lo apa kabar Lang? Gua kangen tau, Lo kangen gua nggak? Kesel deh, gua sendirian sekarang."
Terkadang Pelangi slalu menyesali keputusannya untuk hidup. Kenapa dulu tidak ikut mati saja dengan Saudara kembarnya? Pelangi dan Langit itu ibarat kata dua kutub yang memang tidak bisa di satukan namun mereka akan saling menarik jika di butuhkan. Pelangi masih ingat, malam dimana Langit pergi mengendap-endap keluar rumah. Awalnya Pelangi tidak peduli namun entah mengapa perasaannya malam itu membuat Pelangi tidak tenang.
Pelangi yang sudah memejamkan mata bergerak gelisah kesana kemari. Entah mengapa perasaannya mengatakan akan ada sesuatu yang terjadi tapi apa. Pelangi membuka matanya dan menatap langit-langit kamarnya. Dia mencoba menghitung domba seperti yang slalu Badai katakan jika sulit tertidur. Sudah hitungan 1000 namun matanya tidak kunjung terlelap. Pelangi menarik diri untuk duduk, menyalakan lampu tidur hingga kamar yang awalnya gelap menjadi temaram. Dia meraih ponselnya, sepertinya malam ini dia tidak akan tertidur. Baru saja membuka kata sandi suara kendaraan terdengar. Keningnya mengerut, apa Badai sudah pulang? Menyibak selimut lalu melangkah ke arah jendela. Terlihat seseorang keluar dari garasi. Mata Pelangi membulat, sedang apa Langit di malam hari? Pelangi membuka pintu balkon.
"LANGIT LO MAU KEMANA?" teriakan itu membuat Langit mendongak.
Langit menyeringai menatap Saudarinya. "GUA MAU PERGI."
"LO MAU DI PUKUL SAMA BANG BADAI?"
"NGGAK PEDULI."
"LO MAU KEMANA?"
"BALAPAN." mendengar itu membuat Pelangi buru-buru berlari turun untuk bertemu dengan Saudaranya.
Rasanya tidak etis sekali mereka harus saling berteriak di tengah malam. Rumah yang mereka tepati tentu saja di tengah-tengah padatnya penduduk. Suara mereka yang saling berteriak pasti akan membuat warga yang mendengar khawatir. Rumah ini sudah mereka tepati semenjak keluar dari Rumah Ayahnya. Pelangi dan Langit hanya mengikuti langkah Badai. Rasa kecewa membuat mereka hanya memiliki Badai untuk bertopang. Langit dan Pelangi harus mengikuti semua aturan yang Badai berikan. Maka sekarang saat Langit keluar dengan membawa motor itu sudah sangat melanggar.
"Langit tunggu dulu."
"Kenapa sih?"
Wajah keduanya bagai pinang di belah dua. Hanya saja dalam versi yang berbeda. Setelah Langit lahir 5 menit kemudian Pelangi ikut melihat dunia.
"Mau balapan dimana?"
"Di serpong."
"Itu balapan liar bodoh."
"Yah namanya juga balapan pasti liar."
"Nggak begitu konsepnya."
"Udah deh, udah telat ini gua buru-buru."
"Lang kalau Bang Badai tahu Lo bisa kena pukul."
"Nggak apa-apa, ini terakhir kalinya gua balapan kok."
"Maksud Lo apa?" Langit hanya mengangkat bahunya.
"Gua pergi ya." Tapi entah kenapa mendengar ucapan Langit barusan membuat perasaan Pelangi semakin gelisah.
Pelangi memegang jaket Langit menatap Saudaranya itu dengan pandangan yang sulit di artikan. Pelangi merasa dadanya sesak tiba-tiba. Kenapa? Perasaan tidak ada satu pun yang membuatnya resah. Lantas kenapa saat Langit akan pergi dia merasa di tinggalkan.
"Gua ikut!" Putus Pelangi.
Langit mendelik. "Nggak."
"Ayolah."
"Lo diem aja di rumah. Nanti kalau gua turun Lo mau sama siapa disana?"
"Yah elo kesana juga pasti ada temen-temen Lo."
"Nggak ada. Gua titip Bang Badai yah, jangan pernah tinggalin dia, gua pamit." Setelah itu Langit menggas motornya meninggalkan rumah.
Pelangi yang mendengar itu mematung. Perasaannya semakin tidak karuan. Bukan masalah tentang Langit yang akan mendapat pukulan dari Badai tapi ada alasan lain. Pelangi mengusap wajah, dia berdecak dan kembali masuk ke dalam rumah. Rumah bertingkat 2 ini begitu sepi, hanya di isi 4 orang. Pelangi, Langit, 1 art dan 1 satpam. Badai pulang ke rumah hanya 1 kali dalam seminggu. Semua kebutuhan sudah terpenuhi. Badai tidak pernah lepas tanggungjawab saat kedua adiknya ikut bersama dengannya. Baru saja Pelangi masuk ke dalam kamar, ponselnya berdering.
Pelangi meraih ponselnya menampilkan nomor tidak di kenal. Siapa? Kenapa malam-malam menelponnya? Karena tidak mau membuat sang penelepon menunggu, dia menggeser tombol hijau lalu menempelkannya.
"Hallo selamat Malam." Suara berat itu membuat jantung Pelangi berdebar.
"S-selamat malam."
"Saya dari Pihak Kepolisian ingin mengabarkan jika pemilik ponsel ini mengalami kecelakaan. Kami ...." Telinganya berdenging.
Pelangi tidak tahu Polisi itu mengatakan apa yang pasti dia buru-buru berlari keluar kamar. Memang sudah Tuhan takdirkan saat itu Badai pulang. Pelangi tidak bisa mengatakan apapun selain menangis Histeris. Malam itu dimana Pelangi merasa gelisah dan takut terjawab sudah. Langit pergi meninggalkannya tanpa kalimat perpisahan. Pergi dengan kesakitan yang Pelangi rasakan. Semesta ternyata begitu jahat mengambil Langit dari sisinya. Semesta tidak membiarkan Pelangi bahagia dengan orang-orang tersayangnya.
"Semesta jahat." Dari sana Pelangi membenci Takdir.
Saat itu Pelangi berdampingan dengan Xavier yang ikut pemakaman Langit. Xavier yang mendengar ucapan itu mengusap kepala gadis kecil yang baru menginjak remaja itu.
"Semesta emang jahat tapi walaupun Semesta lo runtuh, Lo harus tetap utuh."
Pelangi menghela napas. Dia mengusap air matanya dengan kasar. Bisa-bisanya dia masih menangis di kala sedang sendiri seperti ini.
"Tuh kan elo sih Lang, gara-gara Lo ini gua nangis lagi."
"Itu mah elo nya aja yang cengeng." Suara itu membuat Pelangi menoleh lalu mendengus sebal.
Xavier ada disana lalu tidak lama duduk di sampingnya. Pelangi menggeser duduknya. Kenapa sih jika Pelangi sedang bersedih Xavier slalu ada di sampingnya? Pelangi kan gengsi. Sekali saja Pelangi menangis tanpa orang ketahui sepertinya tidak bisa. Masalahnya berkali-kali Pelangi mengalami kesulitan pasti ada orang di sampingnya.
"Udah sana masuk." Usir Pelangi.
"Kasihan loh Jingga."
"Kasihan kenapa?"
"Sikap Lo tadi buat dia nggak enak hati."
"Loh kok gitu?"
"Coba deh matanya kondisikan. Kalau emang nggak suka udah diem, nggak usah bertingkah."
Pelangi menatap Xavier tidak mengerti. "Bertingkah? Gua sama sekali nggak lakuin apapun Xavier."
"Gua bilang barusan kondisikan mata Lo."
"Mata gua kenapa?"
"Lo kalau nggak suka bola matanya suka mendelik tiba-tiba. Bibir Lo bisa aja bilang gua nggak benci sama dia tapi dari sikap dan mata Lo udah menjelaskan itu semua. Kasihan Jingga, dia pasti ke pikiran sama Lo." Mendengar itu sontak Pelangi tersentak.
Iya kah? Tapi Pelangi merasa biasa saja pada Jingga. Memangnya Pelangi melakukan apa barusan? Apa mungkin tadi saat keluar mereka berpapasan dan Pelangi tidak menyapa? Demi apa? Pelangi tidak seperti itu. Dia hanya mengalami mood yang tidak baik. Bagaimana ini? Pelangi pasti akan kena tegur gara-gara sudah mengabaikan Jingga.
"Ih elo sih kepikiran juga kan gua."
"Habis ngapain coba Lo sama Badai."
"Ngobrol aja. Btw lo pasti tahu kan kalau Kak Jingga itu anaknya pembunuh Ibu?"
Xavier terdiam. Dia pikir Badai akan bungkam tentang kematian Ibunya. Ternyata ucapan Badai tidak pernah main-main. Tidak ada hal yang di tutupi Badai pada Pelangi selain urusan pekerjaan mereka. Xavier menatap Pelangi, gadis ini cantik, dengan rambut sebahu dan mata berwarna hitam pekat.
"Iya." jawab Xavier singkat.
Tidak ada obrolan lagi. Pelangi menutup perbincangan mereka malam ini. Untuk masalah Jingga biar pikirkan besok saja, Pelangi tidak ingin pandanganya ke pada Jingga membuat wanita itu risih. Perkataan Xavier mungkin ada benarnya jika Pelangi sudah tidak memiliki respek sikapnya yang berbicara. Pelangi terkadang sulit sekali mengendalikan diri. Jika dia sudah tidak menyukai sesuatu namun di haruskan bersikap biasa membuatnya slalu memutar bola mata. Mungkin alasan ini membuat mereka gampang menebaknya.
Sedangkan Jingga masih diam merenung memikirkan sikap Pelangi. Apa yang mesti dilakukannya sekarang? Jingga merasa tidak enak hati. Belum lagi percakapannya dengan Xavier tentang statusnya bersama Badai.
"Jingga." Suara itu membuat Jingga terkejut.
"B-badai."
"Kamu mau kemana?"
"Oh ahahah itu aku haus, iya haus hehe."
Kening Badai mengerut, dia menggerakkan kursi rodanya untuk mendekat.
"Kamu sakit?"
Jingga berjongkok di hadapan Badai. Entah kenapa kebiasaannya ini tidak pernah hilang saat dimana keduanya bersama. Dulu Badai slalu menolak jika Jingga berjongkok di depannya namun dia tidak pernah menggubrisnya. Jingga meraih tangan Badai lalu menempelkannya di pipi.
"Nggak panas kan?"
"Terus kenapa?"
"Aku nggak apa-apa."
"Ada yang kamu pikirin?" Pertanyaan itu ingin sekali Jingga jawab namun jawaban itu hanya ada di dalam hatinya.
"Nggak ada."
"Aku tahu kamu sayang. Kamu pasti sembunyiin sesuatu kan?"
"Nggak kok, aku baik-baik aja."
Badai meraih wajah Jingga, menangkup wanita cantik pemilik mata jernih itu. Mata yang membuat Badai tersesat. Mata yang begitu memabukkan. Mata yang akan slalu menatapnya dengan pandangan cinta. Badai memajukan wajahnya, mengecup bibir itu dengan ringan.
"Coba cerita jangan di pendam sendiri."
Jingga mengigit bibir bawahnya gelisah. Apa dia tanyakan saja supaya tidak membuatnya resah? Jingga menarik napas lalu menghembuskan nya perlahan.
"Sebenarnya kita ini apa?" Kening Badai mengerut namun tidak lama senyum tersungging di bibirnya.
Dia mengecup hidung mancung Jingga, "Kamu itu wanita spesial di hidup aku. Wanita yang akan hidup bersamaku di hari Tua. Aku mencintai kamu Jingga, artinya kamu itu milik aku."
"Jadi kita pacaran?"
"Oh kamu pengen pacaran?"
"Kita perlu status Badai."
Badai mengangguk, "Boleh kalau kamu mau. Tadinya sih aku nggak mau pacaran, mau langsung nikah aja sama kamu."
Blush
Pipi Jingga memerah menahan malu. Dia buru-buru menenggelamkan wajahnya di pangkuan Badai. Hanya Badai yang bisa membuat Rona merah di pipi Jingga. Hanya Badai yang bisa membuat Jingga melambung bahagia. Badai itu pria pertama yang menyentuh hati Jingga yang paling dalam. Ungkapan cinta akan slalu mereka sampaikan. Kata yang tidak akan pernah hilang saat kebersamaan terjalin. Terima kasih atas cinta keduanya karena bisa bertahan sampai di titik ini.